Loading...
RELIGI
Penulis: Sotyati 12:08 WIB | Selasa, 03 Desember 2013

Halaqah Nasional Kiai dan Tokoh Muda Pesantren

Yenny Zannuba Wahid saat membuka peringatan ke-9 hari lahir The Wahid Institute (WI), 26/9, di kantor WI, Jalan Taman Amir Hamzah No.8, Jakarta Pusat. (Foto: Dedy Istanto)

JAKARTA, SATUHARAPAN.COM – The Wahid Institute (WI) dan Search for Common Ground (SFCG) menjadwalkan menyelenggarakan “Halaqah Nasional Kyai dan Tokoh Muda  di Pesantren”. Kegiatan bertajuk “Penguatan Kurikulum dan Perangkat Pengajaran Pesantren Berbasis Islam Damai” itu digelar di Hotel Sheraton Mustika Yogyakarta, Kamis – Minggu, 12 – 15 Desember.

Kegiatan itu, seperti bisa dibaca di situs resmi The Wahid Institute, bertujuan untuk mendiskusikan pengalaman-pengalaman pesantren dalam pendidikan prinsip-prinsip toleransi dan perdamaian, merumuskan desain kurikulum dan perangkat pengajaran pesantren yang berspektif perdamaian, dan merumuskan strategi-strategi pelembagaan kurikulum pendidikan berperspektif perdamaian.

Kegiatan itu dijadwalkan diikuti 35 orang kiai dan santri NU di delapan Provinsi di Indonesia, sejumlah nara sumber ahli dan praktisi, di antaranya Abdurrahman Mas'ud (Kementerian Agama), Listia (aktivis pendidikan), Rumadi (peneliti The Wahid Institute dan pengajar UIN Syarif Hidayatullah Jakarta), Alissa Wahid (Seknas Jaringan Gusdurian), Suhadi Kholil (CRCS UGM), Agus H Nahrowi (SFCG), Mustofa (Pesantren Annuqoyah), Nurul Huda Maarif (Qathratul Falah).

Kegiatan itu akan dibuka Direktur The Wahid Institute Yenny Zannuba Wahid.

Tindakan Intoleransi

Pesantren, sebagai salah satu lembaga pendidikan keagamaan NU yang banyak tersebar di seluruh Indonesia, menjadi sangat  penting dalam konteks kampanye toleransi dan wawasan kebinekaan di Indonesia. Lembaga ini sepanjang sejarahnya memiliki berbagai fungsi. Tidak saja sebagai lembaga pendidikan, melainkan juga agen transformasi budaya, benteng moralitas, serta pemberdayaan masyarakat akar rumput (grass roots).

Dalam konteks pendidikan, di pesantren berlangsung pola hubungan spiritual dan nilai-nilai pendidikan yang unik antara guru (kiai) dan murid (santri). Hubungan itu ditandai dengan ketaatan kultural antara kalangan santri terhadap kiai, yang pada gilirannya sistem nilai yang diteladankan akan menjadi pedoman bagi kalangan santri, tentu sedikit mengecualikan konteks “aspirasi” politik mereka dalam konteks kekinian.

Namun, akhir-akhir ini, tradisi dan sistem nilai berbasis toleransi yang sudah berjalan ratusan tahun itu dihadapkan pada tantangan baru, yakni merebaknya pesantren dengan ideologi Islam “radikal”. Alih-alih mengajarkan nilai-nilai toleransi, pesantren-pesantren radikal itu senantiasa menyebarkan pemahaman-pemahaman keagamaan yang radikal dan dapat mendorong orang untuk melakukan aksi terorisme dan tindakan intoleransi.

Dalam kasus intoleransi, The Wahid Institute (WI) misalnya, menemukan sepanjang tahun 2012 terjadi 274 tindakan intoleransi dan pelanggaran kebebasan beragama (religious freedom violation). Secara lebih spesifik, WI menemukan sekitar 51 pihak yang secara aktif terlibat dalam berbagai tindakan intoleransi tersebut, antara lain tokoh-tokoh agama, tokoh-tokoh pemuda yang terafiliasi dengan berbagai ormas Islam, bahkan mereka yang juga berafiliasi dengan NU (Nahdhatul Ulama) dan Muhammadiyah yang selama ini dikenal sangat moderat.

Begitu juga dalam kasus terorisme, banyak alumni pesantren radikal yang terlibat aktif dalam aksi terorisme di Indonesia.

Berbagai kasus di atas bisa menjadi tantangan latent bagi pesantren moderat yang selama ini meneladankan pola hidup berdampingan secara damai (peaceful co-existence). Memang harus jujur diakui, sebagian pandangan dan pemahaman yang kurang toleran tersebut juga dapat ditemukan akarnya melalui sebagian kitab-kitab klasik yang dikaji dan menjadi rujukan para kiai dan guru (ustaz), serta menjadi kurikulum yang diajarkan kepada para santrinya.

Karena itu, upaya memperkuat dan meneguhkan kembali prinsip-prinsip ASWAJA (Tasamuh, Tawasuth, Tawazun, Ta’addud, dan Ta’adul) ke dalam perangkat pengajaran dan kurikulum pesantren itu berarti juga berarti mengawal peran pesantren sebagai penopang pilar-pilar kebangsaan dan kebinekaan di Indonesia, termasuk di dalamnya kebebasan beragama (religious freedom) yang dijamin dalam Pasal 28E ayat (1) Undang-Undang Dasar Tahun 1945.

Melalui “Halaqah Nasional Kyai dan Tokoh Muda  di Pesantren” diharapkan nilai-nilai ASWAJA di atas semakin terinternaliasi di kalangan santri dan masyarakat yang lebih luas.


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home