Loading...
OPINI
Penulis: Trisno S Sutanto 00:00 WIB | Kamis, 25 Desember 2014

Herodes, Oh, Herodes!

Natal dan Kekuasaan

SATUHARAPAN.COM – Walau Natal telah menjadi fenomena “belanja global di akhir tahun”, tetapi cerita mengenai hal itu dalam Injil selalu memberi kesempatan kepada setiap orang untuk merenungkan bagaimana cara memaknai kehidupan. Dan hal itu tampil dengan cara memikat lewat tokoh-tokoh yang dikisahkan.

Masing-masing tokoh seakan-akan menampilkan aspek-aspek berbeda dalam melihat Natal, dan sekaligus mengajak kita, sang pembaca, untuk merenungkan kehidupan yang kita jalani. Orang dapat merenungkan makna pengharapan, misalnya, lewat tokoh Simeon dan Hana, pasangan uzur yang setiap hari berada di bait Allah guna menantikan kapan saatnya boleh memangku bayi Yesus. Nyanyian Simeon, saat tangan rapuhnya memangku bayi itu, sampai sekarang masih selalu dinyanyikan oleh gereja sebagai lagu penutup Ibadat Harian:  Nunc dimitis servum tuum, Domine, secundum verbum tuum in pace. “Sekarang, Tuhan, biarkanlah hamba-Mu ini pergi dalam damai sejahtera, sesuai dengan firman-Mu” (Lk. 2:29).

Atau orang dapat ikut berdebar-debar dan bergumul mencari langkah terbaik bersama Yusuf, si tukang kayu, saat menemukan bahwa Maria, tunangannya, justru sudah hamil duluan. Kita dapat merasakan bagaimana Yusuf harus berpikir keras dan bimbang saat menemukan kenyataan pahit itu, bahkan diam-diam ingin menceraikan tunangannya. Tetapi, suatu malam, seorang malaikat datang dalam mimpinya, dan memberitahukan rencana Tuhan bahwa anak yang dikandung Maria akan dinamai Yesus, “karena Dialah yang akan menyelamatkan umat-Nya dari dosa-dosa mereka” (Mat. 1:21b).

Tetapi sejauh saya tahu, belum ada seorang pun yang berusaha merenungkan tokoh Herodes. Ia sang penguasa di wilayah itu, malah boleh disebut sebagai “Raja orang Yahudi” yang sekaligus wakil dari kerajaan Romawi maha perkasa. Memang tak banyak yang diceritakan Injil mengenai dirinya. Bahkan, dalam soal kelahiran Yesus, hanya Matius memberi catatan lumayan panjang tentang sikap dan sepak terjangnya.

Ini agak mengherankan, karena Herodes cukup dikenal dalam sejarah. Banyak sejarawan antik yang berulang kali merujuk pada masa pemerintahannya. Dan melalui catatan-catatan historis mereka itulah, kematian Herodes menjadi penunjuk penting kapan sebenarnya bayi Yesus dilahirkan, yang dewasa ini kita rayakan sebagai Natal (“Herod”, New Advent: Catholic Encyclopedia).

Boleh jadi, saya yakin, itu karena Matius – dan Injil-injil lain – sama sekali tidak berpretensi mau menulis sejarah, dengan rincian fakta yang dapat diverifikasi atau difalsifikasi. Bukan itu maksud Injil ditulis. Konteks sejarah yang ada, termasuk rincian kehidupan Yesus, sang tokoh utama, hanya dipakai sebagai kerangka bagi para penulis Injil untuk mewartakan pewartaan mereka. Termasuk soal Herodes.

Dan persis dalam soal ini, Matius dengan cerdik melukiskan figur Herodes. Pertama-tama kita membaca tentang keterkejutannya saat orang-orang majus dari Timur tiba-tiba bertanya, “Di manakah Dia, raja orang Yahudi yang baru dilahirkan itu?” (Mat. 2:2a). Bagi Herodes, saya dapat membayangkan, pertanyaan itu merupakan kabar paling buruk yang pernah ia terima sepanjang hidupnya. Pertama-tama, karena ia tidak pernah mendengar sebelumnya, baik dari para agamawan yang selama ini ikut menikmati kekuasaannya, maupun sekadar desas-desus dari para intelijen yang selama ini memberinya informasi berharga. Padahal, lebih jauh lagi, kabar itu soal kelahiran bukan bayi biasa. Istilah yang dipakai orang majus – atau mungkin Matius sengaja menyisipkannya – adalah “Raja orang Yahudi”!

Potongan informasi itu, saya kira, yang paling mengguncang Herodes. Selama ini, dengan seluruh kekuasaan yang dimilikinya, ia adalah sang penguasa – atau “Raja orang Yahudi”. Tetapi kini justru ada orang lain, yang sejak dari masih bayi sudah menyandang gelar “Raja orang Yahudi”, dan bahkan diakui oleh orang-orang majus yang datang dari jauh. Kekuasaan yang digenggam Herodes jadi terancam: Tidak boleh ada dua matahari yang bersinar.

 

Mungkin itulah paradoks dasar Natal, bahwa Ia yang Maha Kuasa justru merendahkan Diri sampai begitu hina guna merengkuh manusia yang tersisih.

 

Lanjutan ceritanya sudah kita tahu. Herodes segera mencari informasi, termasuk membujuk orang majus, agar ia dapat membunuh (calon) saingannya. Tetapi malaikat Tuhan kembali bertindak. Orang majus jadi tahu rencana jahat Herodes, sementara karena ketaatan Yusuf keluarga Nazaret dapat selamat dengan mengungsi ke Mesir. Dan Matius menutup kisahnya dengan tindakan keji Herodes membunuh bayi-bayi tak bersalah di Betlehem, yang membuat ibu-ibu di sana meratap panjang (Mat. 2:16-18).

Kisah Matius seperti menyibakkan wajah kekuasaan yang sebenarnya sangat rapuh. Reaksi Herodes saat mendengar informasi dari orang majus, dan tindakan kalapnya untuk membunuh bayi-bayi tak berdosa, memperlihatkan kerapuhan itu dengan gamblang. Pada sisi lain, Matius juga memperlihatkan kekuasaan yang sesungguhnya, yang justru melucuti seluruh miliknya sendiri demi mengabdi pada mereka yang paling kecil dan tersisih. Mungkin itulah paradoks dasar Natal, bahwa Ia yang Maha Kuasa justru merendahkan Diri sampai begitu hina guna merengkuh manusia yang tersisih.

Tertapi gagsan kekuasaan seperti itu sungguh tak mampu dipahami oleh para penguasa, termasuk Herodes. Kekuasaan baginya justru harus dipegang erat-erat, walau sesungguhnya sangat rapuh, dan kalau perlu dipertahankan dengan membunuh bayi-bayi tak berdosa. Baginya paradoks Natal adalah warta yang buruk.

Dengan kata lain, di tangan Matius Natal memiliki dimensi politisnya. Ia membantu kita menelanjangi wajah kekuasaan yang, sekalipun kelihatan begitu gagah, sesungguhnya sangat rapuh. Juga wajah orang yang mendaku diri sebagai sang penguasa, tetapi dipenuhi ketakutan bahwa apa yang digenggamnya akan hilang, lalu mau mempertahankannya habis-habisan. Ia lupa, kekuasaan selalu bersifat sementara.

Herodes adalah potret tragis penguasa seperti itu. Herodes, oh Herodes...

 

Penulis adalah Koordinator Penelitian Biro Litkom-PGI, Jakarta.


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home