Loading...
RELIGI
Penulis: Sabar Subekti 10:38 WIB | Jumat, 30 September 2016

HRW: Mesir Diskriminasi terhadap Warga Kristen

Kubah pada sebuah gereja Koptik di Mesir. (Foto: ist)

KAIRO, SATUHARAPAN.COM – Undang-undang baru tentang pembangunan gereja di Mesir dinilai oleh kelompok pegiat hak asasi manusia, Human Right Watch, sebagai diskriminasi terhadap warga Kristen di Mesir.

UU disetujui di parlemen pada 30 Agustus, 2016 dan disahkan oleh Presiden Abdel Fattah El-Sisi pada Rabu (28/9). Namun UU itu hanya berlaku untuk rumah ibadah Kristen.

Menurut HRW, pada  pertengahan Sepetmebr, terjadi insiden kekerasan anti-Kristen yang menewaskan satu orang dan beberapa terluka, dan berbagai bangunan hancur. Kekerasan dimulai oleh kemarahan di kalangan sebagian umat Islam setempat atas pembangunan gereja atau yang mereka duga gereja.

Menurut HRW, pelaku yang ditangkap jarang sekali yang dituntut atau menjadi tersangka. Hal itu menciptakan iklim impunitas bagi kejahatan kekerasan yang menargetkan orang-orang Kristen.

"Banyak orang Mesir berharap bahwa pemerintah akan menghormati dan melindungi kebebasan beragama, termasuk bagi orang Kristen, setelah pemberontakan 2011," kata Joe Stork, wakil direktur HRW untuk Timur Tengah dan Afrika Utara. " Namun sebaliknya, pihak berwenang mengabaikan masalah sistemik yang mendasarinya dan mengirim pesan bahwa orang Kristen dapat diserang tanpa ampun."

Gubernur Bisa Menolak

UU yang baru memungkinkan gubernur menolak izin pembangunan  gereja dengan tidak ada cara untuk mengajukan banding. Salah satu syaratnya adalah gereja dibangun "sesuai jumlah’’ orang Kristen di daerah itu. Selaian itu ada ketentuan keamanan yang berisiko tidak keluarnya izin pembangunan gereja karena desakan massa dan ancaman kekerasan.

Warga Kristen di Mesir sekitar 10 – 15 persen dari 93 jiwa penduduk Mesir, sebagian besar adalah warga Gereja Koptik. Pihak pemerintah sejak 2011 berusaha mengubah kebijakan yang mendiskriminasi mereka.

Presiden Abdel Fattah El-Sisi berjanji menghormati kebebasan berkeyakinan dan melakukan kunjungan penting pada perayaan natal di Gereja Koptik. Namun pihak berwenang, menurut HRW, gagal melindungi warga Kristen Koptik dari serangan kekerasan, bahkan memaksakan "rekonsiliasi" dengan kelompok Muslim yang justru membuat pelaku kekerasan menghindari tuntutan hukum. Dalam beberapa kasus, orang Kristen bahkan harus meninggalkan rumah, desa atau kota mereka.

Pemerintah diharapkan menghormati dan melindungi kebebasan beragama, termasuk bagi orang Kristen, setelah 2011 pemberontakan. Namun sebaliknya, pihak berwenang mengabaikan masalah sistemik yang mendasari kekerasan ini, dan mengirim pesan bahwa orang Kristen bisa diserang dengan impunitas.

Beberapa Kasus

Bentrokan sektarian meningkat sejak pemberontakan 2011. Di Provinsi Minyai, Mesir yang didokumentasikan oleh  Inisiatif Independen Mesir untuk Hak Pribadi (EIPR) sedikitnya terjadi 77 kasus penyerangan sejak 25 Januari 2011. Di Minya, warga Kristen diperkirakan sepertiga dari penduduk wilayah itu, dan tempat banyak terjadi serangan pada warga Kristen dalam beberapa bulan terakhir.

Pada pertengahan Juli, massa membunuh seorang pria Kristen muda dan melukai tiga orang lainnya. Sebelumnya EIPR mencatat terjadi ketegangan ketika ada kegiatan restorasi gedung gereja.

Pada akhir Juni dan pertengahan Juli, massa menghancurkan empat rumah warga Gereja Koptik di Kom Al-Loufi dan enam bangunan warga, karena tuduhan rencana pembangunan gereja. Massa bahkan memaksa Suad Thabet, seorang perempuan Kristen berusia 70 tahun keluar dari rumahnya di Al-Karam dan menelanjanginya di jalan, karena rumor bahwa anaknya berselingkuh dengan seorang perempuan Muslim.

Massa juga menyerang orang Kristen di kota-kota lain, menurut HRW, seperti di Alexandria, di Provinsi Suef.

Meskipun aparat keamanan menangkap puluhan orang setelah serangan sektarian, seperti di Minya, sebagian besar dari mereka dibebaskan tanpa penyelidikan atau penuntutan. Misalnya, polisi membebaskan 16 orang yang dituduh menyerang  di Abu Yacoub setelah sesi "rekonsiliasi."

Aturan Zaman Ottoman

Selama beberapa dekade, di Mesir presiden berwenang mengizinkan atau menolak pembangunan gereja berdasarkan interpretasi pengadilan atas ketentuan Kekaisaran Ottoman pada 1856.

Pada tahun 1934, Kementerian Dalam Negeri menetapkan aturan yang ketat untuk pembangunan gereja. Baru-baru ini, beberapa pemerintah di Mesir berencana membahas penyatuan hukum untuk rumah ibadah bagi semua agama, tetapi tidak pernah dilakukan. Pasal 235 Konstitusi Mesir tahun 2014 mewajibkan  parlemen pada kesempatan pertama membuat UU yang mengatur pembangunan  gereja dan menjamin kebebasan dan menjalankan ibadah keagamaan bagi orang Kristen.

Parlemen dan pemerintah membahas UU itu, tetapi tanpa melibatkan lembaga non pemerintah. Dan menurut HRW, pembicaraan dengan pihak Gherja Koptik dilakukan secara tertutup. Berbagai kalangan mengritik UU baru itu diskriminatif.

Pembatasan tersebut menjadi diskriminasi atas dasar agama yang dikenakan pada orang Kristen tanpa pembenaran, kata Human Rights Watch. Sementara itu, konstitusi Mesir tidak mengakui kebebasan beragama di luar tiga agama "resmi" (Islam, Kristen, dan Yahudi).

UU baru itu mensyaratkan bangunan gereja disesuaikan dengan jumlah warga Kristen di wilayah itu. Dan Gubernur harus mempertibangkan aspek keamanan dan keselamatan publik dalam memutuskan untuk memberikan izin. Hal yang terakhir diperkirakan akan menjadi kesulitan baru.

Tidak terhadap Majid

Sementara itu, menurut HRW, pemerintah Mesir sangat ketat mengontrol sebagian besar masjid, dalam pengangkatan imam. Dan pembangunan masjid diatur oleh keputusam Kementerian Wakaf Oktober 2011. Tidak seperti terhadap gereja, menurut laporan HRW, pemerintah Mesir jarang mempersoalkan bangunan masjid, dan tidak pernah ada masjid ditutup, karena tidak mematuhi aturan.

Sementara UU yang baru bisa menyebabkan gereja menjadi tidak sah, terutama gereja kuno yang tidak sesuai dengan jumlah warga di sekitar itu, atau ketentuan harus memiliki kubah dan persyaratan fitur di dalamnya.

Kesulitan mendapatkan izin menyebabkan banyak kasus kekerasan sektarian di Mesir. "Pemerintah Mesir harus meminta pertanggungjawaban mereka yang melakukan kekerasan dan reformasi hukum untuk melindungi kebebasan beragama," kata Stork. "Semua orang Mesir memiliki hak untuk hidup dalam damai, terlepas dari keyakinan agama mereka."

Editor : Sabar Subekti


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home