Loading...
ANALISIS
Penulis: Posman Sibuea 07:55 WIB | Senin, 27 Juli 2015

Hari Anak dan Gizi Buruk

Ilustrasi. (Sumber: quotessays.com)

SATUHARAPAN.COM – Setiap tanggal 23 Juli diperingati sebagai Hari Anak Nasional. Peringatan yang mengambil tema “Wujudkan Lingkungan dan Keluarga Ramah Anak” ini gaungnya kurang bergema di tengah masyarakat. Perhatian masyarakat disedot oleh beragam persoalan politik mulai dari kriminalisasi dua hakim KY hingga tragedi di Tolikara, Papua.

Persoalan anak yang menyangkut masa depan bangsa menjadi terlupakan. Seperti dilaporkan sejumlah media massa baru-baru ini dilaporkan anak penderita gizi buruk di Nusa Tenggara Timur sebanyak 1.918 orang selama Januari-Mei 2015. Fenomenanya ibarat puncak gunung es, yang tampak baru permukaannya. Sesungguhnya puluhan daerah lain juga mengalami hal yang sama.

Di negeri yang disebut-sebut sebagai lumbung pangan dunia ini sebagian warganya harus meregang nyawa karena kelaparan dan kurang gizi. Secara nasional, tidak kurang dari lima juta anak-anak di negeri ini tidak bisa tidur nyenyak setiap malam karena mereka mengalami defisit pangan dan gizi. Disadari atau tidak, lost generation atau “generasi yang hilang” tengah berlangsung di tengah bangsa. Kecerdasan anak yang mengalami gizi buruk terampas oleh krisis pangan yang kembali bersemayam di negeri agraris ini dan belum disikapi sebagai ancaman ketahanan nasional yang amat serius. Adakah negara telah melakukan kelalaian atau penelantaran (state neglect) terhadap anak-anaknya sendiri?

Realitas menyedihkan itu merupakan buah dari kegagalan pemerintah memerangi kemiskinan. Pemerintah kerap memuji diri telah berhasil menurunkan angka kemiskinan dan mampu meningkatkan pendapatan per kapita ke posisi 3.557 dollar AS. Kenyataannya, warga yang kesulitan mengakses makanan beragam dan bergizi karena daya beli yang tumpul makin banyak jumlahnya. Kesenjangan antara orang kaya dan miskin makin lebar. Potret kemiskinan terlihat amat kontras jika disandingkan dengan kehidupan mewah di perkotaan.

Kemiskinan

Pemerintah Indonesia telah menggunakan standar ganda dalam menentukan jumlah penduduk yang hidup miskin. Bank Dunia pernah melaporkan sekitar 50 persen dari seluruh penduduk Indonesia atau sekitar 125 juta orang, hidup dalam kondisi miskin dan rentan menjadi miskin. Jumlah ini lebih banyak dari penduduk Jerman, atau hampir menyamai jumlah penduduk Jepang. Batas kemiskinan yang digunakan ialah pengeluaran 2 dollar AS per hari.

Pemerintah membantah keras laporan ini dengan membuat indikator kemiskinan versi Indonesia, yakni berdasarkan ekuivalen pengeluaran perkapita perbulan sebesar Rp. 233.740. Dengan acuan ini, tingkat kemiskinan di Indonesia per Maret 2014 adalah 11,3 persen atau hanya 28,25 juta orang. Jumlah yang amat kontras dengan kemiskinan versi Bank Dunia.

Namun, sebaliknya pemerintah mengaminkan laporan Bank Dunia (2014) bahwa pendapatan perkapita Indonesia saat ini sebesar 3.557 dollar AS. Pengakuan ini hendak menggambarkan keberhasilan pemerintah melakukan pembangunan ekonomi nasional, mampu mengatrol pendapatan masyarakat menjadi Rp 36 juta pertahun atau Rp 3 juta perbulan.

Di satu sisi pemerintah setuju tingkat pendapatan perkapita masyarakat sebesar 3.557 dollar AS atau pendapatan sebesar 9,75 dollar AS (dibulatkan 10 dollar AS) setiap hari. Di sisi lain, pemerintah tidak jujur mengakui data kemiskinan versi Bank Dunia. Standar ganda ini telah mengaburkan makna kemiskinan itu.

Pemerintah pun mengatasi kemiskinan bukan dengan jalan membuka lapangan kerja baru, tetapi dengan memurah-murahkan harga beras lewat penyediaan raskin. Padahal untuk hidup sehat supaya tidak dihinggapi status gizi buruk, seseorang tidak hanya mengonsumsi makanan berkarbohidrat bernama beras. Ia juga harus makan daging, ikan, telur dan susu untuk sumber protein hewani. Sekadar menyebut contoh tingkat konsumsi susu di Indonesia hanya 20 tetes per hari dan mengonsumsi telur satu butir per minggu.

Standar kemiskinan yang sesungguhnya – seharusnya disadari pemerintah – selalu berimplikasi dengan relasi keterbelakangan, kebodohan, dan ketidakmampuan untuk mengakses kesejahteraan hidup. Hidup miskin tidak hanya berarti defisit sandang, papan dan pangan seperti ukuran orde lama. Di tengah zaman yang makin maju, salah satu indikator hidup miskin ialah ketidakmampuan mengakses informasi lewat pendidikan formal. Mereka terabaikan dan terpinggirkan sehingga tidak berkesempatan untuk berhubungan dengan kehidupan masa depan yang sarat kemajuan ilmu pengetahuan.

Mati Rasa

Sungguh ironis, saat sebagian anak-anak di Indonesia terancam gizi buruk, anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) mengalami mati rasa atas penderitaan rakyatnya. Mereka memilukan hati rakyat karena secara diam-diam merancang dana aspirasi (DA) yang jumlah mencapai Rp 11,2 triliun dengan perincian setiap anggota mendapat jatah sekitar 20 miliar.

Di masa orde reformasi ini, ketika Presiden telah berganti sebanyak lima kali namun isu kelaparan dan gizi buruk tetap menjadi persoalan rutin setiap tahun. Sudah pasti pula anggota DPR yang terhormat tidak bisa lepas tangan atas persoalan ini. DPR seharusnya mampu mengawasi penggunaan anggaran pembangunan agar tepat sasaran mengatasi kemiskinan. Bukan sebaliknya menggunakan anggaran lewat DA yang terkesan mengada-ada dan tidak masuk akal.

Patut disadari, kualitas SDM Indonesia kini kian melorot. Badan Program Pembangunan PBB (UNDP, 2014) yang merilis laporan Indeks Pembangunan Manusia untuk 187 negara, menyebutkan Indonesia berada di peringkat 108, tidak lebih baik dari posisi tahun-tahun sebelumnya. Bandingkan dengan Singapura (peringkat ke-9), Brunei (30) dan Malaysia (62).

Kemerosotan IPM Indonesia berbanding lurus dengan hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) yang melaporkan kecenderungan peningkatan jumlah balita gizi buruk. Hasil Riskesdas 2013 menunjukkan jika pada 2010 jumlah balita gizi buruk sebesar 4,9 persen maka pada 2013 meningkat menjadi 5,7 persen. Dampaknya, selain tubuh pendek (stunting), juga pengecilan otak, jantung dan organ lain yang mendorong turunnya tingkat kecerdasan anak.

Krisis kemanusiaan ini bisa terjadi karena dipicu persoalan moral sempit. Masalah gizi buruk kini ditenggelamkan agenda politik partai yang beraroma kepentingan kelompok untuk mengegolkan dana aspirasi. Sementara konsistensi dan kesinambungan arah pembangunan pertanian dan pangan makin tidak jelas dan non-sustainable. Upaya memberi makan 250 juta penduduk terasa berat karena pemerintah belum hadir dalam penguatan kedaulatan pangan.

Tragedi gizi buruk harus segera diatasi. Pemerintahan Jokowi-JK patut bekerja lebih keras lagi untuk merancang berbagi program kerja yang peduli ekonomi kerakyatan. Berbagai program pemerintahan masa lalu yang terabaikan patut dihidupkan kembali, seperti pendidikan kesejahteraan keluarga, posyandu, pekan imunisasi dan apotek hidup. Jika political will ini belum muncul, nantinya akan menyesal dan sadar bahwa telah kehilangan begitu banyak kesempatan untuk perbaikan (lost opportunity).

Kelaparan dan gizi buruk seperti bencana dalam sunyi. Berbeda dengan bencana alam yang menampilkan pemandangan mengerikan secara kolosal. Dampak gizi buruk seperti busung lapar tidak kelihatan langsung, tetapi secara perlahan merenggut masa depan anak bangsa.

Posman Sibuea, Guru Besar Tetap di Jurusan Teknologi Hasil Pertanian Unika Santo Thomas Medan. Anggota Pokja Ahli Dewan Ketahanan Pangan Sumatera Utara dan Ketua Persatuan Ahli Teknologi Pangan Indonesia (PATPI) Sumatera Utara. 

Ikuti berita kami di Facebook


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home