Fenomena Gunung Es

SATU HARAPAN.COM – Beberapa hari lalu, saya dan beberapa orang mahasiswa sedang mendiskusikan ”penyimpangan seksual” di kalangan mahasiswa. Dari mereka saya tahu bahwa beberapa komunitas buchy tidak hanya berkumpul pada malam hari dan di tempat tertutup. Sekarang, di kota kami, mereka ada di pusat perbelanjaan dan bertemu pada siang hari. Dari mereka juga saya tahu bahwa teman-teman mereka tidak malu mengungkapkan bahwa mereka cenderung penyuka sesama jenis.

Beberapa hari kemudian, Amerika Serikat memberi hak dan melegalkan perkawinan sesama jenis. Tak berselang dari keputusan itu, di media sosial beredar tagar #lovewins #proudtolove #celebratepride dan lain sebagainya serta warna pelangi menunjukkan kemerdekaan mereka. Tahun ini, 4 Juli, adalah peringatan 50 tahun perjuangan LGBT mendapatkan hak dalam masyarakat. Orang-orang yang tadinya bersembunyi, malu, takut mengakui status penyuka sesama jenis, sekarang dengan kepala tegak berdiri menyatakan keberadaan mereka.

LGBT bak gunung es. Sedikit yang terlihat, namun tersebar dalam dan luas. Stigma negatif dan larangan tak mampu menghalangi. Mereka berjuang mendapatkan izin dan hak yang sama. Selanjutnya, mereka akan mempromosikan diri.

Ada banyak fenomena gunung es di sekitar kita. Bohong dan korupsi misalnya. Stigma negatif dan larangan tidak akan membendung mereka. Jika kita tidak membudayakan hidup benar secara konsisten, mereka akan mendapat ruang untuk dibenarkan dan mempromosikan diri sebagai kebenaran.

Andi Crouch dalam buku Culture Making menegaskan bahwa budaya baru akan tercipta apabila sekelompok orang hidup secara konsisten. Ini bisa saja membutuhkan banyak waktu, namun bisa terjadi. Perilaku menyimpang saja menjadi ”budaya baru”, masakan kebenaran tidak berdiri teguh jika banyak orang konsisten melakukannya?

Editor: ymindrasmoro

Email: inspirasi@satuharapan.com