Loading...
INSPIRASI
Penulis: Mayasti D. Nastiti 01:00 WIB | Kamis, 27 Oktober 2016

Hanya Mimpi Sore Hari

Setiap kata yang terucap menjadi cerminan diri bagi sekitar kita.
Belajar Bahasa Indonesia (foto: www.embajadaindonesia.pe)

SATUHARAPAN.COM – Di suatu ruangan persegi yang dilengkapi meja persegi panjang, dipenuhi orang-orang yang sedang asyik mengetik dan menghayal untuk sebuah cerita dengan sedikit ketegangan, ada aku. Ada aku yang juga ingin menulis dan bercerita. Dulu aku sempat punya cukup rasa percaya diri untuk tulisanku. Cukup aku bilang. Tidak berlebihan. Tapi, sampai ada orang-orang di sekitarku yang berkata, ”Buat apa, sih, menulis macam-macam gitu?” Yang lain berkata, ”Nggak usahlah puitis, hidup itu yang realistis aja.” Aku memilih bungkam untuk orang-orang kelam seperti mereka. Tapi kali ini, aku benar-benar ingin bercerita. Dan ini ceritaku.

Aku anak ibu, Ibu Pertiwi kata orang-orang. Aku, kamu, dan kalian semua juga anaknya. Pada suatu sore, aku masih kecil sedang ditimang-timang oleh ibu. Aku belum bisa apa-apa, lidahku hanya bisa mengecap, badanku hanya bisa terbaring dan berguling padahal aku hendak berlari beriring dengan anjing piaran ibu di rumah. Aku masih belum bisa bicara, kata-kata yang aku hendak keluarkan hanya sampai di tenggorokan dan keluar sebagai jeritan tangisan yang memekakkan telinga.

Ibu berbicara banyak kepadaku dengan tutur kata yang indah, halus, santun, dan membuat aku senang walau aku hanya bisa mendengarnya. Sejak itu, aku tahu bahasa itu ada. Tangan lembut ibu mulai mengelus kulit tubuhku, angin sore yang sejuk menerpaku,suara gemerisik daun-daun berbisik, lalu aku tertidur.

Saat aku sudah mulai tumbuh besar. Bukan posturnya, tambah dewasa maksudku. Aku selalu ingat ibu ajarkan aku untuk selalu bertutur kata yang baik. ”Setiap kata yang terucap menjadi cerminan diri bagi sekitarmu, Nak.” Itu pesan yang ibu selalu sampaikan. Aku juga ingat, ibu pasti selalu menambahkan kalimat: “Kamu tinggal di negara yang mempunyai bahasa persatuan yang membanggakan. Pakai bahasa ibumu baik-baik.”

Entah kenapa, kalimat-kalimat tersebut selalu aku ingat, karena ibu selalu mengucapkannya sebelum aku berangkat sekolah. Sekarang aku hendak berangkat kuliah, aku berpamitan dengan ibu sambil membuka pintu. ”Aku berangkat ya, Bu.” Ibu berseru dari dapur, ”Iya, hati-hati Nak!”

Hari itu di kampus, suasana sangat runyam. Aku merasa takut akan suasana kampus yang mengerikan. Kaca gedung pecah, sampah botol minum berserakan di mana-mana, sekumpulan mahasiswa berteriak-teriak anarkis. Demo terjadi.

”Rektor kita mau diganti secara paksa sama yayasan!” seru temanku yang melihat aku kebingunan. Aku melihat sekekelilingku, para mahasiswa menyerukan kata-kata yang sangat kasar. Salah seorang mahasiswa menaiki podium dan berkata, ”Dasar pembela tikus-tikus keparat! Mereka hanya ingin kedudukan!” Dan yang lain berseru-seru, ”Setuju!”, ”Benar”, dan sebagainya. Tidak segan mereka menambahkan kata kasar penuh amarah dan rasa benci. Terasa sangat menyedihkan sekali ucapan-ucapan mereka.

Aku memilih untuk membeli minuman di warung dekat halte bis sambil cari angin, di samping harus melihat kerusuhan demo. Aku sedot air teh di botol yang aku beli dan ”Aaahh, segar,” kataku secara spontan.

Tak lama setelah aku menghabiskan minumanku, aku melihat segerombolan anak kecil, lima orang banyaknya. Ternyata mereka para pengemis cilik yang tinggal tidak jauh dari warung itu. Aku memperhatikan mereka dan mendengarkan apa yang sedang dibicarakan.

Kata salah satu dari mereka, ”Ye, Elu gimana si harusnya tadi ntuh jatah gue.” Aku dengar yang lain menjawab, ”Enak aje, punya Gue ’blog.” Aku tahu, seruan ”’blog” pada kata terakhir yang anak itu katakan hanya singkatan dari kata kasar. Lalu aku hanya benar-benar terdiam.

Aku kembali berjalan untuk pulang karena aku pikir, pasti kegiatan kampus terhenti total karena demo tadi. Aku berjalan pulang menuju halte untuk menunggu bis. Aku melihat dua orang anak sekolah yang cantik parasnya sedang berbicara dalam bahasa asing, ”Hey, Tina, where’s the bus? We already waited for a long time.” Lalu yang satu menjawab, ”Yeah, I don’t know. By the way, let’s talking with English everyday, I really like this language.” ”Yes, of course, actually I don’t like our language. It’s sounds weird.” Mendengar itu aku hanya bisa mengembuskan nafas panjang.

Di jalan aku mengingat ibu, seakan aku mendengar ibu berkata lirih, ”Di mana anak-anakku?  Apa kamu lupa, saat aksara kita buntu, angan kita belum menyatu, bahasa kita tetap satu. Bahasa ibu, Bahasa Bangsa, bahasa yang selalu ibu ajarkan. Kamu selalu mengangguk mengerti tapi tidak diikuti. Di mana anak-anakku?”

Aku terbangun kembali di sore yang sudah kelabu, hampir gelap. Angin sore masih menerpaku, suara gemerisik daun berbisik masih terdengar. Ibu masih menimang-nimangku. Aku masih kecil dan belum bisa berkata apa-apa, lidahku hanya bisa mengecap. Tapi aku tahu bahasa itu ada.

Ruangan ini masih persegi dan sebagian sudah ada yang selesai mengetik. Lalu sudah. Aku juga sudah selesai, itu ceritaku.

*Naskah ini merupakan peringkat pertama Festival Lomba Seni Siswa Nasional (FLS2N) Jakarta Selatan, bidang cipta & baca prosa.

Email: inspirasi@satuharapan.com

Editor : Yoel M Indrasmoro


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home