Loading...
HAM
Penulis: Wim Goissler 19:57 WIB | Minggu, 04 Maret 2018

Ibrahim Peyon: Isu Referendum Papua Jangan Dianggap Tabu

Antropolog Papua dan Dosen Universitas Cendrawasih, A. Ibrahim Peyon (Foto: Dok Pribadi)

JAKARTA-MUNICH, SATUHARAPAN.COM – Pada bagian keempat (terakhir) wawancara ini, Ibrahim Peyon berbicara tentang hal-hal bersifat pribadi yang menyebabkan dirinya memiliki pandangan kritis terhadap sejarah Papua yang selama ini menjadi wacana mainstream. Antropolog dari Universitas Cendrawasih ini, bertekad, ia akan terus menyuarakan apa yang ia anggap sebagai kebenaran sejarah, karena “tugas akademisi adalah untuk mendidik orang lain melihat keadaan hidup mereka, mengenali diri mereka, membebaskan mereka dari kekuasaan indoktrinasi pengetahuan.”

Ibrahim Peyon berasal dari etnis Yali dan merupakan antropolog yang produktif dalam menulis. Buku-buku karyanya meliputi Antropologi Kontemporer: Suatu Kajian Kritis Mengenai Papua (Penerbit Kelompok Studi Nirentohon, 2012), Manusia Papua Negroid: Ras dan Ilmu dalam Teori Antropologi, (Penerbit Kelompok Studi Nirentohon, 2012), Struktur Sosial dan Kekerabatan Orang Yali (Penerbit Kelompok Studi Nirentohon, 2012), Terang Bersinar di Balik Gunung: Kisah Pelayanan para Penginjil GKI-TP di Pegunungan Papua Barat, (Penerbit Kelompok Studi Nirentohon, 2015 dan Kolonialisme dan Cahaya Dekolonisasi di Papua Barat (Penerbit Nentiens Focus, 2010).

Ia juga aktif dengan gagasan “Antropologi Papua kembali ke rumah,” yaitu suatu  perspektif antropologi yang terfokus pada paradigma, metode-metode dan teori-teori berbasis pada kultur dan pengetahuan orang-orang Papua sendiri.

“Pengetahuan yang berbasis pada budaya, filsafat dan sejarah kita sendiri,” ia menulis dalam sebuah artikel berjudul Antropologi Papua Kembali ke Rumah di suarapapua.com.

 “Antropologi dalam perspektif ini harus melepaskan diri dari belenggu narionalis dan intelektualisme liberal yang tak terpisahkan dari kponialisme dan kapotalisme global,” tulis Ibrahim Peyon.

Berikut ini wawancara bagian keempat dengan Ibrahim Peyon.

Satuharapan.com: Sebagai akademisi Uncen, mengapa Anda begitu vokal dalam menyuarakan perlunya penentuan nasib sendiri bagi rakyat Papua. Apakah sebagai akademisi di universitas negeri Anda tidak khawatir mendapat teguran?

A. Ibrahim Peyon: Saya pikir salah satu tugas akademisi adalah menyampaikan informasi yang benar kepada mahasiswa dan kepada orang lain. Dalam dunia akademik tidak mengenal apa yang disebut rekayasa sejarah. Bila salah informasi dan rekayasa sejarah, maka tugas akademisi untuk meluruskan dan memperbaiki hal itu. Tujuannya untuk mendidik bangsa supaya manusia tidak berada di ruang gelap, dalam sejarah hampa, buta sejarah dan budaya. Manusia tidak bisa terdoktrinasi dengan ide, gagasan dan kekuasaan pengetahuan palsu untuk melayani kekuasaan. Tugas akademisi adalah untuk mendidikan orang lain melihat keadaan hidup mereka, mengenali diri mereka, membebaskan mereka dari kekuasaan indokrinasi pengetahuan.

Saya tidak berbicara vokal dalam hal ini. Tulisan-tulisan saya secara akademik itu tidak bisa dikategorikan bicara vokal, tulisan-tulisan itu dibangun atas dasar data, atau dari realita hidup orang-orang Papua selama ini. Realita sejarah dan budaya yang disebunyikan selama ini. Tulisan-tulisan itu adalah tugas akademik untuk kepentingan teori dan praktis untuk memperbaiki kehidupan sosial. Jadi bagi saya itu hal biasa di dunia kampus dan tidak ada yang vokal dan istimewa.

Kalau bicara teguran saya pikir mereka itu tidak mengerti fungsinya sebagai akademisi. Tugas akademisi adalah menggali informasi, menganalisa dan menulis. Itu tugas pokok akademisi. Saya harap bukan ditegur tetapi justru mereka harus sadar posisi akademik mereka untuk menulis dan mendidik bangsa dengan informasi yang benar. Jadi, apakah melakukan tugas-tugas akademisi itu dianggap melanggaran aturan?

Saya justru lebih berharap melalui tulisan-tulisan itu bisa membuka wacana baru, ruang-ruang gelap di dunia akademisi di Tanah Papua dan Indonesia umumnya. Saya harapkan juga akademisi Indonesia buka mata melihat realita ini dan menulis itu untuk mendidik bangsa. Akademisi tidak boleh menjadi akomodatif untuk melayani kekuasaan dengan sejarah-sejarah palsunya. Manusia harus dibebaskan atau membebaskan sendiri dari ruang gelap ini, mengenali diri sendiri dan duniannya.      

Bagaimana akademisi-akademisi muda di Papua menyikapi isu yang Anda sampaikan, apakah mereka antusias atau tidak peduli?

Saya tidak tahu tanggapan dari akademisi muda lain. Soal menanggapi baik, buruk atau antusias itu sikap atau tanggapan pribadi mereka setelah membaca tulisan-tulisan itu. Saya hanya menjalankan tugas akademik saya dan hal seperti ini tidak perlu mendapat tanggapan, antusias atau pujian, atau sebaliknya. Tanggapan akademisi lain atas tulisan-tulisan itu bisa dilihat bila ada tulisan lain untuk mengkritisi tulis itu, tetapi sejauh ini belum ada tulisan maka tidak bisa melihat antusiasme itu. Bila sesuatu dianggap benar dan didukung dengan data dan fakta, seseorang intelektual harus terbang sendiri. Secara terus menerus dan teratur, menulis dan menyampaikan informasi, dia tidak perlu mendapat dukungan orang lain atau pujian, dan kebenaran itu bekerja lambat, sangat idealis tetapi dia tidak pernah kalah.    

Saya harapan akademisi-akademisi lain bisa memuncul dengan data dan tulisan supaya diskusi lebih sehat, lebih kritis dan lebih berkembang. Membangun wacana-wacana akademik dan mengembang teori-teori baru untuk membebaskan orang lain atau membebaskan diri sendiri dari ruang-ruang gelap itu. 

 Apa saran Anda kepada para aktivis dan politisi Papua?

Saya bukan seorang politisi atau praktisi, saya juga tidak tahu cara kerja di lapangan. Karena teori dan praktik dua dunia yang berbeda. Tetapi, saya melihat kegiatan para aktivis dan pejuang Papua itu secara teoritis sudah secara gigih memperjuangkan hal itu. Karena mereka sudah melihat referendum adalah sebuah jalan keselamatan, sebuah jalan demokrasi untuk memberikan hak suara semua orang. Referendum itu tidak beda dari pemilihan umum di Indonesia. Sama saja dengan pemilihan umum, di mana setiap orang Indonesia melakukan pemilihan setiap lima tahun, untuk pilih presiden, dewan dan kepada daerah. Hal yang berbeda itu nama, tujuan pilihan.

Jadi, saya pikir istilah referendum itu jangan dianggap tabu atau alergi. Indonesia sudah menjadi negara demokrasi dan referendum adalah satu mekanisme demokrasi. Orang Papua itu sudah memahami itu, dan mereka berjuang untuk referendum Papua itu. Jadi, pikiran para aktivis dan politisi Papua memperjuangkan Papua melalui mekanisme referendum benar-benar mengerti arti demokrasi itu dan ikut membantu Indonesia untuk memajukan demokrasi di Indonesia. Mereka berjuang dengan cara-cara damai, demokratis dan bermartabat, itu adalah inti demokrasi.   

Secara pribadi sejak kapan Anda menyadari atau menemukan titik balik untuk menyuarakan hal ini? Apakah sudah sejak kecil atau ada momen tertentu yang membuat Anda mengenali sejarah Papua yang sebenarnya?

Generasi saya itu, kami lahir pertengahan tahun 1970-an. Antara tahun 1975-78 itu, kami sudah mengalami sendiri di daerah kami khususnya di pegunungan Papua. Sebagian dari kami masih kecil dan sebagian lain belum lahir, kami tumbuh dan besar di hutan-hutan karena kampung-kampung kami diserang militer Indonesia. Jadi, ketika kami ke dunia itu, kami sudah diperkenalkan dengan situasi itu. Di sekolah-sekolah itu, kami ini selalu distigma sebagai manusia koteka, terbelakang, hitam dan kotor, itu dunia di mana sehari-hari kami alami. Saya pernah satu kali membersihkan rumput di halaman salah seorang dosen Uncen dari luar Papua, dosen itu dan keluarganya memberikan saya makanan yang sudah basi dan busuk di dekat toilet, jadi saya pikir, mungkin saya ini setengah manusia atau bukan manusia.

Jadi, hal ini common sense di lingkungan kita sehari-hari, dan saya juga sebagai peneliti sering mengambil data-data di kampung-kampung dan melihat langsung. Ada juga banyak referensi yang bisa diakses, bisa belajar yang tidak diajarkan di sekolah-sekolah itu. Ada banyak pertanyaan-pertanyaan yang muncul dalam benak kami, bahwa mengapa sejarah Papua itu tidak diajarkan di sekolah-sekolah? Mengapa kita diperkenalkan dengan sejarah Jawa, Sumatera, kalimantan, Sulawesi dll? Mengapa kami berbeda dari mereka yang lain di Indonesia? Mengapa ada perlakuan yang berbeda oleh penyelenggara negara dan aparatur negara terhadap orang Papua? Mengapa ada diskriminasi hukum, sosial, ekonomi dan politik? Mengapa selalu ada pembunuhan dan kejahatan?

Sebagai manusia yang mempunyai akal budi dan naluri perlu mencari tahu jawaban atas pertanyaan-pertanyaan macam itu. Hal-hal itu adalah diskusi di rumah-rumah, di sekolah, tempat rekreasi dan perkumpukan lain. Diskusi secara lisan, bertanya kepada generasi tua, bagaimana sejarah masa lalu. Jadi common sense itu adalah pendidikan untuk belajar semua itu. Jadi, suatu proses panjang yang membentuk pola pikir dengan membaca wacana dan teori baru itu.    

Editor : Eben E. Siadari


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home