Loading...
OPINI
Penulis: Dr. Andreas A. Yewangoe 00:00 WIB | Senin, 27 April 2015

Homo Reptilicus

SATUHARAPAN.COM – Menarik sekali ketika kita menyimak pertunjukan oleh “Teater Kosong” di Taman Ismail Marzuki (TIM) pada 25 Maret 2015 lalu. Pertunjukan itu ditempatkan di bawah judul, Homo Reptilicus, dengan sub-judul, “Ketika Para Politikus Mereptilkan Diri”. 

Pertunjukan yang disutradarai budayawan Radhar Panca Dahana ini memperlihatkan perilaku politikus masa kini yang bengis, dan memperlihatkan sifat purba laksana reptil. Tentu saja ini sangat sinis, lebih-lebih lagi ketika kita mengikuti berbagai perdebatan para politikus di negeri kita yang terkesan tanpa juntrungan, dan yang dalam banyak hal justru selalu lari dari fokus. Sebagai contoh, dalam “debat” antara Gubernur DKI (Ahok) dengan DPRD-DKI, pokok utamanya adalah persoalan 12 triliun rupiah yang konon diselundupkan ke dalam APBD. Oleh Ahok ini dilihat sebagai upaya siluman memperkaya diri dengan memanfaatkan berbagai “lobang” yang tersedia di APBD dalam wujud penggelembungan mata anggaran di sana-sini. Ini ditengarai sebagai praktik yang agaknya telah “lazim” selama ini. Maka persoalan itu harus diclearkan. 

Tiba-tiba saja, persoalannya dibelokkan begitu rupa sehingga, lalu menjadi persoalan “bahasa toilet” Ahok, yang ujung-ujungnya akan bermuara pada penerapan Hak Angket DPR-DKI. Bukan tidak mungkin, kalau hanya berdasarkan suara terbanyak, Ahok akan dilengserkan. Kalau ini terjadi, maka sungguh-sungguh kebengisan dan kepurbaan reptil menjadi kenyataan.

Dalam kaitan ini saya teringat akan tulisan Karen Armstrong berjudul, Twelve Steps to a Compassionate Life, (London, 2011). Sesungguhnya Armstrong yang mantan biarawati itu sangat optimis dengan manusia, yang dalam banyak hal dipengaruhi agama-agama yang mengajarkan compassion (bela-rasa). Dalam agama apapun, kata dia, sikap compassion itu ada. 

Maka langkah pertama yang harus dilakukan adalah, belajar untuk berlaku bela-rasa. “So,  compassion means to endure [something] with another person, to put ourselves in somebody else’s shoes, to feel her pain as though it were our own, and to enter generously into her point of view”, kata Armstrong. Sesungguhnya, inilah Golden Rule yang terdapat dalam setiap agama. Maka compassion tidak bisa dipisahkan dari humanity (kemanusiaan). 

Namun demikian, Armstrong mencatat bahwa dalam banyak hal compassion ini asing dalam kehidupan modern kita. Sebagai contoh ia mengacu kepada ekonomi kapitalis yang sangat bersifat kompetitif dan individualistik. Di sini yang dipentingkan adalah, apakah hal itu menguntungkan bagi saya sendiri atau tidak. Apakah yang lain juga ikut disejahterahkan, itu tidak masuk perhitungan. Tentu masih banyak lagi contoh-contoh lain yang mempertontonkan sifat mementingkan diri manusia (selfish) ini dalam berbagai bidang kehidupan manusia. 

Lalu dari mana sifat selfish manusia itu? Dengan sedikit mengikuti teori Charles Darwin mengenai evolusi, Armstrong mengkonstatir, agaknya dalam proses itu sifat “buyut moyang” kita, yaitu reptil yang liar, bengis dan mementingkan diri tidak semuanya berkembang. “There is no doubt that in the deepest recess of their minds, men and women are indeed ruthlessly selfish”, kata Armstrong. Sifat egotisme manusia ini, katanya berakar dalam “otak purba” (old brain), yang diwariskan kepada kita oleh reptil (buyut-moyang kita) 500 milyar tahun lalu dalam perjuangan untuk keluar dari lumpur kepurbaan. 

Sebagaimana diketahui, makhluk-makhluk ini diberi motivasi untuk bisa survive yaitu, yang oleh para ahli ilmu syaraf disebut, “Four Fs”. Yang dimaksud adalah: feeding [makan], fighting [berkelahi], fleeing [lari meluputkan diri] dan reproduction [melanjutkan keturunan]. Dalam dunia reptil, “empat Fs” ini merupakan sesuatu yang “wajar” untuk mempertahankan diri. Kalau perlu, bahkan tanpa belas-kasih berbagai usaha dilakukan guna memperoleh makanan, menghindarkan diri dari ancaman, mempertahankan teritori (daerah kekuasaan), dan  melestarikan jenis melalui hubungan seksual. 

Maka buyut-moyang reptil kita memang hanya berminat kepada status, kekuasaan, kontrol, teritori (wilayah), seks, pencapaian pribadi dan bagaimana supaya survive. Homo sapiens (yaitu manusia “modern”) mewarisi sistem syaraf ini. Sistem ini terdapat dalam hypotalmus yaitu pada dasar otak, dan justru karena itu spesis kita pun (yaitu manusia “modern”) dapat survive. Emosi-emosi yang ditimbulkannya kuat, otomatis, dan “semuanya mengenai aku”.

Tetapi setelah jutaan tahun, makhluk manusia juga memperkembangkan “otak baru” (new brain), disebut neocortex, yang secara bersama-sama ada dengan “otak purba” tadi. Otak baru ini merupakan kediaman dari kekuatan-kekuatan berpikir dan yang memungkinkan manusia melakukan refleksi tentang dunia dan diri sendiri. 

Otak baru ini juga memampukan manusia untuk tidak sekadar mengandalkan nafsu-nafsu primitif dan naluriah belaka.Tetapi ”Four Fs” tadi terus-menerus menginformasikan seluruh kegiatan kita. Kita diprogramkan untuk makin mampu memperoleh barang-barang kebutuhan, merespon secara instan terhadap setiap ancaman, dan untuk berkelahi tanpa belas-kasihan guna bisa survive dan mencapai kedudukan utama. Naluri ini bersifat menyeluruh dan otomatis. Naluri ini dimaksudkan untuk mengesampingkan dan/atau menolak pertimbangan-pertimbangan kita yang rasional. Sebagai contoh, apabila seekor singa muncul secara tiba-tiba di depan kita, kita tidak perlu menganalisisnya secara rasional dan sesudah itu baru mengambil keputusan. Secara naluriah, kita akan meninggalkan apa saja yang kita pegang, dan memudian lari terbirit-birit. Dalam keadaan seperti ini “otak purba” itu sangat berguna. 

Namun demikian, adanya secara bersama-sama, “otak purba” dan “otak baru” di dalam diri kita tidaklah selalu mudah. Bahkan akan menjadi sesuatu yang fatal, apabila kita sebagai manusia mempergunakan kapasitas “otak baru” untuk mempromosikan berbagai motif yang ditimbulkan oleh “otak purba”. Sebagai contoh, “otak baru” kita menghasilkan teknologi canggih, tetapi “otak purba” kita memerintahkan agar hasil teknologi itu dipakai memusnahkan manusia. 

Ini memang sangat fatal. Tetapi untunglah, dalam proses maha-panjang ini neocortex kita telah menjadikan kita sebagai “makhluk pencari makna” (meaning seeking creatures). Di dalam pencarian makna itu kita dibawa kepada kesadaran, bahwa akan sangat berbahaya, dan sekaligus merupakan kelumpuhan, apabila kita tidak menemukan makna tertinggi di dalam kehidupan kita. Ini akan membawa kita ke dalam keputusasaan. Makna itu kita temukan misalnya dalam seni-budaya dan agama. Maka segala sifat-sifat liar dan purba tadi dapat dijinakkan dalam pencarian makna yang terungkap dalam seni-budaya dan agama tadi.

Sayangnya, sewaktu-waktu kekuasaan dan dominasi “otak purba” ini bisa saja mengalahkan kemauan mencari makna. Kalau ini terjadi, kita kembali menjadi makhluk reptil, yang menerapkan sifat-sifat liar dan purba dari buyut-moyangnya itu. Ini sudah terjadi berulang-ulang di dalam sejarah dunia, seperti misalnya peperangan-peperangan, teror-teror dan berbagai kekerasan lainnya yang tidak mengenal belas-kasihan, dan seterusnya. Tetapi juga dalam kecederungan untuk mengarahkan segala sesuatu bagi kepentingan diri sendiri. Ini berarti malapetaka.

 Barangkali baik untuk direnungkan oleh siapa saja, termasuk para politikus kita, apa  yang dikatakan Armstrong ini. Semua kita dipanggil untuk memperkembangkan “otak modern”, dan tidak terpaku pada “otak purba” reptil, yang sudah pasti akan selalu bersifat mementingkan diri sendiri. 

 

Penulis adalah mantan Ketum PGI (2004-2014), Ketua MP-PGI (2014-2019), Pendeta Emeritus Gereja Kristen Sumba.


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home