Loading...
ANALISIS
Penulis: Posman Sibuea 07:00 WIB | Senin, 08 Juni 2015

Food Capitalism dan Babak Baru Ketahanan Pangan

Ilustrasi: panen singkong. Kita harus berani mengubah konsumsi pangan kita yang sangat tergantung pada nasi. (Foto: Antara)

SATUHARAPAN.COM – Sekitar dua minggu belakangan ini masyarakat mencemaskan peredaran beras palsu mengandung plastik. Mereka khawatir mutu beras yang dikonsumsi tidak aman. Pemeriksaan mutu yang dilakukan Sucofindo memastikan sampel beras mengandung polyvinyl chloride, bahan yang biasa dipakai untuk pipa dan pembalut kabel. Konsumen yang biasa membeli beras curah, kini mulai mengurangi volume pembelian.

Namun, pemerintah mengklarifikasi ulang untuk memastikan ada-tidaknya beras plastik itu. Badan POM, Laboratorium Forensik Polri, Kemendag, dan Kementan meneliti sampel yang sama. Hasilnya, berbeda dari hasil sebelumnya yang dilakukan Sucofindo. Yakni tidak ditemukan kandungan plastik dalam sampel yang diuji. Pemerintah memastikan berita yang meresahkan tentang beras plastik tidak benar adanya.

Besarnya perhatian masyarakat tentang pemberitaan beras jadi-jadian ini memberikan dampak dari berbagai sisi. Salah satunya adalah bahwa masyarakat makin peduli tentang mutu bahan makanan yang dikonsumsi meskipun selama ini sangat jarang pemerintah memberi informasi tentang beras bermutu. Hal lain adalah momen ini menjadi babak baru ketahanan pangan dengan berpaling kepada pangan lokal non beras yang kandungan gizinya tak kalah dengan beras berbahan baku padi.

Potensi Nonberas

Terlepas dari motif ekonomi dan politik di balik temuan beras plastik yang sempat membuat panik masyarakat, pemerintah diingatkan bahwa negeri ini memiliki potensi pangan lokal yang sangat besar untuk dikembangkan men-substitusi beras sebagai makanan pokok. Tetapi potensi ini belum digali secara serius karena pemerintah tetap nyaman dengan hobi lamanya untuk mengimpor berbagai bahan pangan termasuk beras.

   Baca juga:

Dari perspektif produksi beras nasional sebenarnya saat ini dalam kondisi aman. Produksi padi nasional 2014 mencapai 71 juta ton gabah kering giling. Jika jumlah ini dikonversi ke beras sudah mencapai 45 juta ton. Kebutuhan beras nasional versi Kementerian Pertanian dengan asumsi jumlah penduduk 250 juta orang, konsumsi per kapita per tahun 139 kilogram per kapita per tahun hanya sekitar mencapai 35 juta ton. Jika data produksi padi 2014 bisa dipercaya, Indonesia sesungguhnya sudah surplus beras sekitar minimal 10 juta ton. Lantas, pertanyaannya mengapa harga kebutuhan pokok ini makin mahal?

Kita berharap pemerintahan Jokowi-JK tidak mengulangi praktik politisasi petani seperti yang dilakukan pemerintahan SBY. Saat dilantik tahun 2004, ia berjanji untuk melakukan revitalisasi pertanian sebagai agenda utama pemerintahannya di bidang ekonomi. Namun hingga akhir masa jabatannya, kinerja sektor pertanian tidak makin baik. Produktivitas sektor pertanian sedemikian rendah menyebabkan hampir 65 persen kebutuhan pangan harus diimpor dan janji surplus beras sebanyak 10 juta ton pada tahun 2014 kandas di tengah jalan.

Keberhasilan pembangunan sektor pertanian harus menjadi jawaban bagi kemandirian pangan ke depan. Pembangunan pertanian harus disertai riset berkelanjutan guna meletakkan dasar industrialisasi pertanian yang kuat. Langkah yang patut ditempuh untuk mendukung program ini adalah memperbesar subsidi di sektor pertanian agar Indonesia bisa segera mencapai kedaulatan pangan. Subsidi untuk sektor pertanian jauh lebih sedikit jika dibandingkan dengan subsidi bahan bakar minyak yang mencapai Rp 300 triliun.

Minimnya subsidi di sektor pertanian berkorelasi positif dengan kurangnya minat generasi muda bekerja di sektor pertanian. Hasil Sensus Pertanian 2013 menunjukkan sektor pertanian masih mengandalkan sekitar 33 persen petani berumur 55 tahun ke atas. Idealnya sektor pertanian membutuhkan lebih banyak tenaga kerja yang relatif berusia muda. Dengan usia di atas 55 tahun, petani makin lemah fisiknya dan ia seharusnya sudah pensiun.

Sebaliknya, persentase petani dengan umur di bawah 35 tahun hanya sekitar 12,87 persen. Angka ini mengisyaratkan kurangnya minat dan perhatian generasi muda di bidang pembangunan pertanian pangan. Fenomena ini patut diwaspadai karena dapat membahayakan pembangunan kedaulatan pangan dan merapuhkan nasionalisme pangan di masa datang.

Bayang-bayang Menakutkan

Ancaman krisis pangan menjadi bayang-bayang menakutkan bagi sebagian bangsa, termasuk Indonesia. Harga pangan menjadi bola liar yang kian sulit dikendalikan membuat setiap negara berupaya menyelamatkan kepentingan dalam negeri dan membatasi ekspor. Fenomena ini perlu disikapi secara baik dengan mengoptimalkan pemanfaatan pangan berbasis sumber daya lokal untuk memantapkan pencapaian ketahanan pangan yang mandiri dan berdaulat. Mengonsumsi produk pangan lokal berarti melepas ketergantungan impor dan keluar dari jebakan pangan asing.

Pemerintah harus tetap berupaya agar pola konsumsi pangan masyarakat tidak lagi berpusat pada beras, sebab ruang ini selalu dimanfaatkan para mafia beras untuk mendulang rupiah lewat permainan harga. Meskipun sudah digulirkan sejak enam tahun silam Perpres No. 22 tahun 2009 tentang percepatan pengenekaragaman konsumsi pangan, upaya mencari solusi terhadap tingginya konsumsi beras sangat lamban dan kurang menyentuh akar permasalahan.

Keluarnya Surat Edaran Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Nomor 10 Tahun 2014 tentang Peningkatan Efektivitas dan Efisiensi Kerja Aparatur Negara mendorong penguatan kedaulatan pangan dengan menyajikan menu makanan tradisional produksi dalam negeri pada setiap penyelenggaraan rapat memberi angin segar. Imbauan ini memberi pemahaman baru tentang ketahanan pangan. Selain mengangkat martabat berbagai sumber pangan lokal potensial seperti umbi-umbian, sorgum juga menjadi momen kebangkitan nasionalisme pangan dan menumbuhkan spirit baru bagi para petani lokal karena hasil keringat mereka dihargai pemimpinnya.

Implikasinya petani akan memperbaiki usaha taninya supaya masyarakat lebih nyaman dan nikmat mengonsumsi pangan lokal. Jika pangan lokal berbahan dasar singkong, ubi jalar, pisang dapat diolah sedemikian rupa sehingga pantas disajikan di acara-acara resmi kenegaraan di istana negara misalnya, ini menjadi sebuah langkah maju untuk menjadi contoh ketimbang anjuran dalam pidato. Para pejabat yang mulai mengadopsi gaya hidup sederhana ini akan mengedukasi masyarakat untuk menjauhi berbagai pangan impor yang terkesan mewah itu.

Produk olahan singkong yang selama ini selalu dipandang lebih rendah dari beras sebagai bahan pangan pokok karena kandungan proteinnya yang relatif minim akan mulai berubah. Sekadar mengingatkan, zaman dulu, masyarakat Batak Toba memiliki budaya makan lokal untuk menyiasati mahalnya beras di masa penjajahan Belanda. Mengonsumsi ubi singkong rebus sebagai makanan "pembuka" menjadi pilihan yang amat popular saat itu. Pola konsumsi ini dikenal “manggadong” untuk menyebut mengonsumsi ubi rebus sebelum makan nasi.

Sayangnya, berbagai budaya makan lokal yang dimiliki setiap daerah dan sudah dikenal sejak berabad-abad silam secara perlahan mulai terpinggirkan karena pesatnya perkembangan korporasi pangan global memproduksi pangan olahan berbasis gandum. Keterlibatan korporasi transnasional dalam industri pangan telah menghabisi budaya makan berbasis kearifan lokal. Dengan penguasaan ilmu dan teknologi pangan, korporasi dapat memproduksi dan mengatur sistem distribusi pangan. Harga pun mereka atur sedemikian rupa. Struktur oligopoli bermain dalam ruang bisnis pangan yang menetaskan bentuk penjajahan baru bernama food capitalism.

Produk olahan singkong dan pangan nonberas berbasis sumberdaya lokal lainnya tidak seharusnya lagi dianggap sebagai lambang kemiskinan dan inferior. Dengan makin mahalnya harga beras, pemerintah seharusnya tidak perlu panik dengan membuka kran impor beras yang efek jangka panjangnya sangat merugikan petani lokal. Yang patut dilakukan adalah mendorong masyarakat untuk terus meningkatkan konsumsi pangan nonberas berbasis sumber daya lokal sehingga petani dapat mengoptimalkan penggunaan lahan pertanian, baik untuk kebutuhan sehari-hari maupun untuk memenuhi permintaan pasar global yang terus berkembang.

Posman Sibuea, Guru Besar Tetap di Jurusan Teknologi Hasil Pertanian Unika Santo Thomas Sumatera Utara. Pendiri dan Direktur Center for National Food Security Research (Tenfoser)

Ikuti berita kami di Facebook

 


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home