Loading...
BUDAYA
Penulis: Francisca Christy Rosana 15:26 WIB | Sabtu, 27 Juni 2015

Frankfurt Book Fair dan Manipulasi Tokoh Tragedi Genosida

Seolah-olah ada gelombang atau fenomena baru tentang pengungkapan peristiwa 1965 melalui novel atau karya fiksi yang dipelopori dua penulis perempuan.
Suasana Frankfurt Book Fair di Jerman tahun lalu. (Foto: buchmesse.de)

JAKARTA, SATUHARAPAN.COM – Opini tentang ‘perdagangan orang’ dalam Frankfurt Book Fair (FBF) 2015 berkembang di media sosial. Dimunculkannya dua nama penulis perempuan, Laksmi Pamuntjak dan  Leila S Chudori sebagai tokoh di balik karya-karya genosida tragedi 1965 cukup mengusik sastrawan Indonesia, di antaranya Linda Christanty, AS Laksana, dan Saut Situmorang.

Melalui media sosial Facebook, Selasa (23/6) lalu, Linda menulis sebuah catatan berjudul Frankfurt Book Fair 2015 dan Kebohongan tentang Kepeloporan Dua Penulis Perempuan Indonesia. Linda mengungkapkan kekecewaannya terhadap ungkapan seorang wartawan situs DW yang menuliskan, “Dari 13-18 Oktober Indonesia akan tampil di Frankfurt sebagai Tamu Kehormatan. Yang cukup mengejutkan, kebanyakan yang memaksa Indonesia berhadapan dengan sejarah gelapnya adalah penulis perempuan.”

Menurut Linda, dua penulis perempuan sebagai ‘tokoh pena tunggal’ di balik pengungkapan peristiwa genosida tersebut merupakan kebohongan yang luar biasa.

“Seolah-olah ada gelombang atau fenomena baru tentang pengungkapan peristiwa 1965 melalui novel atau karya fiksi yang dipelopori dua penulis perempuan. Saya mengatakan bahwa fenomena atau kecenderungan khusus itu tidak ada sama sekali. Saya hidup di Indonesia, saya penulis, dan saya mengetahui apa saja yang terjadi di sini, di negara saya sendiri,” ujar Linda yang langsung mendapat banyak respons dari para pengikutnya.

Penulisan dan penerbitan novel atau karya fiksi yang mengisahkan peristiwa sensitif itu telah ditulis oleh banyak sastrawan, seperti Umar Khayam dalam karyanya berjudul “Sri Sumarah” dan “Bawuk”, Ahmad Tohari dalam “Ronggeng Dukuh Paruk”, Mira W dalam karya bergenre populer, Noorca M Massardi dalam “September”, dan beberapa sastrawan lain, baik perempuan maupun laki-laki. Penulisan tentang tragedi 1965 telah diterbitkan sejak zaman Soeharto hingga sekarang oleh beberapa sastrawan.

“Kalau harus menunjuk diri sendiri, saya juga menulis cerita-cerita pendek tentang peristiwa 1965 di antara karya lain tentang penculikan aktivis, gerakan politik melawan Suharto, masa pendudukan Jepang, transgender dan sebagainya itu,” ujar Linda.

Linda menyebutkan, dua penulis perempuan yang diusung menjadi pelopor tragedi genosida dalam pameran buku terbesar tersebut merupakan penghinaan upaya siapapun yang tanpa kenal lelah dengan segala risikonya, mulai dari individu, komunitas, organisasi, para aktivis, hingga anak-anak muda bekerja untuk mengungkap kebenaran.

Melencengnya slogan “17 Ribu Pulau Imajinasi” yang kemudian dikerucutkan pada tragedi kelam bangsa Indonesia juga menjadi titik sorot yang dikritisi penulis “Seekor Burung Kecil di Naha” itu.

“Saya mendukung Indonesia sebagai tamu kehormatan di Frankfurt Book Fair 2015, tapi tidak mendukung kebohongan atau manipulasi yang berlebihan untuk tujuan perdagangan dengan alasan apa pun,” uajr Linda.

Senada dengan Linda, sastrawan AS Laksana juga mengungkapkan pendapat serupa. Tema yang diusung Indonesia sebagai tamu kehormatan menurut AS Laksana  justru menyempitkan imajinasi dan menyelewengkannya ke peristiwa 1965 sebagai tema utama bayangan.

AS Laksana mempertanyakan pertimbangan panitia tak memilih karya-karya terbaik sastra Indonesia dalam 10 hingga 25 tahun terakhir.

“Panitia bisa mengumpulkan karya-karya sastra yang mendapatkan penghargaan pada tiap-tiap tahun atau mendapatkan pujian dari para kritikus yang berwibawa—kalau kritikus semacam itu ada dan terbukti memiliki ketekunan untuk mengamati karya sastra,” ungkap AS Laksana.

Melalui seleksi yang dilakukan para kritikus sastra, keragaman tema kesusastraan Indonesia dapat dipertimbangkan mutu dan kualitasnya. Dari keberagaman tersebut pun dapat diperkenalkan dunia sastra Indonesia dari waktu ke waktu.

Sementara itu, Saut Situmorang mencurigai Goenawan Mohamad sebagai Ketua Komite Nasional FBF 2015 memanipulasi dipilihnya dua penulis perempuan menjadi tokoh FBF 2015.

“Benarkah Laksmi Pamuntjak dan Leila S Chudori yang keduanya sangat dekat dengan GM (Goenawan Mohamad, Red) itu mempelopori penulisan novel tentang Genosida 1965?,” ungkap Saut.

Opini para sastrawan yang ramai ditanggapi netizen ini kemudian dijawab oleh Andy Budiman, Ketua Komite Media dan Hubungan Luar FBF 2015. Menjawab persekongkolan sastrawan tersebut, disebutkan dalam konferensi pers di Frankfurt, Selasa (23/6/2015), ketika ditanya wartawan apakah ada tema khusus dari Indonesia sebagai Guest of Honour, Ketua Komite Nasional,  Goenawan Mohamad menjelaskan bahwa tidak mungkin ada sebuah tawaran tema khusus, mengingat tahun lalu saja ada sekitar 40.000 buku yang diterbitkan di Indonesia.

“Publikasi media Jerman atas tema 1965 antara lain karena kehadiran Joshua Oppenheimer beberapa waktu lalu dalam diskusi "Senyap" di Berlin dan Frankfurt. Sebagai tambahan, lecture dan diskusi yang diselenggarakan komite, justru lebih banyak berbicara tentang Indonesia, sebagai sebuah negeri berpenduduk mayoritas Muslim yang punya wajah berbeda dari Islam Timur Tengah,” kata Andy melalui akun media sosial Facebooknya.

Sementara mengenai Laksmi Pamuntjak yang disebut-sebut dihadirkan sebagai bintang lewat praktik manipulasi, Goenawan Mohamad melalui Andy mengatakan publikasi media Jerman atas Laksmi terjadi karena "Alle Farben Rot" diterjemahkan oleh salah satu penerbit penting dan tertua di Jerman yakni Ullstein Verlag, yang bekerja keras mempromosikan buku itu kepada para wartawan.

“Sebagai pembanding, Andrea Hirata juga dipromosikan secara gencar oleh penerbitnya. Para penerbit Jerman ini secara bebas memilih buku mana yang akan mereka terbitkan, dan tentu saja mereka ingin mempromosikan buku yang mereka terbitkan sebaik mungkin,” ungkap Andy.

Ia juga mengonfirmasi, wartawan Jerman yang ditugaskan meliput FBF 2015 secara bebas  dapat memilih siapa yang akan mereka wawancara dan apa yang akan mereka tulis.

“Mereka mengajukan sendiri kepada kami, daftar penulis dan orang-orang yang akan mereka wawancarai. Semoga penjelasan ini bisa memberikan konteks dari seluruh percakapan tentang Frankfurt Book Fair,” kata Andy.

Beberapa waktu lalu, Indonesia ditunjuk menjadi tamu kehormatan FBF 2015 pada 14-18 Oktober di Jerman setelah Finlandia yang menjadi tamu kehormatan pada 2014.

"Sebagai tamu kehormatan Indonesia harus menerjemahkan minimal 200 buku Indonesia ke dalam bahasa Jerman dan Inggris," kata Kepala Pusat Divisi Pelayanan Koleksi dan Informasi Perpustakaan Nasional, Lucya Dhamayanti di Jakarta, tahun lalu.  

Editor : Eben Ezer Siadari


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home