Loading...
RELIGI
Penulis: Wiwin Wirwidya Hendra 20:50 WIB | Jumat, 10 Mei 2013

Hak Beragama Masih Terusik, SBY Belum Layak Terima World Statesman Award.

Jemaat Gereja HKBP Setu, Bekasi saat kebaktian Paskah (29/03) di antara reruntuhan bangunan gereja yang dibongkar Pemda Bekasi karena belum memiliki Ijin Mendirikan Bangunan. (Foto: Dedy Istanto)

JAKARTA, SATUHARAPAN.COM – Berbagai penolakan serta reaksi kontra terus datang dari berbagai kalangan masyarakat menyangkut penghargaan World Statesman dari Appeal of Conscience Foundation yang dianugerahkan kepada Presiden RI, Susilo Bambang Yudhoyono tanggal 30 Mei 2013 di New York, Amerika Serikat.

Sebagai informasi, penghargaan ini diberikan oleh World Statesman, Amerika Serikat sebagai tanda apresiasi atas keberhasilan Presiden SBY mengembangkan nilai toleransi beragama di tengah masyarakat.

Setidaknya, demikianlah penilaian Amerika Serikat terhadap Presiden RI. Namun tampaknya penilaian ini berbanding terbalik dengan penilaian rakyat Indonesia sendiri.

Justru penghargaan ini menimbulkan banyak pertanyaan dan reaksi keras. Beberapa yang mengekspresikan penolakannya adalah Jemaah Ahmadiyah Indonesia, kelompok Syah, Kristen, Penghayat Kepercayaan, dan masih banyak lagi.

Melalui siaran pers yang dirilis tim advokasi gereja HKBP Filadelfia ditekankan bahwa realitas yang terjadi justru masyarakat Indonesia masih merasa terusik haknya karena tidak bisa sepenuhnya menikmati hak mereka dalam beragama di negeri mereka sendiri.

Di Indonesia, menurut HKBP Filadelfia, melalui Koordinator Tim Advokasi, Thomas E. Tampubolon, masih banyak terdapat kelompok intoleran atau kaum fundamentalis agama.

Tindakan dari massa fundamentalis inilah yang masih menghambat terciptanya toleransi beragama di Indonesia. Mereka melarang kegiatan ibadah, melarang didirikannya rumah ibadah bagi pemeluk agama tertentu dengan berbagai dalih dan alasan termasuk mengatasnamakan Kristenisasi; bahwa mereka tidak bisa membiarkan kristenisasi di daerah mayoritas Islam.

Secara tidak langsung pula, aparat pemerintah membiarkan terjadinya penolakan dan pelarangan yang dilakukan oleh massa intoleran tersebut. Salah satu tindakannya adalah membongkar dan merubuhkan rumah ibadah.

Contoh yang masih bisa diingat adalah pembongkaran bangunan Gereja Jemaat HKBP Setu oleh Pemerintah Kabupaten Bekasi, yang dipicu oleh tekanan dari massa intoleran.

Hal serupa inilah yang juga dialami oleh HKBP Filadelfia. Bupati Bekasi tidak memberikan Izin Mendirikan Bangunan (IMB) yang sesungguhnya telah dimiliki oleh gereja tersebut dan telah memperoleh putusan pengadilan Nomor 255/B/2010/PT.TUN.JKT.

Seperti ditegaskan dalam siaran pers oleh Ligitasi HKBP Filadelfia, dalam setiap polemik menyangkut kebebasan beragama inilah, justru SBY sebagai presiden Republik Indonesia tidak melakukan pembelaan. Ditambah lagi, kekerasan yang dialami para umat beragama ini dibiarkan terjadi begitu saja.

Oleh karena itulah, para jemaat Filadelfia menilai bahwa Presiden Susilo Bambang Yudhoyono tidak layak menerima penghargaan, terlebih penghargaan tersebut bertujuan sebagai apresiasi terhadap pemimpin yang berhasil mengembangkan toleransi beragama di Negara yang dipimpinnya.

Seperti ditegaskan kembali oleh Kuasa Hukum HKBP Filadelfia Tambun, Bekasi, belum adanya garis politik yang memberikan perlindungan dan jaminan kebebasan beragama bagi kelompok minoritas. Oleh karena itulah, penghargaan World Statesman kepada SBY layak untuk ditolak.


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home