Loading...
EKONOMI
Penulis: Sotyati 15:37 WIB | Senin, 29 September 2014

Firmanzah: Waspadai Ekonomi Setahun ke Depan

Staf Khusus Presiden Bidang Ekonomi Firmanzah. (Foto: Antara/Dhoni Setiawan)

JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Staf Khusus Presiden bidang Ekonomi dan Pembangunan Firmanzah memprediksi satu tahun ke depan perekonomian akan mengalami sejumlah tantangan, terutama yang bersumber dari faktor eksternal.

Karena itu, seperti dikutip dari laman Sekretariat Negara, Senin (29/9), kesiapsiagaan pengambil kebijakan, baik dari sisi moneter, fiskal, maupun sektor riil, akan sangat menentukan fundamental ekonomi Indonesia dalam jangka pendek.

Firmanzah yang juga Guru Besar Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia tersebut menyatakan hal itu menanggapi melemahnya nilai tukar rupiah yang sudah menembus angka Rp 12.000 lebih, sementara Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) di Bursa Efek Indonesia sudah mencapai angka 5.000.

"Itu sesuai dengan prediksi kita sebelumnya, rupiah masih akan mengalami tekanan akibat dari kebijakan Bank Sentral Amerika Serikat (AS) yang akan mengakhiri (tapering-off) pemberian stimulus moneter non-konvensional (quantitative easing-QE III)," kata Firmanzah.

Meskipun sejumlah pihak menganggap tidak ada kaitan, menurut Firmanzah, penurunan IHSG juga menunjukkan kebijakan Bank Sentral AS itu juga mendorong terjadinya pelarian modal (capital outflow) di negeri kita melalui konsolidasi di pasar modal.

Firmanzah mengingatkan, selain pengakhiran pemberian stimulus moneter nonkonvensional, indikator di bidang ketenagakerjaan dan pertumbuhan ekonomi di AS saat ini sudah membaik, sehingga ada kemungkinan Bank Sentral negara tersebut akan menaikkan suku bunga acuan (The Fed rate).

Jika itu dilakukan, bisa dipastikan bank-bank sentral negara-negara lain, termasuk Indonesia, juga akan menaikkan sukubunga acuan untuk mencegah derasnya aliran modal keluar (capital outflow).

"Kalau BI ikut menaikkan suku bunga acuan, dapat dipastikan pertumbuhan ekonomi tidak akan setinggi seperti asumsi makro dalam APBN 2015 yang disepakati sebesar 5.8 persen," Firmanzah memaparkan.

Staf Khusus Presiden bidang Ekonomi dan Pembangunan itu memaparkan, kenaikan sukubunga akan berdampak pada perekonomian, investasi, penciptaan lapangan kerja serta sector riil secara keseluruhan.

Meningkatnya sukubunga acuan, lanjut Firmanzah, akan membuat masyarakat melakukan penundaan konsumsi dan cenderung menempatkan dananya di sektor perbankan. Sementara dari sisi perbankan, terdapat pilihan kebijakan di antaranya adalah mengurangi Net Interest Margin (NIM) atau menyesuiakan sukubunga pinjaman, yang berisiko meningkatnya kredit bermasalah atau Non Performing Loan (NPL).

Selain tekanan dari AS, Firmanzah mengingatkan, perekonomian nasional juga akan dihadapkan pada sejumlah faktor eksternal seperti perlambatan ekonomi besar dunia, seperti terjadi di Tiongkok dan Eropa. Sementara itu, tren pelemahan harga komoditas dunia serta instabilitas politik dan keamanan sejumlah kawasan juga akan mengganggu pemulihan ekonomi dunia.

"Meskipun ekonomi Indonesia tidak terlalu bergantung pada aktivitas ekspor sebesar perekonomian sejumlah negara di ASEAN seperti singapura, Malaysia, Thailand, Filipina, dan Vietnam, namun tetap saja sejumlah faktor itu akan berdampak pada laju pertumbuhan volume dan nilai ekspor nasional," tutur Firmanzah. (Ant)

Editor : Sotyati


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home