Loading...
RELIGI
Penulis: Prasasta Widiadi 12:48 WIB | Kamis, 11 Agustus 2016

HUT ke-71 Kemerdekaan: Peran Negara terhadap Hubungan Antariman

Budi Santoso Tanuwibowo. (Foto: Prasasta Widiadi)

Menyambut peringatan ulang tahun ke-71 Republik Indonesia, Redaksi satuharapan.com menurunkan serangkaian tulisan hasil wawancara dengan beberapa tokoh mengenai kebebasan berkeyakinan di negeri ini. Berikut wawancara dengan Sekretaris Dewan Kerohanian Majelis Tinggi Agama Konghucu Indonesia (Matakin), Budi Santoso Tanuwibowo (bagian I dari dua tulisan).

SATUHARAPAN.COM – Enam agama resmi, yakni Kristen, Katolik, Islam, Hindu, Buddha, dan Konghucu, ditambah kepercayaan tradisional di berbagai daerah, mestinya menjadi salah satu modal keragaman Indonesia yang jarang dimiliki negara lain di dunia. Keragaman dalam kepercayaan itu masih ditambah lagi dengan kemajemukan budaya di berbagai provinsi di Indonesia.

Berkaitan dengan agama itu, ada Kementerian Agama, lembaga tinggi yang resmi mewadahi kegiatan keagamamaan di Indonesia. Namun, apa jadinya bila pemerintah hanya mengurusi masalah yang berkaitan dengan beberapa agama tertentu, yang dikhawatirkan menimbulkan kecurigaan umat dari agama lain?

Sekretaris Dewan Kerohanian Majelis Tinggi Agama Konghucu Indonesia (Matakin), Budi Santoso Tanuwibowo (56) kepada satuharapan.com beberapa waktu lalu, menyatakan negara (dalam hal ini Kementerian Agama) saat ini harus benar-benar menjaga kerukunan umat beragama.

Budi mengatakan apabila pemerintah, dalam hal ini Kementerian Agama, sudah hadir di setiap provinsi, bahkan kabupaten di Indonesia, seharusnya Kementerian Agama melayani masyarakat yang berasal dari latar belakang berbagai agama di Indonesia, tanpa membeda-bedakan. Kenyataannya, belum semua terlayani. “Pada kenyataannya, penganut penghayat kepercayaan di Indonesia banyak, dan harusnya dihormati,” kata dia.

Budi mengandaikan apabila pemerintah hanya mengurusi permasalahan rutin agama tertentu saja, kemungkinan sama artinya dengan agama yang mayoritas jumlahnya adalah agama yang paling benar di Indonesia. “Padahal, siapa sih yang tahu keyakinan kita yang paling benar?  Adakah buktinya? Yang mana? Karena kalau kita mau mengetahui tentang kebenaran, itu baru kita dapat saat kita sudah meninggal dunia,” kata dia.

Budi mengandaikan, saat terjadi konflik antaragama di Indonesia, biasanya didasari atas kepentingan agama yang dianut seseorang atau sekelompok orang adalah yang paling benar, sehingga dapat menindas kelompok lain yang berbeda pandangan tentang isu tertentu. Menyikapi contoh tersebut, Budi menganggap kebenaran yang dimiliki manusia yang mengaku beragama di mana pun adalah kebenaran semu. Kebenaran sejati, dalam pandangan Budi, adalah kebenaran yang berasal dari Tuhan, dan hanya Sang Pencipta yang tahu isi kebenaran tersebut.

Laki-laki yang biasa disapa Budi ini menyinggung pengalamannya berjuang melobi presiden keempat Indonesia, KH Abdurrahman Wahid, yang lebih dikenal dengan panggilan akrab Gus Dur, agar pemeluk Konghucu dapat merayakan Tahun Baru Konghucu merupakan perjuangan berat. Permintaan itu, menurut dia, didasari alasan umat beragama membutuhkan ekspresi yang terwujud dalam perayaan hari besar. Perayaan hari besar keagamaan, kata dia, memiliki makna yang tidak dapat dijelaskan dengan kata, dan kalimat semata. 

Budi juga menuturkan persahabatannya dengan tetua adat penghayat Sunda Wiwitan, Pangeran Jatikusuma, juga salah satunya didasari karena adanya perasaan senasib, yakni sama-sama pernah mengalami diskriminasi. “Dalam setiap perjuangan yang mengalami diskriminasi, kita paham siapa pun yang mengalami diskriminasi oleh negara, ya kita bela,” kata dia.

Budi menambahkan bila masih ada pembatasan aktivitas berekspresi yang dilakukan kelompok mayoritas terhadap kepercayaan lokal atau minoritas, maka peran pemerintah dipertanyakan.  “Sebenarnya kalau saya sendiri menganggap agama tidak perlu diurus oleh negara, biarlah berjalan sendirinya. Tetapi, karena sekarang kita hidup di negara yang diatur dengan peraturan dan undang undang, ya biar sajalah,” kata pria asal Tegal tersebut.

Editor : Sotyati


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home