Loading...
HAM
Penulis: Diah Anggraeni Retnaningrum 18:59 WIB | Minggu, 02 April 2017

Gafatar dan Kebebasan Beragama Akan Dibahas di Dewan HAM PBB

Ilustrasi. Puluhan jemaat dari GKI Yasmin dan HKBP Filadelfia melaksanakan ibadah Natal di seberang Istana Negara yang digelar sekitar pukul 14.00 WIB dalam rangka menyambut Hari Raya Natal tahun ini. (Foto: Dok. satuharapan.com/Dedy Istanto)

JAKARTA, SATUHARAPAN.COM – Direktur Eksekutif Human Rights Working Group (HRWG) Muhammad Hafiz menyatakan ada beberapa isu yang akan menjadi tinjauan Dewan Hak Asasi Manusia (HAM) PBB melalui Mekanisme Universal Periodic Review (UPR) pada 3 Mei 2017 mendatang.

“Isu tersebut di antaranya adalah kasus kebebasan beragama yang hingga sekarang belum selesai dan terlunta-lunta dan pelaksanaan eksekusi hukuman mati selama pemerintahan Presiden Joko Widodo,” kata dia dalam keterangan tertulisnya yang diterima oleh satuharapan.com pada hari Minggu (2/4).

Selain itu isu lainnya yang akan dibahas adalah Gafatar yang terusir dari Menpawah dan kriminalisasi terhadap penganutnya, hak-hak disabilitas - terutama layanan kesehatan, pasung dan perempuan disabilitas, masyarakat adat, penyelesaian pelanggaran HAM masa lalu, dan pelanggaran HAM dan akses jurnalis di Papua. 

Mekanisme UPR ini adalah mekanisme regular yang dilaksanakan empat tahunan, dimulai sejak tahun 2008 dan diteruskan pada 2012. Review 2017 merupakan kali ketiga Indonesia ikut dalam evaluasi universal ini. 

UPR adalah mekanisme unik, menggambarkan kesetaraan semua Negara di dunia, karena 193 Negara PBB direview oleh Anggota PBB yang lain tentang sejauh mana hak asasi manusia dijalankan di level nasional. Maka dari itu, mekanisme ini adalah mekanisme yang seharusnya disikapi secara dewasa oleh Pemerintah dan publik di Indonesia sebagai bagian dari reformasi PBB yang seringkali memosisikan negara-negara berkembang secara timpang. Artinya, dalam iklim kesetaraan dan demokratis, Indonesia juga dapat mengevaluasi dan berkomentar terhadap situasi HAM di negara-negara lain ketika mereka ditinjau di UPR. 

Indonesia adalah salah satu negara yang sejak awal telah memberikan kontribusi signifikan bagi pembangunan mekanisme UPR ini, di mana partisipasi masyarakat sipil diperkuat, bersedia secara sukarela pada tahun 2008 untuk direview untuk pertama kalinya, serta terlibat dalam perumusan prosedur UPR sejak Dewan HAM masih menjadi Komisi HAM. 

“Dengan prestasi ini, HRWG memandang penting bagi Pemerintah Indonesia saat ini untuk terlibat aktif dan mendukung UPR pada 3 Mei 2017 mendatang, di antaranya adalah dengan bersikap jujur dan berani mengungkap tantangan dan kendala penegakan HAM yang ada di Indonesia.”

Menurut dia, dalam skema yang demokratis dan terbuka saat ini, sangat sulit untuk menutup-nutupi kondisi yang terjadi di setiap negara. Maka itu, menutup-nutupi situasi yang sebenarnya justru akan meletakkan pemerintah pada posisi defensif dan tidak jujur. Bila demikian, maka hal ini tentu tidak baik bagi posisi Indonesia sendiri di hadapan negara-negara lain.

Ada beberapa isu yang akan nampak signifikan dalam Sidang UPR nantinya mengingat sejumlah kasus-kasus pelanggaran HAM yang terjadi pada periode 2012 hingga 2017. Kasus-kasus tersebut tentu akan menjadi perhatian negara-negara, apalagi bila penyelesaiannya belum nampak nyata.

Terhadap isu-isu tersebut, HRWG mengharapkan pemerintah telah menyiapkan jawaban yang valid dan kredibel, termasuk upaya dan komitmen yang sedang dilakukan. Jawaban Pemerintah akan menjadi catatan bagi masyarakat sipil dan komunitas internasional, sehingga jawaban yang defensif justru akan memperburuk citra Indonesia itu sendiri.

Apalagi, terhadap isu-isu tersebut, masyarakat sipil Indonesia telah menyampaikan laporannya pada September 2016 yang lalu dan komunitas internasional telah memiliki cukup bahan untuk berdialog dengan pemerintah secara kritis. (PR)

Editor : Diah Anggraeni Retnaningrum


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home