Loading...
BUDAYA
Penulis: Moh. Jauhar al-Hakimi 13:08 WIB | Sabtu, 26 Oktober 2019

Ikhtiar Konsistensi Dua Perempuan Perupa dalam “Ugemi”

Ikhtiar Konsistensi Dua Perempuan Perupa dalam “Ugemi”
Pengunjung menyaksikan lukisan panel kaca berjudul "Senja di Pelabuhan Kecil" karya Rina Kurniyati dalam pameran seni rupa "Ugemi" di Sangkring art project Kampung Nitiprayan, Ngestiharjo-Bantul, saat pembukaan, Kamis (24/10) malam. (Foto-foto: Moh. Jauhar al-Hakimi)
Ikhtiar Konsistensi Dua Perempuan Perupa dalam “Ugemi”
Anggara Kasih – cat akrilik di atas kanvas – 200 cm x 152 cm – Astuti Kusumo – 2019.
Ikhtiar Konsistensi Dua Perempuan Perupa dalam “Ugemi”
Lukisan kaca berjudul “30 Derajat ke Kanan” karya Rina Kurniati.
Ikhtiar Konsistensi Dua Perempuan Perupa dalam “Ugemi”
Lukisan di atas kanvas karya Astuti Kusumo (dari kiri ke kanan) : Nyawiji – Among Mangsa – Sarimbit.

YOGYAKARTA, SATUHARAPAN.COM – Tuhanku, di pintu-Mu aku mengetuk. Aku tidak bisa berpaling. Potongan puisi berjudul Doa karya penyair Chairil Anwar melengkapi visual lukisan dasbor Mercedes-benz 280 Sl Roadster tahun 1968 dalam medium cat enamel di atas kaca karya perupa Rina Kurniyati.

Lukisan hyperrealis berjudul 30 Derajat ke Kanan itu dipresentasikan Rina bersama sembilan karya tunggal dan satu karya panel dalam gaya yang sama di Sangkring Art Project. Bersama karya Rina, delapan lukisan dalam medium cat akrilik di atas kanvas dalam gaya sapuan kuas (brush stroke) yang tegas karya Astuti Kusumo menjadi pameran tunggal berdua kedua perempuan perupa otodidak tersebut.

Pameran tungal-berdua bertajuk “Ugemi” dibuka Kamis (24/10) malam.

Kedua seniman-perupa melakukan eksplorasi medium, objek, maupun gaya yang sangat berbeda. Jika Rina menampilkan visual yang hyperrealis, Astuti justru sebaliknya. Objek-objek dalam kedelapan karya lukisan Astuti tersamarkan dalam sapuan-goresan kuasnya yang cenderung abstrak.

Setelah mulai kembali melukis dalam rentang waktu 2012-2016, tiga tahun terakhir Astuti cukup intensif berproses karya. Meskipun dikenal sebagai seniman otodidak, Astuti dikenal memiliki bakat seni rupa sejak masih usia belia. Pada tahun1985 Astuti sempat memperoleh penghargaan dari Shankar India atas karya lukisan dan melakukan pameran keliling ASEAN Children pada tahun yang sama. Meskipun dalam perjalanannya dia lebih memilih menjadi ekonom saat memutuskan untuk kuliah di fakultas ekonomi, kecintaannya pada dunia melukis tidak sepenuhnya hilang.

Setelah beberapa kali mengikuti pameran bersama, tahun 2017 Astuti menggelar pameran tunggal perdananya bertajuk Seratan Luru Raos di Bentara Budaya Yogyakarta disusul satu tahun kemudian dengan pameran tunggal keduanya di Jogja Gallery mengangkat tema Dalan Padhang. Awal tahun ini Astuti menggelar pameran tunggal ketiganya di Balai Soedjatmoko (Bentara Budaya Solo) dengan tajuk Gemati.

Menilik pada tema pameran tunggal serta karya yang dipresentasikan, ada benang merah Astuti secara konsisten mengeksplor nilai-nilai tradisi ke dalam karyanya. Setidaknya hal tersebut bisa dibaca dari pemilihan obyek karya-karyanya yang mengangkat khasanah wayang, peristiwa sehari-hari di lingkungan sekitarnya, hingga upaya melakukan deformasi bentuk-obyek binatang dalam satu tarikan cerita sehari-hari. Eksplorasi lainnya dilakukan Astuti dalam hal gradasi-kontur warna. Hasilnya ada perubahan yang cukup signifikan secara visual warna dalam karyanya dari waktu ke waktu.

Delapan karya yang dipresentasikan Astuti pada pameran Ugemi seluruhnya mengangkat nilai-nilai tradisi Jawa dengan obyek abstrak figur perempuan dalam karyanya. Pemilihan judul sebagai penegas visual karya menjadi upaya Astuti untuk konsisten dalam meng-ugemi nilai-nilai tradisi-budayanya seperti Tepa Selira, Lerem, Nyawiji, Sapa Sira Sapa Ingsun, Angon Mangsa, Sarimbit.

Dalam karya berjudul Anggara Kasih, Astuti melukiskan sembilan figur perempuan dominan dalam citraan warna terang kuning dan dibalut pinggiran warna gelap biru tua dalam sebuah laku ritual tari. Masyarakat Hindu Bali memaknai hari Anggara Kasih sebagai wujud cinta kasih kepada diri dan sesama manusia sehingga pada hari itu mereka dilakukan pembersihan diri dari segala kecemaran diri. Rahina Anggara Kasih demikian mereka menyebutnya sebagai hari suci belas kasih dan kebaikan.

Bagi masyarakat Jawa, Anggara Kasih salah satunya bermakna hari Selasa Kliwon juga identik dengan hari penuh kasih sayang. Masyarakat Jawa kerap melakoni ritual puasa 40 hari, utamanya masyarakat di lingkungan Kraton Yogyakarta. Biasanya, puncak puasanya terjadi pada Jumat dan Selasa Kliwon. Pesan kasih sayang itulah yang ingin disampaikan Astuti Kusumo melalui gerak harmoni yang dibawakan sembilan figur perempuan dalam lukisan berjudul Anggara Kasih.

Berbeda dengan karya Astuti dengan sapuan kuas abstrak, Rina Kurniyati membuat karya lukisan hyperrealis dengan objek otomotif (motor-mobil) kuno ataupun bagian-bagian kendaraan tersebut seperti dasbor, lampu, grill depan, spion, penutup velg dalam citraan metal-glossy. Pemilihan objek serta eksplorasi medium cat enamel di atas kaca semakin menguatkan visual karya hyperrealis yang dibuatnya.

Sebagaimana Astuti dalam berproses karya, Rina pun merupakan perempuan perupa yang belajar secara otodidak menggabungkan kecintaan pada karya sastra serta kendaraan (motor-mobil) kuno sebagai imajinasi rekonstruksi masa lalunya. Konsistensi pilihan pada medium-objek karya mengantarkan Rina berpameran tunggal pada tahun 2013 mengangkat tajuk Citra Aksara di Tirana House and Kitchen.

Dua tahun berikutnya Rina menggelar pameran tunggal di Joga Gallery dengan tema Insting Bening. Pada tahun 2016 dengan mengangkat tajuk Lengkung Cahaya, Rina menggelar pameran tunggal ketiganya di Visma Art Gallery Surabaya.

Pada sepuluh lukisan kaca tunggal dan satu lukisan kaca panel yang keseluruhannya berhubungan dengan otomotif, Rina menambahkan potongan-potongan puisi dari penyair-sastrawan Chairil Anwar, Pramoedya Ananta Toer, Sapardi Djoko Damono, Ahmad Mustofa Bisri, Subagio Sastrowardoyo, D. Zawawi Imron, Candra Malik.

Pada karya berjudul Sukarno in Rusia Rina tidak membuat kutipan potongan puisi. Begitupun pada karya panel berjumlah 15 lukisan dalam ukuran masing-masing 40 cm x 60 cm yang keseluruhan objeknya merupakan bagian dari mobil berupa lampu, grill depan, dan penutup velg. Pada karya panel tersebut Rina memberikan judul Senja di Pelabuhan Kecil, sebuah sajak cinta karya Chairil Anwar.

Potongan puisi dalam karya hyperrealis objek otomotif di atas kaca telah menjadi trademark karya Rina Kurniyati. Secara keseluruhan tidak ada pembacaan realitas pada karya Rina. Tarikan garis yang liris berpadu dengan potongan-potongan puisi menjadi salah satu konsen Rina menjaga konsistensi dalam karyanya tidak dalam sebuah emosi yang meledak-ledak. Ini menjadi semacam ikhtiar Rina dalam meng-ugemi proses berkaryanya.

Pilihan judul karya pun cukup sederhana semisal Memandangmu, Cermin, Besar, Jeda, Pagi, Mata Cinta, Refleksi #2, Senyum Merekah, 30 Derajat ke Kanan, yang keseluruhannya memotret suasana.

Secara visual karya Rina Kurniyati cukup menarik pengunjung untuk melihat detail karya. Penggunaan teknik melukis secara terbalik, pemilihan warna yang kadang bahkan tidak memiliki warna dasar sama sekali dengan gaya lukisan hyperrealis Rina seolah memindahkan objek lukisan di atas kaca dengan menggunakan cat enamel dan mencetaknya dengan menggunakan printer dalam warna, kontur, dan tekstur yang detail.

Pilihan tersebut relatif aman meskipun bukan tanpa risiko terlebih ketika Rina menggunakan objek otomotif kuno dalam citraan hyperrealis. Menengok sekilas karya Rina, khalayak seni rupa Yogyakarta atau bahkan Indonesia tentu akan merujuk pada karya-karya seorang seniman-perupa yang membuat karya tersebut dalam objek-citraan-gaya yang sama meskipun berbeda dalam pemilihan mediumnya yakni cat minyak di atas kanvas.

Pemilihan medium kaca yang rentan retak ataupun pecah pun menjadi risiko manakala karya lukisan kaca tersebut membentur benda keras, jatuh, ataupun tertimpa benda lainnya. Tentu Rina punya alasan tersendiri yang kuat tentang pemilihan medium tersebut.

Risiko berikutnya adalah menambahkan potongan puisi untuk memperkuat kesan bisa menjadi titik balik yang “mengganggu” manakala sesungguhnya tanpa teks pun visual karya sudah cukup kuat membahasakan dirinya.

Akan menjadi tawaran menarik sekiranya Rina bermain-main dalam judul karyanya tanpa harus menambahkan teks potongan puisi dalam lukisannya untuk sekadar menguatkan kesan visual karya. Anda bisa membayangkan karya Rina dengan potongan puisi Chairil Anwar berjudul Doa tanpa potongan puisi tersebut dan menggantikannya dengan judul 30 Derajat ke Kanan | Tuhanku, di pintu-Mu aku mengetuk.

Dalam citraan visual kemudi mobil kuno yang di belokkan ke kanan sebesar 30 derajat, hanya dengan membaca judul dan menyaksikan karya tanpa potongan tulisan puisi justru akan membawa imajinasi maupun interpretasi pengunjung yang beragam. Bisa jadi akan muncul pikiran lucu yang nakal : Tuhan ada di sebelah kananmu dalam arah 30 derajat.

Pameran tungal berdua dari dua perempuan perupa Astuti Kusumo dan Rina Kurniyati bertajuk "Ugemi" akan berlangsung hingga 4 November 2019 di Sangkring art project, Jalan Nitiprayan RT 1 RW 20 No 88 Ngestiharjo, Kasihan Bantul Yogyakarta.

 


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home