Loading...
OPINI
Penulis: Padmono Sk. 00:00 WIB | Senin, 22 Agustus 2016

HUT 71 Kemerdekaan: Menyoal “Pemindahan Kekuasaan” dalam Teks Proklamasi

Setelah 71 tahun berlalu saat teks Proklamasi pertamakali dibacakan Bung Karno, masih terkandung misteri soal “pemindahan kekuasaan”. Di balik kalimat itu ada pertarungan kekuasaan yang menentukan nasib Indonesia sebagai negara yang baru merdeka.

SATUHARAPAN.COM - Ketika menulis teks proklamasi,  Soekarno tentu sudah berpikir panjang mengenai kata atau kalimat yang ia tulis. Memang teks proklamasi yang ditulis dan kemudian dibacakan tanggal 17 Agustus 1945 jam 10.00 itu sangat singkat. Soekarno dalam menuliskannya pun mendadak karena desakan pemuda.

Teks Proklamasi Negara Republik Indonesia sedang dipersiapkan oleh Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia yang dibentuk Jepang. Dalam teks proklamasi yang pendek itu Soekarno menulis, “……………hal-hal yang menyangkut pemindahan kekuasaan dan lain-lain, akan diselenggarakan dengan cara seksama dan dalam waktu yang sesingkat-singkatnya”. Apa makna kalimat yang berbunyi, pemindahan kekuasaan? Dari siapa ke siapa?

Kalau kita ikuti sejarah kemerdekaan Indonesia, pada tahun 1945 ketika Soekarno menulis dan kemudian membacakan teks proklamasi itu, Indonesia masih dikuasai Jepang. Benar bahwa Jepang sudah takluk kepada Sekutu setelah bom atom dijatuhkan di Hiroshima dan Nagasaki. Juga benar bahwa Jepang telah menyerah kepada Sekutu!

Namun apakah secara otomatis Indonesia yang sedang dikuasai oleh Jepang jatuh ke tangan Sekutu? Di situ kita harus memuji kejelian dan kelihaian para pemuda Indonesia yang menculik Soekarno, membawanya ke Rengasdengklok, dan memaksanya untuk memproklamasikan kemerdekaan pada tanggal 17 Agustus 1945. Sebab kalau harus mengikuti kehendak Jepang, barangkali Indonesia tidak akan merdeka!

Tentang kemerdekaan Indonesia itu sebenarnya telah dirancang juga oleh Pemerintah Hindia Belanda. Namun sebelum Indonesia dimerdekakan, keburu tentara Jepang datang dan menduduki Indonesia. Beberapa tahun menduduki Indonesia, Jepang juga berencana memberikan kemerdekaan kepada Indonesia. Maka disusunlah Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI). Badan itulah yang mempersiapkan segalanya untuk kemerdekaan Indonesia, dari pernyataan proklamasi atau pernyataan berdirinya Negara Indonesia dan undang-undang dasar yang akan digunakan oleh Negara yang akan merdeka itu.

Pembentukan BPUPKI yang kemudian meningkat menjadi Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) oleh Jepang itu ternyata juga tidak mulus. Jepang yang sedang berperang dengan Sekutu tahu bahwa ia suatu kali akan kalah. Karena itu Indonesia dipersiapkan untuk merdeka, sehingga ketika Sekutu menyerang Indonesia tidak disambut sebagai pembebas, tetapi sebagai penjajah! Ini motivasi yang licik dari Jepang. Tetapi alhamdulilah, Indonesia dibebaskan dari campur tangan dan balas budi atau balas jasa kepada Belanda maupun Jepang!

Persoalan yang menarik adalah, setelah menyatakan diri merdeka maka masih ada hal-hal yang harus diselesaikan, dan Soekarno mengatakan pemindahan kekuasaan. Apakah Soekarno berpikir bahwa Jepang akan memindahkan kekuasaannya kepada Indonesia setelah terbentuknya pemerintahan Indonesia? Ternyata tidak.

Setelah tanggal 17 Agustus 1945 Indonesia merdeka, dan kabinet pemerintahan Indonesia untuk pertama kalinya dibentuk tanggal 2 September 1945, panglima bala tentara kerajaan Jepang di Jawa mengumumkan, pemerintahan akan diserahkan kepada Sekutu dan tidak kepada pihak Indonesia! Pernyataan itu diumumkan pada tanggal 10 September 1945. Akibatnya rakyat Indonesia mengamuk. Di mana-mana terjadi perlucutan senjata oleh pemuda terhadap tentara Jepang. Selain itu perundingan-perundingan dilakukan antara Pemerintah Indonesia dengan Sekutu dan tidak pernah ada pemindahan kekuasaan! Bahkan Belanda ingin kembali menduduki Indonesia.

Namun demikian di balik fakta sejarah tidak adanya pemindahan kekuasaan kepada Pemerintah Indonesia itu, ada sebuah peristiwa unik dalam lembaran sejarah Indonesia. Pada tanggal 5 September 1945 setelah Pemerintahan Indonesia terbentuk, Sultan Hamengkubuwono IX mengeluarkan pernyataan bahwa Negeri Ngayojakarta Hadiningrat yang bersifat kerajaan sebagai Daerah Istimewa dalam Negara Republik Indonesia. Pernyataan tersebut lengkapnya berbunyi:

“Kami, Hamengkubuwono IX, Sultan Negeri Ngayogjakarto Hadiningrat, menyatakan:

  1. Bahwa Negeri Ngayogjakarto Hadiningrat yang bersifat kerajaan adalah Daerah Istimewa dari Negara Republik Indonesia;
  2. Bahwa kami sebagai Kepala Daerah yang memegang segala kekuasaan dalam Negeri Ngayogjakarto Hadiningrat, dan oleh karena itu berhubung dengan kepadaan pada dewasa ini segala urusan pemerintahan dalam Negeri Ngayogjakarto Hadiningrat mulai saat ini berada di tangan kami dan kekuasaan-kekuasaan lainnya kami pegang seluruhnya;
  3. Bahwa perhubungan antara Negeri Ngayogjakarto Hadiningrat dengan Pemerintah Pusat Negara Republik Indonesia bersifat langsung dan kami bertanggungjawab atas Negeri kami langsung kepada Presiden Republik Indonesia.

Kami memerintahkan supaya segenap penduduk dalam negeri Ngayogjakarta Hadiningrat mengindahkan amanat kami ini”.

Pernyataan  dari Sultan HB IX sangat menarik. Kraton Jogjakarta  sejak berdirinya bahkan semenjak bernama Mataram yang didirikan oleh Panembahan Senopati adalah sebuah Negara kerajaan!  Jogjakarta itu diakui oleh Pemerintah Belanda, dan juga dihormati keberadaannya sebagai Negara yang berdaulat! Pemerintah Hindia Belanda maupun kongsi dagang yang bernama VOC melakukan perjanjian-perjanjian dengan Kraton Jogjakarta dalam berbagai hal. Karena itu ketika kraton Jogja sebagai sebuah Negara kerajaan menyatakan bergabung dengan Negara Republik Indonesia, tentu saja merupakan masalah yang sulit bagi Pemerintah Belanda.

Dalam sebuah percakapan di gedung DPR, mantan wartawan Sayuti Melik, orang yang mengetik naskah proklamasi dari tulisan tangan Soekarno, mengatakan bahwa kalimat yang berbunyi, “hal-hal yang mengenai pemindahan kekuasaan dilakukan dengan cara seksama dan dalam tempo yang sesingkat-singkatnya” itu juga ditujukan untuk pemindahan kekuasaan sultan-sultan dan raja-raja dari berbagai kerajaan yang ada di Indonesia kepada pemerintahan Republik Indonesia. Pada waktu itu di Indonesia pada waktu itu masih banyak kerajaan-kerajaan atau kesultanan yang berdaulat sebagai sebuah negeri. Pada tahun yang sama, tanggal 22 November 1945 Sultan Muhammad Hasanudin dari Kesultanan Dompu mengeluarkan maklumat yang mirip dengan maklumat HB IX di Jogjakarta, yaitu menyatakan diri bergabung dengan Negara Republik Indonesia.

Dalam kenyataannya Pemerintah Hindia Belanda tidak rela Indonesia merdeka dan kesultanan-kesultanan yang ada di wilayah Nusantara bergabung dengan Negara Republik Indonesia. Tanggal 18 Desember 1946 berdiri Negara Indonesia Timur (NIT), tanggal 4 Mei 1947 diproklamasikan berdirinya Negara Pasundan, tanggal 9 Mei 1947 berdiri Dewan Federal Borneo Tenggara dan tanggal 12 Mei pada tahun yang sama berdiri Daerah Istimewa Borneo Barat, tanggal 23 Januari 1948 berdiri Negara Madura, dan 24 Maret 1948 berdiri Negara Sumatera Timur.

Berdirinya negara-negara tersebut selain mengepung Negara Republik Indonesia yang diproklamasikan tanggal 17 Agustus 1945 juga menghalangi pemindahan kekuasaan dari kesultanan-kesultanan yang ada kepada Pemerintah Negara Republik Indonesia. Memang setelah Belanda mengakui kedaulatan Republik Indonesia tahun 1949 dan Indonesia menjadi Negara Kesatuan tahun 1950, banyak kesultanan yang menyatakan diri bergabung ke dalam NKRI.

Kini kesultanan-kesultanan itu menjadi cagar budaya tanpa kekuasaan politik. Beberapa tahun sekali bahkan digelar festival kesultanan dan para suktan itu bertemu. Bagi NKRI kesultanan-kesultanan itu masih sangat penting sebagai pilar budaya negeri ini. Dukungan kesultanan seperti yang dinyatakan oleh Negeri Ngayogjakarto Hadiningrat beberapa hari setelah terbentuknya Pemerintahan Republik Indonesia itu menjadi bukti bahwa NKRI akan tetap eksis bila pilar budaya itu tetap terpelihara sebagai kekayaan bangsa.

 

Penulis adalah pencinta dan penggiat budaya

Editor : Trisno S Sutanto


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home