Loading...
HAM
Penulis: Eben E. Siadari 09:59 WIB | Senin, 21 November 2016

Gereja Katolik Akui Terlibat dalam Genosida di Rwanda

Gereja Katolik meminta maaf atas genosida yang menyebabkan lebih dari 800.000 orang etnis Tutsi dan Hutu terbunuh.
Gereja Katolik Akui Terlibat dalam Genosida di Rwanda
Para pengungsi suku Hutu Rwanda beristirahat di pinggil jalan bersebelahan dengan perkemahan lama pengungsi suku Mugunga dekat perbatasan kota Goma pada 16 November 1996. Foto arsip ini dipertunjukkan pada 7 April 2014 menandai 20 tahun ulang tahun genosida di Rwanda yang membunuh 800.000 orang. Pembantaian selama tiga bulan pada 1994 itu, dilakukan oleh ekstremis Hutu terhadap etnis Tutsi, tetapi etnis Hutu yang moderat juga turut menjadi sasaran. (Foto: Reuters)
Gereja Katolik Akui Terlibat dalam Genosida di Rwanda
Bizimana Emmanuel (kanan), yang lahir dua tahun sebelum genosida di Rwanda tahun 1994, sedang dihibur oleh seorang perempuan, tatkala menangis saat menghadiri peringatan 20 tahun genosida di Rwanda di stadion Amahoro, Kigali, Rwanda, 7 April, 2014. (Ben Curtis/AP)

KIGALI, RWANDA, SATUHARAPAN.COM - Gereja Katolik di Rwanda meminta maaf atas peran umat gereja dalam genosida tahun 1994, dan mengatakan pihaknya menyesalkan tindakan anggota gereja yang berpartisipasi dalam pembantaian.

"Kami mohon maaf atas semua kesalahan yang dilakukan gereja. Kami mohon maaf atas nama semua orang Kristen untuk semua bentuk kesalahan yang kami lakukan. Kami menyesal bahwa anggota gereja melanggar janji (mereka) untuk setia kepada perintah-perintah Allah, " kata pernyataan Konferensi Uskup Katolik Rwanda, yang dibacakan di paroki-paroki di seluruh negeri.

Sebuah foto yang tidak diketahui sumbernya, menggambarkan seorang anak yang menangis bersama jasad ibunya, korban genosida di Rwanda

Kantor berita AP yang dikutip oleh CBS News, melaporkan, pernyataan konferensi uskup itu  mengakui bahwa anggota gereja merencanakan, membantu dan mengeksekusi genosida, di mana lebih dari 800.000 etnis Tutsi dan etnis Hutu yang moderat dibunuh oleh ekstremis Hutu.

Pada tahun-tahun sejak genosida - yang dipicu oleh kecelakaan pesawat yang menewaskan presiden Rwanda ketika itu yang beretnis Hutu - gereja setempat menolak upaya pemerintah dan kelompok korban untuk mengakui keterlibatan gereja dalam pembunuhan massal, mengatakan bahwa para pejabat gereja yang melakukan kejahatan bertindak secara individual.

Banyak korban tewas di tangan imam, pendeta dan biarawati, menurut pengakuan beberapa orang yang berhasil selamat, dan pemerintah Rwanda mengatakan banyak yang meninggal di gereja-gereja di mana mereka mencari perlindungan.

Menurut Catholic News Agency, para imam dan pejabat gereja termasuk dalam jajaran pelaku dan korban genosida. Dalam beberapa kasus, imam, uskup dan umat dari etnis Hutu membantu untuk menyembunyikan dan melindungi orang Tutsi. Namun dalam kasus lain, mereka ikut mengangkat senjata melawan mereka. Mereka mengantar korban ke dalam bangunan gereja dengan janji-janji palsu dan kemudian menjebak dan mengkhianati mereka, memfasilitasi pembantaian mereka.

Pernyataan para uskup ini dipandang sebagai perkembangan positif dalam upaya rekonsiliasi Rwanda.

"Maafkan kami atas kejahatan kebencian di negara ini termasuk membenci rekan-rekan kami karena etnis mereka. Kami tidak menunjukkan bahwa kami adalah satu keluarga melainkan saling membunuh," kata pernyataan itu.

Uskup Phillipe Rukamba, juru bicara Gereja Katolik di Rwanda, mengatakan pernyataan itu bertepatan dengan berakhirnya secara resmi Tahun Suci Pengampunan yang dideklarasikan oleh Paus Fransiskus untuk mendorong rekonsiliasi yang lebih besar dan pengampunan di gereja dan di dunia.

Tom Ndahiro, peneliti genosida di Rwanda, mengatakan dia berharap pernyataan gereja akan mendorong persatuan di antara bangsa Rwanda.

"Saya juga senang mengetahui bahwa dalam pernyataan mereka, para uskup meminta maaf karena tidak mampu mencegah genosida," kata dia.

Kekerasan antaretnis di Rwanda dilatarbelakangi penyebab yang kompleks, termasuk  ketegangan etnis selama beberapa dekade di era kolonialisme Belgia. kekerasan itu dipicu oleh propaganda penuh kebencian yang disiarkan oleh ekstremis politik.

Sekitar 57 persen penduduki Rwanda adalah Katolik, 37 persen Protestan atau Advent Hari Ketujuh. Gereja-gereja telah bekerja untuk membawa penyembuhan dan rekonsiliasi. Bersamaan dengan upaya negara untuk pulih dari genosida, Gereja Katolik menyarankan dibangkitkannya sistem pengadilan komunal tradisional yang disebut Gacaca, untuk meringankan beban sistem peradilan nasional. Dalam pengadilan komunal itu, sesepuh yang dihormati menjadi hakim dan bertujuan untuk memfasilitasi keadilan bagi baik korban maupun pelaku genosida.


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home