Loading...
RELIGI
Penulis: Bayu Probo 19:34 WIB | Senin, 20 Oktober 2014

GKI: PGI Harus Berdayakan Gereja Anggota Wujudkan Misi

GKI: PGI Harus Berdayakan Gereja Anggota Wujudkan Misi
Pdt Arliyanus Larosa, Sekretaris Umum BPMS GKI. (Foto-foto: Bayu Probo)
GKI: PGI Harus Berdayakan Gereja Anggota Wujudkan Misi
Kantor BPMS GKI di Ruko Gading Bukit Indah Blok Q 29 Jl. Bukit Gading Raya, Kelapa Gading.

JAKARTA, SATUHARAPAN.COM – Sekretaris Umum Badan Pekerja Majelis Sinode (BPMS) Gereja Kristen Indonesia (GKI) Pdt Arliyanus Larosa mendorong Persekutuan Gereja-gereja Indonesia untuk memberdayakan potensi gereja-gereja anggota dengan mewujudkan sinergi antargereja.

Menyambut Sidang Raya XVI PGI, Senin (13/10) satuharapan.com mewawancarai GKI untuk melakukan evaluasi dari gereja anggota terhadap persekutuan gereja yang sudah berumur 64 tahun ini. Arliyanus bercerita secara komprehensif tentang kiprah PGI. Ia juga menyinggung tentang rencana GKI mengajukan Pdt Albertus Patty menjadi ketua PGI. Pada topik GKI Taman Yasmin, pembicaraan menjadi gayeng ditimpali Wasekum GKI, Pdt Jan Calvin Pindo.

Satuharapan.com: Apakah PGI memenuhi harapan GKI?

Pdt Arliyanus Larosa: Kalau melihat performance Majelis Pekerja Harian (MPH) PGI yang berkantor di Salemba 10, kita mesti bertolak dari dua hal. Pertama, upaya mewujudnyatakan tujuan pendirian Dewan Gereja-gereja Indonesia (DGI) pada 1950 yang berubah menjadi PGI pada 1984. Tujuan utama DGI adalah membentuk Gereja Kristen yang Esa di Indonesia. Berdasarkan sejarah, pembentukan PGI itu atas dasar bahwa Indonesia menjadi medan pelayanan bersama. Jadi, MPH PGI mengorganisir gereja-gereja di Indonesia menjadi satu persekutuan yang berkiprah dengan misi bersama di tengah bangsa Indonesia.

Untuk itu, MPH PGI perlu memfasilitasi agar gereja-gereja dapat saling bekerja sama sehingga terbentuk sinergi. Tujuan akhirnya, gereja dapat melaksanakan tugas panggilannya di wilayah masing-masing dengan topangan dan kerja sama dengan gereja-gereja sesama anggota PGI.

Tiap gereja punya kekuatan. Misalnya, GKJ (Gereja Kristen Jawa) kuat dalam berelasi dengan umat beragama lain. Maka, mestinya GKJ didorong PGI untuk mengembangkan interfaith dialogue dan membagikan pengalamannya dengan gereja-gereja PGI. Contoh lain, GBKP (Gereja Batak Karo Protestan) dan GMIM (Gereja Masehi Injili di Minahasa) dikenal kuat di bidang pemberdayaan jemaat melalui credit union. Menurut saya ini luar biasa. Ini bisa dikembangkan ke gereja-gereja lain untuk memberdayakan jemaat dan masyarakat.

Dengan cara itu, sesama anggota PGI dapat saling memberdayakan dalam pelayanan bersama. Jadi, GKI dengan kemampuan yang unik juga dapat hadir di Kalimantan, walaupun secara fisik tidak hadir sebagai GKI, namun melalui GKE (Gereja Kalimantan Evangelis).

Menurut saya, dalam hal ini MPH PGI belum cukup serius untuk melakukan itu. Saya berharap dalam sidang MPL (Majelis Pekerja Lengkap), ada satu acara yang berisi tentang sharing potensi gereja-gereja anggota PGI. Sehingga, setelah itu terbentuk suatu jaringan. Harapannya, misi PGI untuk menjadikan Indonesia sebagai medan pelayanan bersama bukan sekadar kata-kata.

Satuharapan.com: Jadi?

Pdt Arliyanus Larosa: Selama ini yang terlihat PGI melakukan respons spontan pada isu-isu hangat. Misalnya, keberagaman, pemilihan presiden, pilkada. Itu perlu, tetapi PGI tidak boleh melupakan alasan utama pendiriannya. Mengapa ia ada.

Jadi, untuk membentuk Gereja Kristen yang Esa, PGI perlu memberdayakan GMM, GMIT (Gereja Masehi Injili di Timor), GKP (Gereja Kristen Pasundan), GKI, GKJ, HKBP (Huria Kristen Batak Protestan), GBKP, Gereja Bethel, GPIB (Gereja Protestan di Indonesia bagian Barat), GPM (Gereja Protestan Maluku), dan lain-lain. Namun harus diingat, belum tentu gereja kecil tidak punya kekuatan. Jadi, tidak harus gereja besar yang membagikan kekuatannya.

Satuharapan.com: Yang kedua?

Pdt Arliyanus Larosa: Kemudian kedua adalah penugasan kepada MPH PGI dari Sidang Raya di Mamasa, Sulawesi Barat pada 17-24 November 2009.

Kecenderungan kebanyakan orang Indonesia, kalau sudah membuat keputusan, persoalan dianggap selesai. Padahal, terbentuknya keputusan adalah suatu awal. Pelaksanaan keputusan itu yang paling penting.

Ada beberapa isu khusus di Sidang Raya Mamasa. Misalnya, masalah Papua. Waktu itu MPH PGI ditugasi untuk melakukan upaya agar penegakan hak-hak asasi manusia dan kondisi sosial politik di Papua dapat makin baik.

Dalam sidang tersebut juga dibahas tentang penerbitan Peraturan Pemerintah (PP) No 77 Tahun 2007 tentang lambang daerah yang dipakai untuk menghajar jika bendera Bintang Kejora muncul. Almarhum Abdurrahman Wahid, presiden kelima RI pernah berujar bahwa itu adalah simbol kultural bukan simbol separatisme. Pada Sidang Raya Mamasa itu juga MPH ditugasi untuk mendorong pemerintah untuk mencabut PP 77 tersebut.

Apalagi, isu tentang Papua ini di Sidang Raya Mamasa dibahas dengan penuh emosi. Terutama oleh saudara-saudara kita dari GKI (Gereja Kristen Injili) di Tanah Papua. Dalam masalah tersebut MPH PGI juga didorong untuk mengonsolodasikan 10 gereja di Papua termasuk sinode dari luar Papua yang mempunyai pelayanan di Papua. Tujuannya, agar tidak berjuang sendiri-sendiri.

Ini yang tidak terkomunikasikan dengan baik. Ini penting agar keputusan Sidang Raya dihayati dan dilaksanakan di 10 gereja Papua dan sinode lain. Jika ini terwujud, kepentingan rakyat Papua dapat lebih terwakili.

Keputusan dalam Sidang Raya di Mamasa juga menyebutkan tentang pembangunan infrastruktur transportasi di Mamasa. Artinya sidang meminta MPH PGI untuk memanfaatkan lobi-lobi ke pemerintah pusat dalam mewujudkan pembangunan tersebut.

Satuharapan.com: Sepertinya tidak terwujud ya?

Pdt Arliyanus Larosa: Saya tidak mengatakan PGI tidak bekerja. Hanya, perlu lebih berpola. Menurut saya Pdt AA Yewangoe dan segenap MPH PGI sudah bekerja banyak. Namun, jangan-jangan mereka bekerja terlalu banyak. Sebab, sering kita mengambil keputusan terlalu banyak sehingga tidak berpikir apakah yang diberi tugas itu mampu melaksanakan.

Saya sering mengingatkan agar kita tidak terlalu banyak membuat keputusan yang memberi penugasan terlalu banyak kepada Salemba 10. Saya sendiri adalah pengurus sinode, tahu juga rasanya. Sebab yang berkantor di Salemba 10 tidak banyak orang juga. Menurut saya, kita terlalu bernafsu memberi tugas.

Menurut saya, nanti ke depan, waktu membuat keputusan harus dipilah dengan jelas. Ini tugas untuk Salemba 10, tugas sinode gereja-gereja, atau PGIW. Jadi, tidak semua tugas dibebankan ke pengurus pusat.

Satuharapan.com: Bagaimana dengan kiprah Gerakan Kemanusiaan Indonesia?

Pdt Arliyanus Larosa: Gerakan Kemanusiaan Indonesia sebagai salah satu Badan Pelayanan Sinode (BPMS) GKI selalu bekerja dengan menjalin relasi dengan gereja lain. Misalnya, pada erupsi Gunung Sinabung, GKI bekerja sama dengan GBKP yang merupakan gereja lokal yang jemaatnya banyak menjadi korban erupsi gunung di Sumatera Utara tersebut.

Saya secara khusus mengapresiasi GBKP yang dalam menangani keadaan darurat ini dengan cepat dan efektif. Kami saling mendukung. Dalam pelayanan GKI beberapa tahun lalu di Papua kami juga tidak bekerja sendiri. Kami bekerja sama dengan GKI Tanah Papua. Pada prinsipnya, Gerakan Kemanusiaan Indonesia berusaha mewujudkan misi PGI untuk menjadikan Indonesia adalah ladang bersama.

Satuharapan.com: Apakah GKI mengajukan calon pengurus pada Sidang Raya XVI di Nias?

Pdt Arliyanus Larosa: GKI mengajukan warga terbaik kami untuk menjadi calon ketua umum: Pdt Albertus Patty. Kami melihat kiprah Pdt Berty selama ini sangat cocok untuk mewujudkan PGI yang memberdayakan seluruh anggota. Pdt Berty punya pengalaman menjalin hubungan dengan semua elemen di antara gereja anggota. Tidak hanya di antara pendeta, tetapi juga jemaat-jemaat yang punya potensi besar untuk mendukung terwujudnya misi PGI tersebut.

Satuharapan.com: Apakah tidak terganjal dengan kasus GKI Taman Yasmin? Bukankah di media terkesan Sinode GKI tidak mendukung GKI Taman Yasmin?

Pdt Arliyanus Larosa: Saya menegaskan Sinode GKI mendukung perjuangan GKI Taman Yasmin. Atau, tepatnya Bakal Pos PI GKI Pengadilan Bogor di Perumahan Taman Yasmin. Sejak awal GKI mendukung warga GKI Taman Yasmin untuk beribadah. Semua jalur sudah kami lalui. Sejak dari Pengadilan Tata Usaha Negara hingga Mahkamah Agung.

Apakah kami sudah berhenti berjuang? Tidak, kami masih terus memperjuangkan supaya GKI Taman Yasmin dapat menjalankan ibadah dengan baik. Namun, kami berjuang dengan cara gerejawi. Kami tetap menghormati pemerintah seperti yang dikatakan di Alkitab. Jika, pemerintah saat ini tidak mau melaksanakan keputusan Mahkamah Agung, kami tidak akan tinggal diam, tetapi kami tidak mau menjadi sama dengan orang-orang yang menentang pendirian GKI Yasmin. Kami berjuang secara kristiani.

Pdt Jan Calvin Pindo: Kasus GKI Taman Yasmin ini bukanlah kasus pertama. Pada 2001, GKI Blimbing di Jl Candi Kalasan 33, Malang yang dipersoalkan status Izin Mendirikan Bangunannya (IMB). Kami digugat Pengadilan Tata Usaha Negara. Awalnya, gereja ini hendak melakukan renovasi karena umur gedung yang sudah tua. Izin prinsip dan IMB sudah kami dapat dari Wali Kota Malang, tetapi ada penduduk yang baru saja pindah ke sekitar gereja menggiring opini masyarakat bahwa GKI Blimbing melakukan kristenisasi. PTUN di Surabaya memutuskan kami kalah.

Namun, pada Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (PT TUN) dengan nomor putusan nomor 86/B.TUN/2002/PT.TUN.­SBY Tanggal 11 Oktober 2002 tersebut menyatakan bahwa Pengadilan Tinggi menguatkan surat IMB yang dimiliki oleh GKI Blimbing Malang. Keputusan PT TUN ini juga dikuatkan di tingkat Mahkamah Agung.

Namun, sampai kini GKI Blimbing tidak dapat mengadakan kebaktian di gerejanya. Dan, kami memutuskan untuk beribadah di lokasi lain. Bagaimana dengan gedung di Jl Candi Kalasan? Gereja itu tetap kami pelihara. Sebab, kami percaya Allah akan memberikan jalan yang lebih baik. 


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home