Loading...
EKONOMI
Penulis: Eben Ezer Siadari 18:09 WIB | Selasa, 25 November 2014

Harga CPO Anjlok, Makin Ramai Petani Jual Kebunnya

Petani kelapa sawit memanen kebunnya (Foto: Sawit Watch)

JAKARTA, SATUHARAPAN.COM – Anjloknya harga sawit di pasar global secara berkepanjangan menyebabkan puluhan ribu bahkan ratusan ribu petani sawit frustrasi. Makin banyak yang menelantarkan bahkan menjual lahan kebun sawitnya dikarenakan kekurangan modal, sementara pendapatan yang diperoleh tidak sebesar ketika harga sawit masih membaik.

“Petani sawit umumnya tidak memiliki akses pendanaan ke perbankan. Akibatnya mereka tidak bisa meningkatkan produktivitas, di saat harga rendah saat ini. Banyak yang putus asa, akhirnya menelantarkan bahkan menjual kebun sawitnya,” kata Mansuetus Darto, Ketua Serikat Petani Kelapa Sawit (SPKS), kepada satuharapan.com hari ini (25/11).

SPKS adalah serikat para petani sawit beranggotakan 40 ribu petani di Sumatera dan Kalimantan. Dewasa ini petani mengelola lahan sekitar 5,8 juta ha dari total luas kebun sawit Indonesia sekitar 13,5 juta ha dan dikelola oleh sekitar hampir 4 juta rumah tangga petani. Petani mandiri dipakai sebagai predikat untuk membedakan dengan usaha sawit yang dikelola oleh Badan Usaha Milik Negar (BUMN) maupun perusahaan besar.

Mansuetus menjelaskan, selama ini petani sawit yang umumnya memiliki lahan berskala kecil sulit berhubungan dengan bank maupun lembaga keuangan formal. Untuk itu Pemerintah menjembataninya dengan Peraturan Menteri Pertanian No 33 tahun 2006 tentang revitalisasi perkebunan.

Berdasarkan peraturan ini, pendanaan dapat diberikan kepada petani jika mereka melakukan kemitraan usaha perkebunan dengan perusahaan besar. Negara pun melalui APBN memberikan subsidi bunga sebesar 5 % selama masa pembangunan. Jika kebun berproduksi, diberlakukan bunga komersil atau negara tidak lagi mensubsidi bunga.

Untuk membayar pinjaman tersebut “Petani kemudian membayar cicilannya kepada perkebunan besar,” tutur Mansuetus.

Hanya saja kata Mansuetus, kemitraan ini menerapkan pola kemitraan manajemen satu atap. Di mana kebun-kebun petani dikelola seluruhnya oleh perusahaan. Dalam pelaksanaan pola ini, tidak ada transparansi dan tanggungjawab ketika kebun yang dikelola perusahaan tadi memiliki produktivitas rendah dan tidak menggunakan kredit dan subsidi bunga tadi dengan baik. SPKS menduga, perusahaan cenderung memanipulasi kredit yang diberikan bank atau subsidi bunga kepada perusahaan. Tidak ada satupun koperasi atau petani mengetahui proses transaksinya karena dilakukan secara tertutup. Dalam pola manajemen satu atap ini “Praktis, para petani hanya jadi buruh di kebunnya sendiri,” tutur Mansuetus.

Menurut Mansuetus, saat ini ada sekitar 200 ribu petani yang menjalankan usaha taninya dalam skema manajemen satu atap. “Mereka miskin dengan pendapatan Rp 100-200 ribu per hektar dan hampir semuanya berkonflik,” tutur Mansuetus. Selain itu kata Mansuetus, pola ini seperti pola bagi hasil. Hasil produksi petani dikuasai perusahaan sekitar 50% untuk pemeliharaan, 30% membayar kredit dan petani hanya mendapatkan 20% dari hasil kebun per ha.

Sistem manajemen satu atap tersebut membuat banyak petani kecewa. Mereka kemudian keluar dan membangun kebun-kebun baru dengan cara mandiri. Menurut Mansuetus, pemberlakuan manajemen satu atap telah membuat animo petani plasma bermitra dengan perkebunan besar menurun.

“Ini berbeda ketika dulu ada program Perkebunan Inti Rakyat (PIR). Ketika itu kemitraan yang terjadi memberi kesempatan pada petani untuk mengelola kebun. Perkebunan besar hanya terlibat dalam pembangunan dan pemeliharaan selama 48 bulan,” kata Mansuetus.

Makin Tertinggal

Lepas dari kerangkeng kemitraan dengan perusahaan besar, kini para petani plasma itu menghadapi masalah lain yang lebih besar. Harga sawit di pasar global yang tak kunjung membaik dalam tempo yang sudah sangat lama, membuat mulai menekan. Mereka kekurangan modal yang diperlukan untuk merawat lahannya.

Kantor berita Reuters melaporkan, banyak petani yang terpaksa mengurangi pupuk dan pestisida yang diperlukan. Mereka juga tak lagi melakukan penanaman ulang karena kekurangan uang. “Mengurangi pupuk merupakan langkah pertama yang biasanya harus dilakukan,” kata Alvin Tai, dari RHB Research Institute. "Hal itu yang paling mudah dilakukan dan dampaknya tidak terasa dengan segera,” tutur dia, seperti dikutip oleh Reuters.

Namun, pengurangan pupuk pada saatnya akan mengurangi hasil. Diperkirakan mulai pertengahan 2015 produktivias kebun para petani mandiri akan semakin ketinggalan dibandingkan dengan perkebunan besar.

“Jika harga sawit turun lebih jauh, saya menduga akan terjadi penurunan 1,5 juta ton produksi CPO pada akhir 2015 dan 2016 dibanding sebelumnya,” kata analis dari LMC International, James Fry.

Menjual Lahan

Terakhir kali terjadi penurunan harga CPO seperti saat ini ialah pada tahun 2008. Pada saat itu selama delapan bulan harga CPO turun ke level yang sangat rendah, menyebabkan jumlah petani yang bunuh diri meningkat tajam. Mereka terpaksa mengambil jalan pintas yang mengenaskan karena terlilit utang dan tidak sanggup membayarnya. Yang masih bertahan, terpaksa mem-PHK karyawannya, atau menelantarkan lahan maupun menjualnya.

Saat ini, kecenderungan petani sawit untuk menjual lahannya akan berhadapan dengan keengganan perkebunan besar untuk membelinya. Ini dikarenakan belum jelasnya kebijakan pembatasan kepemilikan asing di lahan sawit dan pembatasan ekspansi.

Mansuetus mengharapkan Pemerintah Jokowi-JK memberikan perhatian serius atas nasib petani sawit ini. Salah satu harapannya adalah program pemberdayaan desa yang mengalokasikan dana Rp 1,4 miliar per desa. Mansuetus berharap dana tersebut dialokasikan ke desa agar dapat membangun Badan Usaha Milik Desa (BUMDesa) di kawasan perkebunan sawit. Selanjutnya, BUMDesa tersebut dapat memperkuat petani kelapa sawit agar memiliki kapasitas pengelolaan kebun, membangun jaringan dengan pasar, Mengelola pupuk, teknologi pertanian dan menggalang tabungan petani.

“Pola manajemen satu atap itu mengebiri petani plasma. Petani terpaksa bermitra karena tak punya pendanaan untuk membangun kebun secara mandiri. Menteri Pertanian Amran Sulaiman harus punya perspektif baru untuk memperbarui skema petani agar petani sejahtera, mandiri dan tanpa konflik,” kata dia.


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home