Loading...
FLORA & FAUNA
Penulis: Diah Anggraeni Retnaningrum 09:48 WIB | Kamis, 04 Desember 2014

Gadung, Pilihan Pahit Bertahan Hidup

Gadung atau dengan nama ilmiah Dioscorea hispida Dennst merupakan perdu memanjat yang tingginya antara lima hingga sepuluh meter. Batangnya bulat, berbulu dan berduri yang tersebar pada batang dan daun. (Foto: istimewa)

SATUHARAPAN.COM – Beberapa waktu lalu banyak diberitakan bahwa masyarakat di daerah Bengkulu terpaksa mengkonsumsi gadung, karena tidak mampu membeli beras. Mengkonsumsi gadung merupakan pilihan pahit untuk bertahan hidup dalam keadaan rawan pangan di daerah itu. Tetapi apa sebenarnya gadung itu?

Tanaman ini di Indonesia dikenal dengan beberapa nama daerah seperti  sekapa, bitule, bati atau kasimun, dan secara ilmiah dikenal sebagai Dioscorea hispida Dennst. Tanaman ini merupakan perdu memanjat yang tingginya antara lima hingga sepuluh meter. Batangnya bulat, berbulu dan berduri yang tersebar pada batang dan daun.

Gadung menghasilkan umbi yang biasanya berada di dekat permukaan tanah. Kulitnya berwarna  gading atau coklat muda. Daging umbi ini berwarna putih gading atau kuning. Perbedaannya dengan Dioscorea lainnya adalah daunnya majemuk terdiri dari tiga helai. Bunganya tersusun dalam ketiak daun, berbulir, dan berbulu.

Tanaman ini sebenarnya berasal dari India  bagian barat yang kemudian menyebar sampai ke Asia Tenggara. Biasanya tumbuh di tanah datar sampai ketinggian 850 meter dari permukaan laut (dpl), tetapi ada juga yang ditemukan di ketinggian hingga 1.200 meter dpl. Di Himalaya, tanaman ini dibudidayakan di pekerangan rumah atau tegalan, atau di hutan-hutan di tanah kering. Di Indonesia biasanya tumbuh secara liar di pekarangan atau hutan. Ada juga yang membudidayakannya di pinggir pekarangan.

Umbi gadung sangat beracun, karena mengandung alkaloid yang bisa menimbulkan rasa pusing pada orang yang memakannya. Tetapi dengan cara pengolahan khusus umbi ini dapat dimakan tanpa menimbulkan rasa pusing, seperti dibuat menjadi kerupuk. Di Nusa Tenggara dan Maluku, dan Bengkulu umbinya biasa dimakan sebagai pengganti sagu, jagung atau beras pada masa paceklik. Umbi mentahnya yang mengandung alkaloid dapat digunakan sebagai bahan racun binatang.

Ada catatan bahwa umbi ini juga digunakan sebagai obat luka, dan sisa olahan bisa juga digunakan sebagai bahan insektisida. Meski umbinya beracun, bunganya yang berwarna kuning memiliki bau yang harum dan bisa digunakan sebagai pewangi pakaian, atau bahkan hiasan rambut.

Pembiakan biasanya dilakukan dengan umbi yang bertunas. Gadung biasanya ditanam menjelang musim hujan, dan dapat dipanen setelah satu tahun. Umbi yang dibiarkan tua, warnanya akan menjadi hijau dan racunnya bisanya semakin pekat. (S-22)(Puslitbang Biologi-LIPI)

Editor : Eben Ezer Siadari


BERITA TERKAIT
BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home