Loading...
ANALISIS
Penulis: Sampe L. Purba 00:00 WIB | Selasa, 21 Februari 2017

Freeport : Dimensi Kontraktual versus Kebijakan Publik

Baru-baru ini PT Freeport Indonesia terlibat dalam silang sengketa dengan Pemerintah Indonesia, karena ingin mengubah bentuk kontrak kerja. Bagaimana mendudukan perkara itu?

SATUHARAPAN.COM - Perbincangan yang hangat dewasa ini sehubungan dengan keengganan PT Freeport Indonesia untuk melanjutkan operasi, dan mengubah bentuk Kontrak dari Kontrak Karya menjadi Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK), sebagai syarat untuk memperoleh izin ekspor sementara konsentrat (bijih mentah tembaga dan emas) yang belum dimurnikan (smelter), memiliki dimensi historis dan kontemporer yang kompleks, baik dari sisi hubungan kontraktual, perekonomian daerah, kebijakan publik Pemerintah Pusat dan dimensi Internasional.

PT Freeport Indonesia merupakan perusahaan afiliasi dari Freeport-McMoRan (FCX) yang berkantor pusat di Phenix Arizona, Amerika Serikat. PTFI menambang, memproses dan melakukan eksplorasi terhadap bijih yang mengandung tembaga, emas dan perak. Beroperasi di daerah dataran tinggi di Kabupaten Mimika Provinsi Papua, Indonesia. PT. FI memasarkan konsentrat yang mengandung tembaga, emas dan perak ke seluruh penjuru dunia.. Dalam laporan konsolidasi induk perusahaan Freeport-McMoran tahun 2015, PTFI menyumbang 19% tembaga dan 98% emas.  PTFI mencatat penjualan 744 juta pon tembaga (harga rata rata $2.33 per pon) dan 1,2 juta ons emas (harga rata-rata $1,129 per ons). Cadangan tembaga FCX masih  ada 99,5 milyar pon, di mana 28% di Indonesia.

PT Freeport Indonesia beroperasi berdasarkan Kontrak Karya dengan Pemerintah Indonesia. Generasi  pertama 1967 – Kontrak Karya I (Freeport Indonesia Inc.) berlaku selama 30 tahun sejak mulai beroperasi tahun 1973. Kedua pada 1991 – Kontrak Karya II (PT Freeport Indonesia) berlaku 30 tahun dengan periode produksi akan berakhir pada tahun 2021, dengan opsi perpanjangan 2x10 tahun (sampai tahun 2041).

Beberapa hal yang perlu dipahami lebih dahulu dalam konstruksi hukum kontrak ini adalah: Pertama, pihak Kontraktor (PTFI) dan Pemerintah dalam Kontrak Karya ini statusnya adalah seimbang sederajat dalam pemenuhan hak-hak dan kewajiban para pihak, sesuai dengan yang telah disepakati. Kedudukan Pemerintah dalam hal ini adalah bertindak sebagai pihak biasa yang melaksanakan aktivitas komersial (jure gestionis). Termasuk di dalam hal ini adalah apabila ada sengketa baik karena penafsiran Kontrak, atau satu pihak merasa pihak lainnya wan prestasi atau tidak memenuhi kewajiban kontrak, maka mereka tunduk kepada forum dan mekanisme penyelesaian sengketa yang disepakati. Dalam kontrak Freeport, mekanisme penyelesaian sengketa adalah secara arbitrase, dengan forum penyelesaian sengketa di UNCITRAL Arbitration Rules.

Kedua, Kedudukan Pemerintah sebagai Pemerintah Negara Berdaulat dalam hukum Internasional dikenal dengan Jure imperii. Pemerintah adalah subjek hukum yang sempurna, karena itu dalam melaksanakan kedaulatan (sovereignty)nya tidak terikat dan dibatasi oleh hukum kontrak.

Implementasi kedua hal di atas adalah bahwa hubungan antara Pemerintah dengan PTFI tidak mengakibatkan hilangnya kedaulatan Pemerintah Indonesia dalam menjalankan hak dan kewajibannya sebagai Pemerintah untuk kepentingan umum. Pada salah satu pasal Kontrak Karya, disebut bahwa PTFI berhak untuk mengajukan perpanjangan berturut turut dua kali 10 tahun, tergantung kepada (subject to) persetujuan Pemerintah. Persetujuan Pemerintah tidak boleh ditahan (ditunda) tanpa alasan (shall not unreasonably withhold). Permohonan Perusahaan (PTFI) dapat dilakukan sewaktu-waktu, termasuk ketika Kontrak belum berakhir.

Apa yang dimaksud dengan shall not unreasonably withhold ? Apabila Pemerintah melihat ada alasan yang rasional, maka tidak ada keharusan untuk mengabulkan permohonan tersebut. Misalnya, apabila ada perubahan peraturan perundang-undangan yang berlaku umum yang melarang bentuk kontrak karya, atau apabila ada pihak lain yang mengajukan penawaran yang lebih menarik untuk pengelolaan wilayah kerja itu, atau apabila Pemerintah berkehendak untuk mengelola sendiri, atau menginginkan divestasi/ peralihan saham. Di sisi lain, apabila Pemerintah dalam kapasitasnya untuk mengimplementasikan Kontrak Karya pernah mengindikasikan akan memperpanjang konsesi, dan Perusahaan telah melakukan perencanaan bisnis untuk hal itu, tetapi tiba-tiba Pemerintah menyatakan tidak akan memperpanjangnya, maka dalam situasi sedemikian pihak Perusahaan dapat menganggap Pemerintah tidak beritikad baik, serta dapat memperkarakannya ke forum yang disepakati dalam Kontrak. Secara universal, maka adalah kewajiban Pemerintah suatu Negara untuk melindungi warga negara dan hartanya termasuk di luar negeri terhadap ketidak adilan dan penindasan.

Dalam update status di laman resmi web Freeport McMoran per 3 Pebruari 2017, dinyatakan bahwa pada 7 Oktober 2015 Pemerintah telah menjamin bahwa setelah ada regulasi baru, perusahaan tersebut akan diberikan perpanjangan kontrak dengan hak yang sama, serta tingkat kenyamanan kepastian hukum dan fiskal sebagaimana ada pada Kontrak Karya yang masih berlaku.

Hukum yang mengatur (governing law) dalam Kontrak Karya Freeport adalah Hukum Indonesia. Salah satu hukum Indonesia adalah Undang-undang. Undang-undang Nomor 4/ 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara pada pasal 169 dan pasal 170 menyatakan bahwa pemegang Kontrak Karya tidak harus berubah menjadi Izin Usaha Pertambangan Khusus sepanjang pemegang Kontrak Karya tersebut melaksanakan hilirisasi (antara lain pembangunan smelter / pemurnian)  dalam 5 tahun sejak Undang-undang tersebut diterbitkan. Sedangkan dalam Peraturan Pemerintah nomor 1/ 2017 tentang perubahan keempat Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batu bara, hanya Perusahaan Pertambangan yang berubah menjadi IUP atau IUPK yang mendapatkan perpanjangan waktu 5 tahun sejak 2017 itu untuk membangun fasilitas smelter. PP tersebut juga  mengatur kewajiban divestasi saham ke orang Indonesia hingga 51%, serta pembangunan fasilitas pemurnian.

Tampaknya, di sinilah pergesekan penafsiran hukum yang terjadi. Sesuai dengan Kontrak Karya, Kontraktor diberikan kebebasan untuk mengekspor hasil tambangnya tanpa harus dimurnikan terlebih dahulu. Pemurnian di domestik sifatnya adalah tidak mengikat, namun disesuaikan dengan pertimbangan ekonomi dan teknis dari Kontraktor. Namun demikian, hukum kontrak harus tunduk dan tidak boleh bertentangan dengan hukum publik. Di dalam hal ini, Kontrak Karya harus menyesuaikan dengan pengaturan hukum publik. Masalah perizinan ekspor misalnya. Itu bukan domain hukum kontrak. Jadi kalau PTFI tidak mengikuti tahapan hilirisasi tersebut, maka akan dapat terkendala di hukum publik tidak mendapatkan izin ekspor. 

Di sisi lain, dengan mengubah Kontrak Karya menjadi Izin Usaha Pertambangan/ Khusus (IUP/K), rezim fiskalnya akan berubah, baik yang menyangkut perpajakan,  yang dalam IUP/K dapat berubah ubah sesewaktu (prevailing), sementara dalam Kontrak Karya bersifat tetap (nail down), termasuk terhadap besaran royalti dan kewajiban divestasinya. Keberlakuan izin juga relatif dan tidak memberikan kepastian jangka waktu setegas Kontrak Karya.

Pemerintah Indonesia berkepentingan untuk memastikan berjalannya secara kondusif investasi, yang menyerap tenaga kerja, memasok barang dan jasa,  alih teknologi, dan hal hal lain yang memberikan nilai tambah serta penerimaan dan kontribusi ke perekonomian daerah, regional dan nasional. Di sisi lain, perusahaan-perusahaan yang beroperasi di Indonesia (termasuk Freeport) harus menyesuaikan dan mengikuti kebijakan Pemerintah, dengan tetap memperhatikan stabilitas perhitungan perencanaan bisnis, kepastian hukum dan fiscal terms.

Semoga Pemerintah dan Freeport Indonesia, dapat menemukan solusi yang bijak, mendasar dan berkelanjutan untuk kepentingan dan kemaslahatan bersama.

Penulis adalah Praktisi Energi – Anggota KaDin Indonesia Bidang Energi

 

Editor : Trisno S Sutanto


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home