Loading...
ANALISIS
Penulis: Stanley R. Rambitan 17:53 WIB | Sabtu, 09 Agustus 2014

Gagal, Gunakan Islam Sebagai Identitas Perjuangan Politik

Abu Bakr al-Baghdadi saat berkhotbah di Mosul pada awal Juli dengan jam tangan Rolex, seharga lebih dari Rp 45 juta seri Omega Seamaster (jam yang dipakai James Bond pada film Skyfall). (Foto: Twitter.com)

SATUHARAPAN.COM – Kelompok ISIS, bagi kepentingan politik, menggunakan identitas Islam bertujuan mendapat dukungan dari umat Islam baik lokal, regional dan internasional. Namun, di zaman modern penggunaan sentimen agama tidak berhasil.

Islamic State in Iraq and Syam/Syria (ISIS) telah menjadi topik pembicaraan masyarakat dunia.  Di Indonesia, Presiden SBY memberikan reaksi serius dan kemudian pemerintah Indonesia menyatakan bahwa paham ISIS dilarang. Video propaganda ISIS yang tersebar di internet juga diblokir oleh pemerintah. Penolakan terhadap ISIS karena kebrutalan pasukannya. Banyak tempat ibadah, baik gereja maupun masjid dan makam nabi Yunus dan makam nabi-nabi lain yang dipercayai dalam Islam, Kristen dan Yahudi dihancurkan. Pembunuhan sadis, pemaksaan masuk Islam dan perkawinan paksa juga dilakukan oleh kelompok ini.

ISIS bermula dari kelompok perlawanan yang dibentuk ketika Amerika Serikat menginvasi Irak dan menjatuhkan Saddam Hussein. Kelompok ini menjadi bagian Al Qaeda dan bernama Al Qaeda in Iraq (AQI). Ketika Suriah mengalami pergolakan politik, kelompok anti pemerintah yaitu Front Al-Nusra lalu bergabung dengan AQI dan membentuk ISIS. Seperti Al Qaeda, ISIS awalnya memiliki ideologi dan perjuangan anti Barat khususnya Amerika dan tidak anti kelompok Islam lain seperti Syiah maupun agama dan umat Kristen. Tetapi karena konflik Syiah dan Sunni menajam, maka sikap anti Syiah menjadi perjuangannya juga.

Perjuangan ISIS sangat serupa dengan perjuangan kaum Mujahidin dan kemudian Taliban di Afghanistan, Hizbullah di Lebanon, atau kelompok Islam Moro di Filipina Selatan atau Hamas di Palestina. Kelompok-kelompok ini sama-sama berjuang untuk kedaulatan politik dan ekonomi. Namun ISIS menggunakan nama Islam. Perjuangan serupa ISIS pernah dilakukan oleh Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII)  Kartosuwirjo di Jawa, Daud Beureuh di Aceh dan Kahar Muzakkar di Sulawesi Selatan di Indonesia antara tahun 40-an sampai awal 60-an yang menggunakan Islam sebagai alat perjuangan.

Identitas “Islam” Sebagai Alat Propaganda Politik

Penggunaan istilah Negara Islam atau Darul Islam,  atau Daulah dan Khilafah Islamiyah sebagai nama dan bentuk perjuangan politik memiliki baik kepentingan agama Islam maupun politik. Kepentingan Islam didasarkan pada ajaran bahwa agama dan negara adalah satu, tidak dapat dipisahkan atau keduanya berada dalam hubungan mutualistis. Agama harus menjadi dasar atau ideologi atau nilai-nilai dalam kehidupan bernegara. Sedangkan negara harus menjadi penopang dan pelindung agama serta menjamin pelaksanaan ajaran Islam.  

Bagi kepentingan politik, penggunaan identitas Islam bertujuan mendapat dukungan dari umat Islam baik lokal, regional dan internasional. Agama memiliki sentimen yang sangat tinggi. Karena itu, komitmen dan loyalitas umat terhadap simbol-simbol agama sangat tinggi. Orang dapat dengan mudah bersimpati dan memberi dukungan terhadap perjuangan sosial-politik yang menggunakan label agama. Perjuangan beridentitas agama akan didukung karena ia menggunakan otoritas ilahi. Bahwa perjuangan yang dilakukan adalah perjuangan di jalan Allah dan tentu diridai-Nya. Pejuang-pejuangnya melakukan kehendak Allah dan karena itu akan mendapat pahala di akhirat. Perjuangan beridentitas agama memanfaatkan rasa persaudaraan dan solidaritas umat yang sangat kuat. Karena itu perjuangan politik akan mendapat banyak dukungan jika ukuwah atau persaudaraan ditonjolkan. Dukungan karena solidaritas datang dari umat seagama secara global. Ini karena umatnya ada di seantero bumi. Karena itu, misalnya perjuangan ISIS mendapat dukungan dari umat Islam dari berbagai negara, termasuk Indonesia; serupa dengan dukungan kepada Taliban, Al Qaeda dan Palestina yang dianggap Muslim.

Agama Islam adalah simbol pengikat rasa kebersamaan dan persaudaraan atau solidaritas umatnya di mana pun mereka berada. Karena itu, sering Islam dijadikan alat dan bentuk perjuangan politik. Isu agama dapat dipergunakan baik untuk mendapat dukungan maupun untuk menjatuhkan musuh politik. Untuk alasan ini, maka tidak mengherankan, Jokowi atau Tim Suksesnya sangat berusaha membuktikan keislamannya menjelang pemilihan presiden bulan Juli 2014 lalu, agar ia tidak jatuh karena masyarakat ragu terhadap keislamannya. Demikian juga, tidak dapat disepelekan, pengaruh kaum Islam yang “fanatik” pada partai-partai berakar Islam seperti PKS, PAN dan PPP terhadap besarnya perolehan suara Prabowo-Hatta.   

Penolakan terhadap ISIS dan Kegagalan Perjuangan Berlabel Islam

Ketika masyarakat melihat kekerasan pasukan ISIS, orang lalu bertanya: inikah Islam, Islam yang mana, atau Islam apa? Mengapa perjuangan Islam menghancurkan masjid, gereja dan makam nabi-nabi Islam? Kalau Islam, mengapa ada pemaksaan dalam agama, padahal Quran mengatakan “agamaku agamaku agamamu agamamu, dan tidak ada paksaan dalam agama”?

Kekerasan pasukan ISIS dan keraguan terhadap keislamannya membuat masyarakat di  Irak dan Suriah bangkit melawan dengan senjata. Di samping itu, pemerintah Irak dan Amerika Serikat mulai menyerang  kantong-kantong pasukan ISIS. Juga kelompok-kelompok pendukungnya di Suriah mulai menolak pola kepemimpinan keras Abu Bakr Al-Baghdadi. Di Indonesia, pemerintah, lembaga-lembaga keagamaan dan tokoh-tokoh Muslim ramai-ramai menolak ISIS dan menyebutnya sebagai kelompok teroris. ISIS dianggap berbahaya, bukan saja terhadap masyarakat Indonesia karena ia merekrut banyak orang, terutama kalangan muda Muslim Indonesia, tetapi juga bagi Islam. 

Ada dilema dalam perjuangan yang menggunakan identitas agama. Pertama, penggunaan nama Islam dapat menjadi alat mendapatkan dukungan. Namun, kedua, adanya perbedaan aliran umumnya menjadi pemicu perpecahan. Ketiga, perjuangan dengan kekerasan terhadap masyarakat dan agama  tidak mendapat simpati banyak kalangan. Keempat, yang dihadapi bukan saja masyarakat atau pemerintah lokal tetapi juga masyarakat internasional dengan kekuatan yang besar.

Di dalam sejarah modern, perjuangan politik beridentitas agama umumnya tidak berhasil. Taliban di Afghanistan mengakibatkan kehancuran bagi masyarakat dan negara. Perjuangan Muslim Moro di Filipina Selatan, juga Muslim di Thailand Selatan, sampai saat ini gagal. DI/TII di Indonesia juga tidak berhasil. Juga Khilafah Islamiyah yang dimotori oleh Jamaah Islamiah di Asia Tenggara gagal. Saat ini, ISIS mulai mendapat penolakan dari berbagai kalangan dalam Islam. Juga mulai ada perpecahan di dalam kepemimpinannya. Dan serangan pemerintah Irak beserta Amerika Serikat kemungkinan besar tidak lama lagi akan mengalahkannya. Jadi, di zaman modern ini, perjuangan politik dengan menggunakan agama tidak akan pernah berhasil.  

Stanley R. Rambitan/Teolog-Pemerhati Agama dan Masyarakat 


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home