Loading...
EKONOMI
Penulis: Prasasta Widiadi 07:40 WIB | Selasa, 07 April 2015

DPR Sentil Menteri Rini, Lain Dulu Lain Sekarang

DPR Sentil Menteri Rini, Lain Dulu Lain Sekarang
Menteri BUMN, Rini Mariani Soemarno saat saat memberi penjelasan di hadapan para anggota Komisi VI DPR RI, di Gedung Nusantara I, Jakarta, Senin (6/4). (Foto-foto: Prasasta Widiadi).
DPR Sentil Menteri Rini, Lain Dulu Lain Sekarang
Menteri BUMN, Rini Soemarno (kiri) dan Menteri Perindustrian Saleh Husin (kanan) saat memberi penjelasan di hadapan para anggota Komisi VI DPR RI, di Gedung Nusantara I, Jakarta, Senin (6/4).

JAKARTA, SATUHARAPAN.COM – Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) di bawah komando Rini Mariani Soemarno mendapat kritik seputar kebijakan yang dia keluarkan terkait diizinkannya impor gula rafinasi.

“Saat Bu Rini jadi Mendag (Menteri Perdagangan). Ada surat Bu Rini tahun 2004. Gula rafinasi dipertimbangan masuk daftar negatif investasi. Tapi sekarang lewat (diizinkan),” kata Anggota Komisi VI DPR RI, Lili Asdjudiredja  saat rapat kerja Komisi VI DPR RI dengan sejumlah menteri ekonomi yang berlangsung di Gedung Nusantara I, Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (6/4).

Rini pernah menjabat Menteri Perindustrian dan Perdagangan di era pemerintahan Megawati Soekarnoputri.

Simpang siur tentang gula rafinasi masih menjadi tanda tanya, karena satu bulan lalu Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Franky Sibarani  menggelar rapat tertutup dengan Menteri Perindustrian Saleh Husin, pembahasan tentang  kebijakan  industri gula r‎afinasi.

Franky, kala itu menyebut bahwa gula rafinasi termasuk dalam  Daftar Negatif Investasi (DNI) artinya pemerintah tidak memberikan izin ada industri baru di sektor ini. Tetapi pada kenyataannya, pemerintah daerah masih memberikan izin prinsip untuk investasi ini. Sayang, Franky tak menyebut‎ daerah mana yang mengeluarkan izin tersebut.

Lili menambahkan bahwa  saat era Rini Soemarno menjabat menteri  adalah saat kali pertama impor gula mentah pernah diusulkan untuk dilarang

Lili menyebut kebijakan izin impor gula mentah saat ini justru menghambat program revitalisasi pabrik gula BUMN. Harga gula rafinasi yang lebih murah membuat pabrik gula dalam negeri kalah bersaing. “Sekarang impor 945.000 ton dikucurkan untuk gula mentah,” kata Lili.

Gula rafinasi yang diperuntukan ke industri, telah terbukti merembes ke pasar konsumen sehingga berdampak terhadap jatuhnya harga gula kristal berbasis tebu yang dihasilkan petani melalui pabrik-pabrik gula BUMN.

“Gula manis tapi pahit untuk petani,” Lili mengakhiri kritiknya.

Dalam kesempatan yang sama, Abdul Wahid, anggota Komisi VI lainnya menyebut BKPM harus bertanggung jawab atas carut-marutnya gula rafinasi tersebut.

Wahid menyebut jumlah investor di sektor gula rafinasi terus bertambah padahal secara regulasi pabrik gula rafinasi wajib membuka lahan pertanian tebu sebagai syarat izin impor raw sugar. Faktanya ialah penerima izin impor tidak membuka lahan tebu namun izin usaha impor dan pabrik gula rafinasi terus dikeluarkan. 

Editor : Eben Ezer Siadari


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home