Loading...
EDITORIAL
Penulis: Redaksi Editorial 17:49 WIB | Rabu, 26 Agustus 2015

Imigran Limbah Pahit dari Perang?

Imigran dari negara yang dilanda konflik baru tiba di pantai Yunani, setelah menghindari jmaut di negara mereka yang dilanda perang, dan bahaya di perjalanan. Mereka masih menghadapi penolakan di negara tujuan. (Foto: dari UNHCR)

SATUHARAPAN.COM – Uni Eropa tengah dibanjiri migran dari Afrika Tengah dan Utara dan dari Timur Tengah, wilayah yang paling berdarah dilanda konflik dalam beberapa tahun terakhir. Para migran ditekan oleh peluru dan kematian di negeri mereka, dan melihat Eropa yang gemerlap. Namun perjalanan mereka ternyata juga perjalanan yang tidak kalah sulit.

Melarikan diri dari kematian akibat perluru dan konflik, banyak migran yang menghadapi kematian di dalam perahu yang sesak. Mereka juga menghadapi para calo dan ‘’pedagang manusia.’’ Di jalur barat, para migran menuju Prancis dan antara lain melalui Calais. Di Jalur tengah, mereka menggunakan perahu mencoba masuk Italia dan Yunani. Di jalur timur mereka melalui Serbia, Macedonia, dan Yunani.

Migran yang selamat masih menghadapi tantangan penutupan perbatasan, bahkan serangan gas air mata dari aparat di negara yang menolak kedatangan mereka.

Francois Crepeau, pelapor khusus PBB tentang hak-hak Migran mengatakan bahwa para migran menghadapai penutupan perbatasan, penggunaan gas air mata untuk mengusir mereka, dan kekerasan lain, termasuk penahanan, menghalangi akses untuk kebutuhan dasar berupa tempat tinggal, makanan dan air.

BACA JUGA:

Anti Migran

Para migran ini juga menghadapi ancaman berupa pernyataan kebencian, dan aksi anti migran. "Polisi memukuli kami dan menyemprotkan gas air mata ke kami," kata Hassan, satu di antara 5.000 migran yang masuk dari Serbia pada hari Minggu (23/8) kemudian ke Macedonia dan berusaha masuk Yunani, seperti dikutip Reuters.

Di  kota kecil Nauen, sekitar 15 menit perjalanan dari Berlin, Jerman, bangunan yang disiapkan untuk penampungan sementara para migran dan pencari suaka, pada hari Selasa (25/8) terbakar. Situs berita Jerman Deutshce Welle menyebutkan, sedianya sekitar 130 orang migran sebagai rombongan pertama yang akan ditampung di fasilitas tersebut.

Ada indikasi bahwa fasilitas itu dibakar sebagai pernyataan atas penolakan pada para migran yang datang dari negara negara yang dilanda konflik bersenjata. Selain itu kebencian terhadap migran juga mulai meningkat. "Hujan bom di sana. (Oleh) ISIS (ekstremis dari negara Islam Irak dan Suriah), tentara Suriah... kematian di mana-mana di Suriah," kata seorang imigran dari kota Hama, Suriah.

Para migran sering dikaitkan dengan masalah kriminal, pencari suaka terselubung, dan pernyataan sebagai cara untuk menolak legitimasi pencari suaka dan klaim hak asasi manusia. Bahkan juga mengaitkan mereka dengan ‘’limbah’’ dan bahaya dari bencana perang di negara mereka.

Kecamanan UNHCR

Arus deras migran ke Eropa dari negara-negara konflik, dan penolakan pada para migran telah mengundang kecaman dari badan PBB untuk pengungsi, UNHCR. Pengendalian perbatasan di Uni Eropa disebutkan tidak bekerja dengan baik berdasarkan hak asasi manusia.

"Kedaulatan Teritorial adalah tentang mengendalikan perbatasan, mengetahui yang datang dan yang meninggalkan. Ini tidak boleh tentang penyegelan perbatasan untuk migrasi," kata pelapor khusus UNHCR, Francois Crepeau.

UNHCR mengharapan program pembangunan fasilitas untuk pemukiman sementara bagi migran dan pencari suaka, di mana hak asasi manusia dihargai dan kontrol terhadap perbatasan tetap dikendalikan oleh negara. Namun sejauh ini masalah migran di Eropa belum mendapatkan pemecahan masalah. Arus migran makin deras di musim panas ini, dan penolakan semakin keras.

Sumber Konflik

Masalah migran ini memang tidak bisa dilihat hanya sebagai tantangan untuk memberi fasilitas penampungan bagi mereka dan mengatasi sentimen kebencian dari masyarakat Eropa. Sebab, sumber masalah tetaplah pada konflik dan politik sektarian di negeri mereka yang tidak kunjung diselesaikan, bahkan cenderung mengeras.

Masalah ini tampaknya tidak hanya akan terbatas pada arus migran dari Afrika Utara dan Tengah serta Timur Tengah ke Eropa, tetapi akan terjadi di mana saja. Polanya memperlihatkan dari negara yang dilanda konflik, terutama didasari politik sektarian yang juga membuat ekonominya morat-marit, menuju ke negara yang demokratis, dan karenyanya dilandasi penghargaan pada HAM dan secara ekonomi lebih baik.

Oleh karena itu, masalah ini harus menyadarkan pada kenyataan tentang perlunya memadamkan konflik sektarian dan membangun landasan penghargaan HAM, serta demokrasi, dan dengan diimbangi memperkecil gap kesejahteraan secara global.

Tanpa menutup mata pada tantangan mendesak di antara ratusan ribu migran yang terlantar di jalanan Eropa, upaya untuk jangka panjang ini tidak bisa diabaikan. Masalahnya ada pada kepemimpinan negara-negara yang tengah dilanda konflik itu untuk menemukan penyelesaian secara dama.


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home