Loading...
HAM
Penulis: Endang Saputra 14:39 WIB | Jumat, 29 Juli 2016

DPR akan Panggil KontraS Terkait Pengakuan Freddy Budiman

Anggota Komisi III Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR-RI) Masinton Pasaribu. (Foto: Dok.satuharapan.com/Dedy Istanto)

JAKARTA, SATUHARAPAN.COM – Anggota Komisi III Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR-RI) Masinton Pasaribu mengatakan akan memanggil Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) Haris Azhar untuk mendalami pengakuan terpidana mati kasus narkoba, Freddy Budiman.

Dalam kesaksian tersebut, Freddy mengungkap ada oknum BNN, Bea Cukai, Polri dan TNI yang ikut bermain dalam bisnis narkoba yang ia geluti.

“Informasi itu menarilk ditelusuri nanti. Komisi III kan bisa mengundang Haris untuk diskusi, bagaimana kebenaran informasi tersebut. Sehingga kami juga bisa menelusuri, Kalau sekarang itu kan jadi semacam wasiat saja, makanya perlu dikonfirmasi ulang,” kata Masinton saat dihubungi wartawan di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta Pusat, hari Jumat (29/7).

Menurut Masinton, KontaS akan diundang rapat tertutup untuk menambah informasi dan mengenai proses orang dihukum dan mengungkap fakta-faktanya.

“KontraS mungkin bisa kita undang rapat tertutup untuk menambah informasi mengenai proses orang dihukum dan kemudian mengungkap fakta-fakta dalam praktik kejahatan tersebut,” kata dia.

“Karena kalau informasi yang ada seperti disampaikan Freddy kepada Haris, merinding juga saya, di situ melibatkan oknum-oknum BNN, Polri,  perwira tinggi TNI yang mobilnya dipakai. Ada yang nitip-nitip harga segala, ini kan memang permainan sindikat mafia yang bukan lagi ecek-ecek, memang sudah terorganisir dan membahayakan negara sebenarnya cara-cara begini, harus diurai karena melibatkan banyak pihak,” kata dia.

Menurut Politisi PDI Perjuangan ini, yang diceritakan oleh KontraS kayak cerita di film-film jadinya, Freddy menggunakan mobil jenderal TNI bintang dua berisi narkotika dari Medan ke Jakarta.

“Kita bisa bayangkan dalam waktu dua hari tiga malam di perjalanan,” kata dia.

Menurut Masinton informasi ini harus didalami dan ditelusuri oknum-oknum yang terlibat dalam sindikat jaringan peredaran narkotika. Apa yang disampaikan dalam versi Freddy pada Haris, narkoba sudah lampu merah benar, karena melibatkan banyak pihak.

“Saya waktu ke Salemba, di situ ada Freddy, tahanan pajak, saya sempat sapa. Saya pengen gali cerita dari dia, mungkin karena banyak petugas lapas, dia senyum saja, cuma sapa-sapa biasa. Ya gak jadi,” katanya.

Kesakian Haris Azhar (KontaS)

“Cerita Busuk dari Seorang Bandit”

Kesaksian bertemu Freddy Budiman di Lapas Nusa Kambangan (2014)

Di tengah proses persiapan eksekusi hukuman mati yang ketiga dibawah pemerintahan Joko Widodo, saya menyakini bahwa pelaksanaan ini hanya untuk ugal-ugalan popularitas. Bukan karena upaya keadilan. Hukum yang seharusnya bisa bekerja secara komprehensif menyeluruh dalam menanggulangi kejahatan ternyata hanya mimpi. Kasus Penyeludupan Narkoba yang dilakukan Freddy Budiman, sangat menarik disimak, dari sisi kelemahan hukum, sebagaimana yang saya sampaikan dibawah ini.

Di tengah-tengah masa kampanye Pilpres 2014 dan kesibukan saya berpartisipasi memberikan pendidikan HAM di masyarakat di masa kampanye pilpres tersebut, saya memperoleh undangan dari sebuah organisasi gereja. Lembaga ini aktif melakukan pendampingan rohani di Lapas Nusa Kambangan (NK). Melalui undangan gereja ini, saya jadi berkesempatan bertemu dengan sejumlah narapidana dari kasus teroris, korban kasus rekayasa yang dipidana hukuman mati. Antara lain saya bertemu dengan John Refra alias John Kei, juga Freddy Budiman, terpidana mati kasus Narkoba. Kemudian saya juga sempat bertemu Rodrigo Gularte, narapidana WN Brasil yang dieksekusi pada gelombang kedua (April 2015).

Saya  patut berterima kasih pada Bapak Sitinjak, Kepala Lapas NK (saat itu), yang memberikan kesempatan bisa berbicara dengannya dan bertukar pikiran soal kerja-kerjanya. Menurut saya Pak Sitinjak sangat tegas dan disiplin dalam mengelola penjara. Bersama stafnya beliau melakukan sweeping dan pemantauan terhadap penjara dan narapidana. Pak Sitinjak hampir setiap hari memerintahkan jajarannya melakukan sweeping kepemilikan HP dan senjata tajam. Bahkan saya melihat sendiri hasil sweeping tersebut, ditemukan banyak sekali HP dan sejumlah senjata tajam.

Tetapi malang Pak Sitinjak, di tengah kerja kerasnya membangun integritas penjara yang dipimpinnya, termasuk memasang dua kamera selama 24 jam memonitor Freddy Budiman. Beliau menceritakan sendiri, beliau pernah beberapa kali diminta pejabat BNN yang sering berkunjung ke Nusa Kambangan, agar mencabut dua kamera yang mengawasi Freddy Budiman tersebut.

Saya mengangap ini aneh, hingga muncul pertanyaan, kenapa pihak BNN berkeberatan adanya kamera yang mengawasi Freddy Budiman? Bukankah status Freddy Budiman  sebagai penjahat kelas “kakap”  justru harus diawasi secara ketat? Pertanyaan saya ini terjawab oleh cerita dan kesaksian Freddy Budiman sendiri.

Menurut ibu pelayan rohani yang mengajak saya ke NK, Freddy Budiman memang berkeinginan bertemu dan berbicara langsung dengan saya. Pada hari itu menjelang siang, di sebuah ruangan yang diawasi oleh Pak Sitinjak, dua pelayan gereja, dan John Kei, Freddy Budiman bercerita hampir dua jam, tentang apa yang ia alami, dan kejahatan apa yang ia lakukan.

Freddy Budiman mengatakan kurang lebih begini pada saya:

“Pak Haris, saya bukan orang yang takut mati, saya siap dihukum mati karena kejahatan saya, saya tahu, resiko kejahatan yang saya lakukan. Tetapi saya juga kecewa dengan para pejabat dan penegak hukumnya.

"Saya bukan bandar, saya adalah operator penyeludupan narkoba skala besar, saya memiliki bos yang tidak ada di Indonesia. Dia (bos saya) ada di Cina. Kalau saya ingin menyelundupkan narkoba, saya tentunya acarain (atur) itu. Saya telepon polisi, BNN, Bea Cukai dan orang-orang yang saya telpon itu semuanya nitip (menitip harga). Menurut Pak Haris berapa harga narkoba yang saya jual di Jakarta yang pasarannya Rp 200.000 – 300.000 itu?”

Saya menjawab Rp 50.000. Fredi langsung menjawab:

“Salah. Harganya hanya Rp 5000 perak keluar dari pabrik di Cina. Makanya saya tidak pernah takut jika ada yang nitip harga ke saya. Ketika saya telepon si pihak tertentu, ada yang nitip Rp 10.000 per butir, ada yang nitip Rp 30.000 per butir, dan itu saya tidak pernah bilang tidak. Selalu saya okekan. Kenapa Pak Haris?”

Fredy menjawab sendiri. “Karena saya bisa dapat per butir Rp 200.000. Jadi kalau hanya membagi rejeki Rp 10.000- 30.000 ke masing-masing pihak di dalam institusi tertentu, itu tidak ada masalah. Saya hanya butuh Rp 10 miliar, barang saya datang. Dari keuntungan penjualan, saya bisa bagi-bagi puluhan miliar ke sejumlah pejabat di institusi tertentu.”

Fredy melanjutkan ceritanya. “Para polisi ini juga menunjukkan sikap main di berbagai kaki. Ketika saya bawa itu barang, saya ditangkap. Ketika saya ditangkap, barang saya disita. Tapi dari informan saya, bahan dari sitaan itu juga dijual bebas. Saya jadi dipertanyakan oleh bos saya (yang di Cina). 'Katanya udah deal sama polisi, tapi kenapa lo ditangkap? Udah gitu kalau ditangkap kenapa barangnya beredar? Ini yang main polisi atau lo?’”

Menurut Freddy, “Saya tau pak, setiap pabrik yang bikin narkoba, punya ciri masing-masing, mulai bentuk, warna, rasa. Jadi kalau barang saya dijual, saya tahu, dan itu ditemukan oleh jaringan saya di lapangan.”

Freddy melanjutkan lagi. “Dan kenapa hanya saya yang dibongkar? Kemana orang-orang itu? Dalam hitungan saya, selama beberapa tahun kerja menyeludupkan narkoba, saya sudah memberi uang Rp 450 Miliar ke BNN. Saya sudah kasih Rp 90 Milyar ke pejabat tertentu di Mabes Polri. Bahkan saya menggunakan fasilitas mobil TNI bintang 2, di mana si jendral duduk di samping saya ketika saya menyetir mobil tersebut dari Medan sampai Jakarta dengan kondisi di bagian belakang penuh barang narkoba. Perjalanan saya aman tanpa gangguan apapun.

"Saya prihatin dengan pejabat yang seperti ini. Ketika saya ditangkap, saya diminta untuk mengaku dan menceritakan dimana dan siapa bandarnya. Saya bilang, investor saya anak salah satu pejabat tinggi di Korea (saya kurang paham, korut apa korsel- HA). Saya siap nunjukin dimana pabriknya. Dan saya pun berangkat dengan petugas BNN (tidak jelas satu atau dua orang). Kami pergi ke Cina, sampai ke depan pabriknya. Lalu saya bilang kepada petugas BNN, mau ngapain lagi sekarang? Dan akhirnya mereka tidak tahu, sehingga kami pun kembali.

"Saya selalu kooperatif dengan petugas penegak hukum. Kalau ingin bongkar, ayo bongkar. Tapi kooperatif-nya saya dimanfaatkan oleh mereka. Waktu saya dikatakan kabur, sebetulnya saya bukan kabur. Ketika di tahanan, saya didatangi polisi dan ditawari kabur, padahal saya tidak ingin kabur, karena dari dalam penjara pun saya bisa mengendalikan bisnis saya. Tapi saya tahu polisi tersebut butuh uang, jadi saya terima aja. Tapi saya bilang ke dia kalau saya tidak punya uang. Lalu  polisi itu mencari pinjaman uang kira-kira Rp 1 miliar dari harga yang disepakati Rp 2 miliar. Lalu saya pun keluar. Ketika saya keluar, saya berikan janji setengahnya lagi yang saya bayar. Tapi beberapa hari kemudian saya ditangkap lagi. Saya paham bahwa saya ditangkap lagi, karena dari awal saya paham dia hanya akan memeras saya.”

Freddy juga mengekspresikan bahwa dia kasihan dan tidak terima jika orang-orang kecil, seperti supir truk yang membawa kontainer narkoba yang justru dihukum, bukan si petinggi-petinggi yang melindungi.

Kemudian saya bertanya ke Freddy dimana saya bisa dapat cerita ini? Kenapa Anda tidak bongkar cerita ini? Lalu Freddy menjawab:

“Saya sudah cerita ke lawyer saya, kalau saya mau bongkar, ke siapa? Makanya saya penting ketemu Pak Haris, biar Pak Haris bisa menceritakan ke publik luas. Saya siap dihukum mati, tapi saya prihatin dengan kondisi penegak hukum saat ini. Coba Pak Haris baca saja di pledoi saya di pengadilan, seperti saya sampaikan di sana.”

Lalu saya pun mencari pledoi Freddy Budiman, tetapi pledoi tersebut tidak ada di website Mahkamah Agung. Yang ada hanya putusan yang tercantum di website tersebut. Putusan tersebut juga tidak mencantumkan informasi yang disampaikan Freddy, yaitu adanya keterlibatan aparat negara dalam kasusnya.

Kami di KontraS mencoba mencari kontak pengacara Freddy, tetapi menariknya, dengan begitu kayanya informasi di internet, tidak ada satu pun informasi yang mencantumkan dimana dan siapa pengacara Freddy.  Dan kami gagal menemui pengacara Freddy untuk mencari informasi yang disampaikan, apakah masuk ke berkas Freddy Budiman sehingga bisa kami mintakan informasi perkembangan kasus tersebut.

Haris Azhar (2016).

Editor : Diah Anggraeni Retnaningrum


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home