Loading...
OPINI
Penulis: Trisno S Sutanto 18:26 WIB | Sabtu, 09 Maret 2019

Harapan

Lukisan Hans Holbelin ”Muda” (foto: Trisno S Sutanto)

SATUHARAPAN.COM – Seorang sahabat berkomentar, setiap masa pra-Paskah tiba, saya selalu menjadikan lukisan Hans Holbein ”Muda” (1497–1543) itu sebagai foto sampul dinding Facebook. Saya tidak tahu persis, apakah pengamatan teman saya itu benar. Akan tetapi, satu hal yang jelas: saya selalu terpesona pada lukisan itu, yang diberi judul ”The Body of the Dead Christ in Tomb”, dan konon dikerjakan Holbein antara tahun 1520–1522.

Mengapa saya terpesona padanya? Ada banyak alasan, atau setidaknya tiga yang paling penting. Pertama, ketika saya melihat lukisan aslinya di Öffentliche Kunstsammlung, Basel, rasanya lidah saya kelu dan lutut saya gemetar. Efeknya sungguh dramatis: panjang lukisan itu kira-kira setara dengan tinggi tubuh orang dewasa. Berada di ruang khusus, sendirian saja, lukisan itu jadi sangat ”hidup” justru ketika menggambarkan ”kematian”. Kita seakan-akan dibawa masuk ke dalam makam dan diperhadapkan langsung dengan jasad Kristus yang terbaring sendirian di sana.

Benar, Holbein sedikit mengubah cerita pemakaman Kristus. Anda pasti tahu, jasad Kristus dimakamkan—seperti laiknya orang-orang Yahudi pada zaman itu—di dalam gua yang lumayan besar. Namun, dalam lukisan Holbelin, lewat bingkai yang mengelilingi lukisannya, kita ”dipaksa” hanya melihat jasad yang terbaring nyaris telanjang. Luka-lukanya di telapak tangan, lambung kanan dan telapak kaki masih terlihat. Dan sorot muka penderitaan salib jelas tergambar: mulutnya terbuka dan matanya terbelalak kesakitan. Ruangan yang dibuat sangat sempit oleh Holbelin itu, membuat kita hanya disodori aroma kematian dan penderitaan. Semua harapan seakan-akan runtuh bersama kematian di salib. Di dalam lukisan itu, tidak ada secuil pun ruang bagi ”kebangkitan”.

Ini membawa saya ke alasan kedua: esai Julia Kristeva yang dirujuk Mas Goenawan Mohamad saat menulis tentang lukisan Holbein. Kristeva mengutip reaksi Ippolit, satu tokoh novel Idiot yang dikarang Dostoyewski, saat melihat lukisan tersebut: ”... apabila kematian begitu mengerikan dan hukum-hukum alam begitu kuat, bagaimana bisa dilawan? Bagaimana hukum-hukum itu bisa dilawan kalau bahkan Ia tidak bisa melawannya?” Ia, yakni Yesus, memang mati dan teronggok di sana, sebagai jasad yang sendirian tanpa ada tanda-tanda kebangkitan, apalagi kemuliaan. Dan gambar itu, seperti kata Pangeran Myshkin, tokoh lain dari Idiot, bisa membuat orang ”hilang imannya”.

Saya kira komentar Myshkin itu—banyak orang bilang, Myshkin bersama Ippolit adalah gambaran diri Dostoyewski sendiri—benar. Orang memang bisa kehilangan iman mereka jika melihat peristiwa salib dari kacamata lukisan Holbelin semata. Bahkan murid-murid Yesus sendiri, seperti dikisahkan dalam catatan Injil, juga kehilangan iman mereka pascapenyaliban. Sebagian kembali pada pekerjaan lama, sebagian lagi ingin melarikan diri, termasuk ke Emaus, sebelum mereka mendengar cerita tentang kebangkitan.

Apakah cerita tentang kebangkitan itu memang masuk akal? Ini membawa saya pada alasan ketiga: dalam lukisan Holbelin, jelas ”kebangkitan” itu tidak pernah ada. Jasad Yesus yang teronggok di sana lama-lama akan melapuk, lalu hancur lebur tanpa sisa, seperti juga jasad kita semua. Namun, jika benar seperti itu, maka kita tidak pernah mengenal kekristenan. Bahkan, mungkin, Holbelin tidak akan pernah bisa membuat lukisan masyhurnya itu. Sebab nama Yesus, termasuk para pengikutnya, akan hilang dengan berlalunya waktu.

Akan tetapi, kehadiran komunitas murid-murid Kristus menjadi saksi tak terbantahkan cerita tentang kebangkitan. Mereka menemukan, jasad Yesus mungkin saja melapuk di kubur, namun kenangan tentang perjumpaan dengan Sang Guru yang telah mengubah kehidupan mereka tetap hidup. Dan kenangan itu mengobarkan hati mereka, bahkan menuntun hidup mereka sehari-hari. Sebuah komunitas pun terbentuk. [Bahasa Inggris memungkinkan permainan kata ini: orang dapat menuliskan remembering menjadi re-member-ing dan melihat betapa dekat jarak antara ”mengenang” dengan ”membentuk komunitas”.] Konon, sejak di Antiokhia, komunitas itu disebut ”Kristen” (Yunani: Christianos), yang lalu berkembang dan mengubah perjalanan sejarah sampai sekarang.

Ini mengingatkan saya pada film klasik besutan Denys Arcand, ”Jesus of Montreal (1989). Dengan caranya sendiri, Arcand melukiskan apa yang tadi saya ringkaskan sebagai cerita kebangkitan: saat kenangan pada Sang Guru melahirkan komunitas, dan pada gilirannya mengubah jalan kehidupan banyak orang. Sebab kebangkitan memang suatu harapan. Bahkan ”harapan yang mengatasi segala pengharapan” (hope against all hopes). Lukisan Holbelin tidak mampu memperlihatkannya, karena memang bukan di situ tempatnya. Jika Anda ingin melihat harapan tersebut, maka cari dan lihatlah dalam kehidupan orang-orang yang disentuh olehnya. Hidup mereka adalah kesaksian tentang harapan itu.

Namun, Holbelin mengingatkan satu hal yang penting soal harapan: ia hanya dapat dihayati dan dijangkau, jika orang juga rela masuk ke dalam kematian yang memupus semua harapan. Di tengah situasi tanpa-harapan itulah orang bisa belajar untuk berharap ”mengatasi segala pengharapan”.

Selamat menjalani masa pra-Paskah!

Editor : Yoel M Indrasmoro


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home