Loading...
INDONESIA
Penulis: Tunggul Tauladan 19:29 WIB | Senin, 23 Juni 2014

Gerakan Buruh Meluas ke Politik

Para pembicara dalam Diskusi Geliat Rakyat Dalam Pilpres 2014 pada Senin (23/6). Dari kiri ke kanan: Budi Wardoyo (pakar politik rakyat dan aktivis gerakan buruh), Karsiwen (Ketua Jaringan Buruh Migran Indonesia), dan Bahruddin (Ketua Serikat Paguyuban Petani Qaryah Tahyibah. (Foto: Tunggul Tauladan)

YOGYAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Buruh dan tani merupakan kelas terbesar yang ada pada masyarakat Indonesia. Dalam perhelatan pemilu maupun pilkada, potensi suara dari kalangan buruh dan tani senantiasa menjadi tambang bagi orang yang mencalonkan diri, baik untuk menjadi kepala daerah, anggota dewan, maupun presiden.

Fenomena ini disingkapi dengan dua hal, pertama, buruh dan tani senantiasa hanya sebatas menjadi obyek pemilihan yang hanya dibutuhkan suaranya, atau kedua, kini waktunya buruh dan tani untuk ikut terjun ke dalam dunia politik, memiliki nilai tawar, dan berpeluang untuk menentukan perubahan.

Kedua hal tersebut di atas menjadi tema besar dalam Diskusi Geliat Rakyat Dalam Pilpres 2014. Diskusi yang dihelat pada Senin (23/6) ini terselenggara atas kerjasama antara Social Movement Institute (SMI), Tribun Forum (kelompok diskusi Tribun Jogja), KontraS, Senat Mahasiswa UIN Sunan Kalijaga, Pusat Kajian Pesantren dan Demokrasi (PKPD) Hasyim Asy’ari Tebuireng Jombang, dan MPM PP Muhammadiyah.

Acara yang dihelat di Gedung Asrama Sriwijaya, Jalan Bausasran DN III, No. 595, Yogyakarta ini menampilkan 3 pembicara, yaitu Budi Wardoyo (pakar politik rakyat dan aktivis gerakan buruh), Karsiwen (Ketua Jaringan Buruh Migran Indonesia), dan Bahruddin (Ketua Serikat Paguyuban Petani Qaryah Tahyibah.

Dalam paparan awal, Budi Wardoyo menyinggung tentang potensi kaum buruh dalam berbagai gerakan buruh yang kini mulai mengarah ke gerakan politik. Gerakan buruh tersebut kini tak hanya menyasar atau memperjuangkan kepentingan kaum buruh semata, namun telah menyasar dan memperjuangkan kepentingan rakyat secara luas.

“Gerakan buruh kini tak hanya sebagai gerakan yang memperjuangkan hak buruh, tapi kini telah berkembang menjadi gerakan yang memperjuangkan hak rakyat. Kita lihat bagaimana aksi buruh di Jakarta dan Bekasi ketika memperjuangkan UU Ormas. Dulu kita hanya bisa membayangkan jika buruh hanya melakukan aksi untuk kaum buruh. Tapi kini perkembangannya sedemikian luar biasa, yang bahkan, UU Ormas sekalipun juga menjadi perjuangan kaum buruh,” ujar Budi Wardoyo.

Pria yang akrab disapa Yoyok ini memaparkan bahwa fenomena dewasa ini menunjukkan bahwa buruh cukup antusias terhadap perhelatan pemilu (baik pileg maupun pilpres). Sikap antusias buruh tersebut ditunjukan ketika serikat-serikat buruh, misalnya Serikat Pekerja Metal Inodnesia (SPMI) berupaya memasukkan anggotanya untuk menjadi anggota dewan.

“Dalam tataran ini, serikat-serikat buruh mencoba melakukan terobosan dengan cara memaksimalkan mesin serikat untuk menjadikan calon legislatif tanpa politik uang. Hal ini cukup berhasil di Kabupaten Bekasi di mana SPMI berhasil mendudukkan 3 wakilnya sebagai anggota dewan dari PDIP dan PAN,” papar Yoyok.

Yoyok menilai bahwa upaya-upaya yang dilakukan oleh serikat buruh tersebut merupakan cara untuk meletakkan buruh sebagai kekuatan politik dengan tidak hanya membela kaum buruh tetapi juga kepentingan rakyat.

“Menurut saya upaya tersebut dikatakan sebagai ‘Buruh Go Politic’. Bagi saya, gerakan-gerakan ‘Buruh Go Politic’ telah meluas ke berbagai aksi yang tak hanya membela kepentingan buruh semata, misalnya saja advokasi gerakan buruh untuk menuntut perbaikan jalan dan perbaikan kesehatan,” demikian disampaikan Yoyok.

Terkait dengan Pilpres 2014, Yoyok melihat bahwa fenomena buruh sekarang mengalami pergeseran, yaitu jika pada perhelatan pemilu sebelumnya serikat buruh lebih memilih sikap abstain atau membebaskan anggotanya untuk memilih salah satu capres, maka untuk pemilu saat ini, serikat lebih memihak kepada salah satu pasangan calon presiden/wakil presiden.

“Saya melihat bahwa serikat buruh kini mulai memihak salah satu pasangan calon presiden atau wakil presiden. Hal ini dilakukan karena para buruh melihat bahwa mereka mendapatkan ruang untuk menyuarakan aspirasi mereka sekaligus melihat bahwa visi-misi salah satu pasangan cukup mengakomodir kepentingan kaum buruh, misalnya saja tentang persoalan kenaikan upah sebesar 30 persen pada 2015 dan penghapusan sistem outsorching,” ujar Yoyok.

Pembicara kedua, Karsiwen memaparkan bahwa dalam pilpres kali ini, para buruh migran lebih bersikap netral dengan tidak memihak salah satu pasangan. Wanita dari Jaringan Buruh Migran Indonesia (JBMI) ini sebenarnya telah mengadakan beberapa kali diskusi dengan mengundang para tim sukses untuk memaparkan visi-misinya, khususnya yang berkenaan dengan nasib para buruh migran (TKI/TKW).

“JBMI dalam pilpres 2014 ini lebih memilih bersikap netral. Kami pilih sikap itu karena setelah melakukan berbagai diskusi dengan para tim sukses, kami belum melihat visi-misi yang konkret dari mereka terkait dengan kepentingan untuk membela kaum buruh migran,” demikian ujar wanita yang akrab disapa Iwen ini.

Berdasarkan sikap tersebut, maka JBMI kini lebih fokus untuk membentuk para buruh migran sebagai pemilih yang cerdas. Pasalnya, menurut Iwen, buruh migran kini tak mau lagi hanya dijadikan sebagai obyek ketika pilpres berlangsung.

“JBMI kini lebih fokus untuk menjadikan buruh migran sebagai orang yang cerdas dalam memilih. Buruh migran tak mau lagi hanya dijadikan sebagai objek ketika pilpres berlangsung. Kami berprinsip bahwa siapapun presidennya harus memberikan bukti konkret dalam membela kepentingan para buruh migran,” demikian disampaikan oleh Iwen.

Pembicara ketiga, Bahruddin yang juga merupakan Ketua Serikat Paguyuban Petani Qaryah Tahyibah (SPPQT) justru menilai bahwa momentum pilpres adalah saat yang tepat untuk membuat kontrak politik dengan semua pasangan demi kepentingan desa yang berdikari. Bagi Bahruddin, siapapun presiden nantinya harus mau dan mampu untuk mewujudkan terdistribusikannya anggaran, minimal 1 Miliar untuk 1 desa.

“Kami mendukung semua pasangan untuk pemberdayaan kelompok tani. Namun, dukungan tersebut kami berikan lewat penandatanganan kontrak politik yang jelas bahwa baik Jokowi maupun Prabowo yang nantinya terpilih untuk menjadi presiden, harus memastikan bahwa desa mendapatkan alokasi 1 Miliar,” demikian disampaikan oleh Bahruddin.

Di luar kontrak politik untuk menjamin alokasi anggaran 1 Milyar untuk 1 desa, Bahruddin juga menggarisbawahi bahwa calon presiden tersebut harus berjanji untuk mewujudkan pendidikan rakyat. Jika janji tersebut telah mereka sepakati, maka SPPQT akan memberikan dukungan.

“Kami akan menawarkan pada setiap pasangan apakah bersedia untuk menjamin terwujudnya pendidikan rakyat. Kami berani mengajukan penawaran ini karena kami memiliki kekuatan di 16 kabupaten/kota di Jawa Tengah, sehingga suara kami sangat layak untuk diperhitungkan,” pungkas Bahruddin. 

Editor : Yan Chrisna Dwi Atmaja


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home