Loading...
INDONESIA
Penulis: Martahan Lumban Gaol 12:47 WIB | Senin, 30 November 2015

DPR Kebut Pembahasan Revisi UU KPK, Target 2015 Rampung

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).(Dok.satuharapan.com)

JAKARTA, SATUHARAPAN.COM – Revisi Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPK) telah berpindah tangan, dari awalnya inisiatif pemerintah kini menjadi inisiatif Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Republik Indonesia.

Badan Legislasi (Baleg) DPR pun memastikan akan mengebut penyelesaian revisi UU KPK sebelum penutupan Masa Sidang II Tahun Sidang 2015-2016 DPR berakhir, yakni tanggal 18 Desember 2015.

Wakil Ketua DPR, Fahri Hamzah, mengatakan keinginan revisi UU KPK tidak hanya berasal dari DPR dan Pemerintah saja. Menurut dia, KPK sendiri juga ingin agar UU tersebut diperbaiki, terutama terkait pentingya KPK diberikan kewenangan untuk mengeluarkan surat perintah penghentian penyidikan (SP3).

"Semua berpikir termasuk pemimpin KPK, wah UU ini harus berubah," kata Fahri di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, hari Senin (30/11).

Menurut dia, KPK perlu diberikan kewenangan mengeluarkan SP3 karena tidak menutup kemungkinan adanya kesalahan dalam proses penyidikan. Selain itu, pentingnya aturan terkait kewenangan KPK dalam mengangkat penyidik independen dan melakukan penyadapan, juga harus menjadi sorotan dalam revisi UU KPK.

"MK mengatakan penyadapan harus diatur oleh UU atau setingkat UU. Sekarang tidak ada. Kata penyadapan tidak menyebutkan cara," ujar Fahri.

Kunci Ada di Presiden

Peneliti Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK), Miko Susanto Ginting, menilai kesepakatan pemerintah dan DPR yang menyetujui pembahasan revisi UU KPK menunjukkan ketidakpekaan terhadap masa depan KPK. Meski begitu, Presiden Joko Widodo masih menjadi harapan terakhir untuk membatalkan revisi UU KPK, dengan tidak menerbitkan Surat Presiden (Surpres).

"Terlepas dari usulan pihak yang mana, Presiden tetap memegang kunci berlanjut atau tidaknya revisi UU KPK melalui instrumen Surpres," ujar Miko dalam keterangan tertulis yang diterima satuharapan.com, hari Senin (30/11).

Dia menjelaskan, Presiden Jokowi memiliki pilihan untuk menolak atau menyetujui pembahasan revisi UU KPK. Hal tersebut diatur dalam Pasal 49 dan Pasal 50 UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang menyatakan pembahasan suatu rancangan UU dapat dilakukan ketika Presiden menerbitkan Surpres.

Menurut dia, penerbitan Surpres mengonfirmasi persetujuan Presiden untuk membahas suatu rancangan UU, melalui penugasan menteri terkait mewakili Presiden. Dengan kata lain, tanpa Surpres, pembahasan revisi UU KPK tidak bisa dilaksanakan.

"Apabila Surpres tidak dikeluarkan oleh Presiden, berarti Presiden mengambil sikap tidak menyetujui revisi UU dan menolak meneruskannya ke tahap pembahasan," kata Miko.

Miko mengatakan, janji presiden Jokowi memperkuat KPK kembali ditagih. Belum selesai dengan kriminalisasi pemimpin KPK dan penundaan pemilihan pemimpin KPK periode 2015-2019, kini justru mendorong revisi UU KPK.

"Tanpa sikap yang jelas sama saja Presiden menyetujui atau setidak-tidaknya mendiamkan semua rangkaian pelemahan KPK di era pemerintahannya ini," tutur Miko.

Revisi UU KPK

Revisi UU KPK awalnya disepakati masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas 2015 sebagai inisiatif pemerintah pada 23 Juni 2015. Namun, pada 6 Oktober 2015, 45 anggota DPR mengusulkan untuk mengambil alih inisiatif penyusunan revisi UU KPK.

Dalam usulannya, para anggota DPR itu menyertakan draf yang isinya dianggap melemahkan KPK. Contohnya, diatur bahwa masa kerja KPK hanya 12 tahun setelah UU diundangkan.

Draf itu juga mengatur batasan bahwa KPK hanya bisa menangani kasus dengan kerugian negara minimal 50 miliar rupiah.

Kewenangan penyadapan KPK juga harus dilakukan melalui izin pengadilan. Kemudian, KPK diusulkan tak lagi menyelidik dan menyidik perkara korupsi yang melibatkan aparat penegak hukum.

KPK juga nantinya akan memiliki kewenangan menerbitkan surat perintah penghentian penyidikan (SP3). Terakhir, akan dibentuk juga lembaga pengawas untuk mengawasi kinerja KPK.

Setelah rencana tersebut menuai kritik, pada 14 Oktober 2015, pemerintah dan pemimpin DPR sepakat menunda pembahasan revisi UU KPK.

Editor : Bayu Probo


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home