Loading...
BUDAYA
Penulis: Moh. Jauhar al-Hakimi 22:22 WIB | Minggu, 19 Mei 2019

Geliat Seni Rupa Pantura “Dari Titik Muria”

Geliat Seni Rupa Pantura “Dari Titik Muria”
Karya berjudul Membaca Dua Jaman (Susilo Tomo) dalam pameran seni rupa "Dari Titik Muria" di Tembi Rumah Budaya, 17 Mei – 7 Juni 2019. (Foto-foto: Moh. Jauhar al-Hakimi)
Geliat Seni Rupa Pantura “Dari Titik Muria”
Pemilik Tembi Rumah Budaya Ons Untoro (baju putih) mengamati karya panil yang dibuat oleh Agus Btwr berjudul Kalangkabut #1 saat pembukaan pameran, Jumat (17/5).

YOGYAKARTA, SATUHARAPAN.COM – Sepuluh seniman-perupa dari tiga kota yang berada di seputaran Gunung Muria (Kudus-Pati-Jepara) yang tergabung dalam kelompok Songolikur art project mempresentasikan karya di Tembi Rumah Budaya. Pameran bertajuk “Dari Titik Muria” dibuka Jumat (17/5) sore.

Kesepuluh seniman-perupa tersebut adalah Angga Aditya, Apis Btwr, Briyan Farid, Budi Karya, Indarto Agung Sukmono, Indrayana, Putut Puspito Edi, S. Mulyana Gustama, Susilo Tomo, Winantyo Agung P, mempresentasikan karya dua-tiga matra dengan mengeksplorasi sejarah-geografis semenanjung Muria sebagai pijakan proses berkarya sekaligus membangun dialektika berkesenian.

“Berawal dari relasi pertemanan saat berkumpul di puncak 29 (puncak tertinggi kedua Gunung Muria) memperbincangkan hal-hal sederhana tentang berkesenian oleh seniman-pekerja seni di lingkar Muria. Dalam perjalanannya perbincangan berkembang dalam berbagai ranah termasuk sosio-historis semenanjung Muria,” jelas S. Mulyana “Mamik” Gustama kepada satuharapan.com saat pembukaan pameran.

Mamik menjelaskan bahwa kawasan Pegunungan Muria dahulu adalah sebuah pulau tersendiri yang terpisah dari daratan pesisir Pulau Jawa sekitar Kudus-Pati sehingga meninggalkan jejak kebudayaan yang bisa jadi cukup berbeda. Secara geografis terlihat pada berbagai aspek yang melingkupinya. Dari aspek kebudayaan bisa dilihat pada sisi sejarah, tradisi yang masih hidup hingga realitas budaya kontemporer yang didalamnya mengandung dimensi sosial politik.

Secara garis besar karya yang dipresentasikan kesepuluh seniman-perupa lebih banyak berbicara pada pembacaan suasana, refleksi historis, dan realitas.

Dalam lukisan berjudul Dandangan, kemeriahan dinanti historis dilupa Bryan Farid Abdillah Arif membaca tradisi dandangan yang masih digelar untuk mengawali bulan Ramadan namun hanya menyisakan kemeriahan semata. Karya tersebut menjadi kritik Farid pada realitas upacara adat-tradisi di berbagai daerah kehilangan ruh-nilai sakralnya dan berganti hanya sebatas rutinias semata, termasuk dandangan di Kudus.

Kritik sosial dilakukan juga oleh Apis Btwr dalam karya berjudul Investor dan enam lukisan panil berjudul Kalangkabut #1 dengan goresan abstrak serta penggunaan obyek figur binatang ikan, burung, anak ayam, kepik sejati atau biasa disebut bapak pucung. Berasal dari Pati yang dikenal sebagai Bumi Mina Tani bisa jadi karya-karya tersebut merupakan keprihatinan Apis pada program pembangunan yang hanya memberikan ruang bagi investor semata. Hari-hari ini Pati dikepung oleh kepentingan investor-investor yang masuk dan mencoba mengeksploitasi sumberdaya alam dalam bentuk industri ekstarktif semen dan bahan tambang lainnya yang membahayakan bagi keberlangsungan-kelestarian sumberdaya karst sebagai sumber mata air dan penghidupan bagi usaha mina-tani masyarakat.

Dalam karya panil drawing pada empat layer akrilik transparan berjudul Batu Rahtawu, Indarto Agung Sukmono memotret suasana Desa Rahtawu Kecamatan Gebog-Kudus dengan bebatuannya. Secara visual karya panil drawing Indarto yang ber-layer tersebut memunculkan kesan tiga dimensi dan menjadi dramatis saat Indarto membuatnya dalam rona monochrome hitam-transparan. Pembacaan hal yang sama pada suasana dilakukan oleh Mamik pada dua karya dalam medium tinta-cat akrilik di atas kanvas berjudul Bertetangga dan Gapura Tanjung.

Membaca Kembali Seni (Rupa) Pantura Jawa

Yang cukup menarik adalah upaya Susilo Tomo dalam mengeksplorasi refleksi-historis pada karya lukisnya berjudul Melihat Dua Jaman. Dalam karya tersebut Susilo Tomo membuat penggambaran peta semenanjung Muria yang dipisahkan dari daratan utama Pulau Jawa dengan marka jalan dan dua buah truk angkutan barang yang sedang melaju beriringan. Di sekitarnya Susilo menambahkan obyek ikan, terumbu karang, aksara Jawa Silugangga, dan tulisan De Grote Postweg.

Silugangga adalah sungai di Pati yang bermuara pada sungai-perairan Juwana. Sungai Silugangga pada masa lalu memisahkan posisi Gunung Muria dengan pesisir utara wilayah Pati. Sementara De Grote Postweg adalah Jalan Raya Pos yang menghubungkan Anyer-Panarukan sejauh 1.000 kilometeran. Ruas jalan utama tersebut dikenal juga sebagai Jalan Daendels karena dibangun pada masa pemerintahan Gubernur Jendral Herman Willem Daendels. Diyakini jalan utama yang menghubungkan Pati-Kudus dulunya adalah selat Muria dan hari ini telah berubah menjadi jalur utama transportasi darat. Dua jaman mewujud dalam sebuah ruang yang menjadi penghubung utama dalam bentuk yang berbeda berikut dialektika yang berkembang.

Pameran “Dari Titik Muria” menjadi langkah awal Songolikur art project menghidupkan kembali geliat seni rupa di lingkar Muria. Bersama Indarto dalam sepuluh tahun terakhir Mamik mencoba menghidupkan kesenian di Kudus meskipun sejauh ini terkesan masih berada di bawah permukaan.

Perkembangan seni rupa Pantura Jawa relatif tidak terlalu terpetakan. Meski begitu mengambil contoh Pasuruan dan Tuban pada abad 18-19 adalah kota penting di pesisir pantai utara Jawa sebelum berkembang menjadi seperti sekarang ini, termasuk dalam seni rupa dan seni lainnya.

Secara umum, seni rupa di sepanjang pesisir pantai utara (Pantura) Jawa lebih melekat pada seni yang teraplikasi pada produk fungsional seperti batik, kerajinan kuningan, ukiran kayu ataupun aplikasi pada kerajinan tangan lainnya. Karakteristik masyarakat pesisir yang terbuka menjadikan seni pertunjukan dan sastra lisan lebih banyak berkembang di masa lalu.

Meski begitu jika diamati lebih teliti, seni rupa Pantura Jawa pun sebenarnya cukup dinamis. Pembacaan sederhana bisa dilihat pada bak-bak truk ataupun bodi bus angkutan penumpang yang kerap dihiasi dengan lukisan ataupun kalimat-kalimat yang memotret realitas sosial, kritik, satire kehidupan yang sesungguhnya bisa menjadi salah satu pembacaan seni rupa yang cukup jujur. Bak truk adalah kanvas sekaligus galeri yang berjalan menyusuri peradaban yang dilaluinya.

Dengan demikian, pameran “Dari Titik Muria” menjadi upaya Songolikur art project dalam pembacaan seni rupa dan juga disiplin seni lainnya dalam lingkup yang lebih spesifik: lingkar Muria.

Pameran seni rupa "Dari Titik Muria" yang dibuka oleh oleh pengajar seni rupa ISI Yogyakarta Mikke Susanto Jumat (17/5) sore berlangsung di TeMBI Rumah Budaya Jl. Jalan Parangtritis Km 8.4 Bantul hingga 7 Juni 2019.

 


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home