Loading...
INDONESIA
Penulis: Bayu Probo 08:18 WIB | Kamis, 15 Oktober 2015

Gereja Aceh Singkil Dibakar, Ribuan Mengungsi ke Tapteng

Ilustrasi perkebunan sawit. Diduga membanjirnya pendatang dari Sumatera Utara yang bekerja di perkebunan-perkebunan sawit yang menjadi salah satu pemicu kekerasan di Aceh Singkil. (Foto: Antara)

SIBOLGA, SATUHARAPAN.COM – Akibat aksi kekerasan dan sweeping pasca pembakaran gereja-gereja di Aceh Singkil, ribuan orang harus mengungsi ke Tapanuli Tengah.

Para pengungsi tersebut dari Desa Sukamakmur, Kecamatan Gunung Meriah, Kabupaten Aceh Singkil. Mereka mengungsi ke Desa Saragih Kecamatan Manduamas Kabupaten Tapanuli Tengah (Tapteng) Sumatera Utara.

Pelaksana Tugas Bupati Kabupaten Tapanuli Tengah, Sukran Jamilan Tanjung, menyebutkan, Pemerintah Kabupaten Tapanuli Tengah akan terus mendata jumlah pengungsi itu.

“Kita sudah mendirikan tenda yang dilengkapi persediaan makanan, minuman, tenaga medis, keamanan, hingga obat–obatan yang cukup, dan pengungsi ini juga kita dipindahkan ke lokasi pastoran di Desa Saragih,” ujar Sukran kepada RRI, Rabu (14/10/2015).

Sukran Tanjung juga mengatakan, pihaknya tetap berkoordinasi dengan Bupati Aceh Singkil terkait situasi di Aceh Singkil.

Sementara Kepala Desa Saragih Rusman Sinaga menyebutkan, sampai saat ini pendataan jumlah pengungsi masih dilakukan.

“Perkiraan kita akan mencapai 6.000 orang, tapi arus pengungsi masih terus kita data,” kata Rusman.

Menurutnya, pendataan dilakukan guna memenuhi kebutuhan sembako untuk didistribusikan ke tempat pengungsian, termasuk obat-obatan dan dokter.

Ditambahkan, pengungsi saat ini masih membutuhkan makanan, air bersih dan obat-obatan seiring bertambahnya jumlah warga pengungsi.

Kapolri Bilang Aman, Warga Belum Nyaman

Dari 6.000-an pengungsi itu, menurut Pendeta Gereja Protestan Pakpak Dairi di Kabupaten Aceh Singkil, Erde Berutu, pada BBC Indonesia baru akan kembali dari pengungsian setelah pemerintah memberi jaminan bahwa mereka bisa beribadah di gereja seperti biasa.

Erde mengatakan, kejadian ini bukan yang pertama. Kerusuhan ini pernah terjadi pada 1979, 2001, dan 2012.

“Situasi di lapangan, tidak ada gejolak lagi, tapi mereka masih ketakutan karena tidak ada kejelasan keamanan dari perlindungan yang diberikan oleh negara. Mereka (pemerintah) mengatakan aman, aman, tapi bagi jemaat kami, aman itu artinya ada kepastian. Aman bukan secara fisik, tapi nyaman ibadah kami boleh berlangsung di sana, dan gereja kami boleh beribadah di sana,” kata Erde Berutu.

Pada Rabu (14/10), Kapolri Badrodin Haiti mengunjungi Aceh Singkil dan mengadakan pertemuan dengan Kapolres, Kapolda, Bupati Aceh Singkil, dan pemuka agama setempat.

Sebelumnya, di Jakarta, kepada wartawan Kapolri mengatakan sudah menangkap 20 orang terkait aksi pembakaran gereja. Mereka akan terus diselidiki.

Wakil Ketua Setara Institute Bonar Tigor Naipospos mengatakan ada banyak faktor, bukan hanya intoleransi yang menjadi penyebab terjadinya bentrokan dan pembakaran gereja di Aceh Singkil.

Secara historis, menurut Bonar, kawasan Aceh Singkil yang berada di daerah perbatasan Aceh dan Sumatera Utara adalah daerah perkebunan yang menarik banyak pendatang untuk bekerja di sana.

Jumlah pendatangnya yang beragama Kristen sekitar 14 ribu. Hal ini menurutnya menimbulkan persaingan ekonomi antara suku Pakpak dan suku Singkil.

Setelah pembakaran gereja di kabupaten tersebut pada 1979 dan 2001, para pemuka agama Kristen diminta menandatangani pembatasan rumah ibadah sebanyak satu gereja dan empat undung-undung alias rumah ibadah kecil.

Namun, dengan jumlah warga Kristen yang terus bertambah, maka gereja tak mampu lagi menampung jumlah jemaat.

“Singkil konfliknya bukan baru belakangan ini, tapi sejak zaman Orde Baru,” kata Bonar.

Maka, menurut Bonar, persoalan ini tidak bisa semata-mata dilihat sebagai persoalan intoleransi atau keberadaan kelompok-kelompok radikal.

“Tetapi ada persaingan kelompok suku, persaingan ekonomi, dan manajemen pemerintahan setempat yang abai dan lemah, keperluan dari pemerintah setempat untuk mendapat dukungan dari pemerintah mayoritas, ini justru jadi faktor-faktor yang lebih signifikan,” katanya.

Mensos: Bantuan Sudah Dikirim ke Kamp Pengungsi

Kementerian Sosial sudah mengerahkan Taruna Siaga Bencana (Tagana) untuk membantu upaya pemulihan setelah bentrok antar-warga di Aceh Singkil, Provinsi Aceh.

“Sudah menyiapkan Tagana, dan logistik juga sudah didorong ke lokasi,” kata Menteri Sosial Khofifah Indar Parawansa usai menghadiri perayaan Tahun Baru Islam 1437 Hijriyah di Gresik, Jawa Timur, Rabu seperti diberitakan Antara.

Ia mengatakan sekitar 2.500 warga Aceh Singkil mengungsi ke Tapanuli Tengah, Sumatera Utara, setelah bentrok antar-warga di daerah itu.

“Jadi tugas Kemensos adalah bagaimana para pengungsi bisa tinggal dengan baik dan logistiknya terpenuhi,” ia menambahkan.

Menurut dia, Kementerian Sosial juga akan melakukan penilaian kebutuhan pemulihan trauma serta pemenuhan kebutuhan anak-anak pengungsi.

Dia mengatakan sementara ini para pengungsi menginap di gedung sekolah dasar dan kementerian selanjutnya akan mengoordinasikan pengaturan kembali penempatan pengungsi. 


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home