Loading...
OPINI
Penulis: Dony Setyawan 15:50 WIB | Selasa, 30 April 2013

Doa Bersama Menjelang UN, Seriuskah?

SATUHARAPAN.COM - Ujian Nasional selalu menarik untuk dicermati. Mereka yang hidupnya “ditentukan” oleh UN ini, ada yang menanggapi dengan luapan emosi, ketakutan luar biasa, menolak, bahkan tidak acuh. Dan tulisan ini akan memotret dari satu sudut kehidupan tentang UN, yaitu sudut iman atau agama.

Manusia memiliki naluri, akal dan rasa. Dengan naluri, manusia akan merespons secara spontan segala sesuatu yang menghinggapinya. Dengan naluri, manusia akan selalu secara natural mengadaptasi diri terhadap lingkungan terdekat.

Dengan akal, manusia akan mencoba mencari jawab akan apa yang sedang menghinggapinya, baik yang dirasakan, dilihat atau didengarnya. Akal akan berupaya dengan menggunakan metode-metode, dalil-dalil dan teori-teori tertentu sehingga hal yang menggelisahkannya mendapatkan -paling tidak- jawaban.

Dengan rasa, manusia akan mengetahui sesuatu yang bisa menyebabkan ia gembira atau sedih, sadar atau bingung dan menggairahkan ataupun menjemukan.  Dengan rasa itu manusia bisa mendeteksi kegelisahan diri.

Ujian Nasional adalah kalender rutin  dunia pendidikan, namun saat-saat pelaksanaan atau mendekati  pelaksanaan akan ada kegelisahan pada semua pihak yang terlibat, khususnya para siswa yang “nasibnya” akan ditentukan.

Untuk  mengatasi  kegelisahan itu, maka dipayakan mencari cara untuk mengatasinya. Dimulai  dengan perencanaan yang matang, memetakan pengalaman masa lalu dan mengupayakan trik-trik untuk hasil terbaik, bahkan yang menyenangkan semua pihak.

Ketika  semua aspek logika sudah dirasa cukup, namun masih ada “sesuatu” yang mengganjal, maka usaha itu masuk ke ranah relegius. Dan upaya pencarian jawabnya pun berupa kegiatan-kegiatan yang (mungkin bersifat) relegius.

Mekanisme Religius Mengurai Kegelisahan

Ujian Nasional yang membawa situasi “krusial” pada banyak orang juga mendorong upaya mencari jawaban secara religious dan sekolah pun menyelenggarakan persekutuan doa, atau doa bersama.

Tidak untuk menyepelekan ritual tersebut. Sama sekali tidak. Saya malah setuju dengan upaya ini, namun perlu dikaji lebih dalam dan serius, sebagai upaya manusia yangb religious atau dipahami serta dilaksanakan sebagai “pemanis” atau  make up keberagamaan seseorang atau dalam hal ini sekolah (bahkan negara in)?

Ini hal yang baik, sangat baik malahan. Namun hal yang awalnya sangat baik bisa terjerembab pada ritus kultis tanpa makna. Demi menjawab kegelisahan siswa (sebenarnya lebih tepat jika yang gelisah adalah sekolah dan orangtua), maka semua sekolah berlomba mengadakan kegiatan relegius ini. Diadakan dengan  satu harapan, bahwa dengannya (doa-doa ini) akan terjawab semua kegelisahan mereka.

Mekanisme relegius ini, di samping berdimensi positif, paling tidak mengingatkan akan terbatasnya manusia dan karena itu mesti meyerahkan semua kepada Yang Maha Kuasa, juga mengandung dimensi  negatif. Kegiatan doa bersama ini bisa menggiring siswa (sekali lagi bersama sekolah dan juga wali murid) ke arah mantranisasi. Saya mencoba memaknai mantranisasi ini sebagai sebuah keseluruhan tindakan yang dilakukan dengan sadar dengan menyerahkan semua kegelisahan kepada kalimat-kalimat tertentu.

Akibat dari paradigma ini adalah,siswa akan menempatkan belajar sebagai persiapan pra ujian menjadi hal yang tidak begitu penting. Padahal sejatinya belajar adalah kebutuhan hidup manusia sepanjang hidup.  Mereka sudah merasa aman karena semua kegelisahan telah “dialtarkan” melalui tindakan relegius/keberagamaan itu.

Bahaya berikutnya adalah tumbuhnya mentalitas sesaat atau pragmatis. Ini sangat gawat jika dipahami sekolah sebagai media belajar formal. Karena dengan mekanisme ini, siswa akan sampai pada pemahaman relegiusitas sempit. Relegiusitas/Agama adalah hal-hal yang berkenaan dengan peristiwa tertentu. Spiritualitas insidental ini akan tertanam dalam alam pikir siswa, dan ini sangat berbahaya. Siswa sepanjang hidupnya akan memahami bahwa spiritualitas adalah sesuatu yang perlu dilakukan jika sudah mendesak, di luar itu tidak perlu dilaksanakan.

Lalu bagaimana Sebaiknya?

Masalah UN saat ini bagaikan jeratan gurita yang sulit dilepaskan. Bagaikan benang kusut yang sulit diurai. Semua karena sudah saling terjalin kaitan-kaitan yang juga  saling membutuhkan dan  –mungkin-saling menguntungkan. Korban dari semua ini adalah Siswa. Mereka seolah terpidana yang  siap masuk ke area ekskusi yang kejam. Pengawasan yang kelewat batas, pemberitaan yang mengerikan dan ancaman hukuman jika melanggar aturan seolah berbaur dan membentuk sebuah monster yang amat mengerikan.

Karena siswa sudah dijebak oleh “Kekuatan di atasnya” maka mekanisme “doa” yang dijalankan seolah menjelma menjadi oasis kehidupan. Siswa yang biasanya bandel dan sering mbolos, sewaktu dikumpulkan pihak sekolah untuk doa bersama akan berubah menjadi anak-anak yang saleh dan santun. Hilang keberingasan dan kenakalan mereka. Mereka sudah masuk dalam ranah yang bernama gelisah.  Gelisah itu kemudian dikomersialisasikan oleh pihak-pihak tertentu. Sekolah-sekolah seperti mengharuskan mengadakan doa-doa sebelum Ujian dilaksanakan dan sesuai dengan agama masing-masing.

Dengan mengadakan kegiatan ini, seolah semua sudah selesai. Konsep atau paradigma bahwa  doa adalah mantra mulai menjangkiti siswa sekolah, dan hal ini merupakan ancaman lain yang tak kalah bahayanya dibandingkan dengan konsep UN di Indonesia saat ini. Menindas! Ya, kata itu yang cocok untuk menggambarkan carut-marut dunia pendidikan di Indonesia. Saking memilukannya, sampai-sampai ranah spiritual relegiuspun telah dipolitisir sedemikian hebat hingga makna sejati dari kehidupan spiritual yang semestinya subur dan menggairahkan menjadi kering dan tandus.

Melaksanakan mekanisme ritus relegius untuk menjawab sebuah kegelisahan bukanlah sebuah kesalahan. Ini adalah jalan paling ramah dalam hidup manusia yang beragama (beriman). Namun jika hal ini dilakukan dengan model insidental, akan berdampak buruk seperti yang saya uraikan di atas.  Demi mengatasi persoalan ini, maka perlu dilakukan kajian seberapa jauh si siswa memerlukan mekanisme ritual relegius pra moment penting dalam hidup mereka itu? Jika mereka merasa penting  dan karena itu butuh, maka janganlah agenda ini diadakan sekali melainkan menjadi kebutuhan rutin semua.

Maka penting untuk mengapungkan sebuah pertanyaan, pentingkah kegiatan doa sebelum ujian?

Editor : Sabar Subekti


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home