Loading...
EKONOMI
Penulis: Bob H. Simbolon 19:30 WIB | Kamis, 20 Oktober 2016

Indef: Indonesia Belum Mandiri Ekonomi

Direktur SDM Perum Bulog Wahyu Suparyono melihat berbagai komoditas bahan pokok saat meresmikan Rumah Pangan Kita (RPK) di SMK Negeri 2 Magelang, Jateng, Rabu (19/10). Perum Bulog menargetkan 50.000 RPK di seluruh Indonesia yang bertujuan untuk menstabilkan harga kebutuhan pokok di masyarakat terutama beras, gula pasir, minyak dan tepung (Foto: Antara)

JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Institute for Development of Economics and Finance (Indef) menilai salah satu visi Nawacita yakni kemandirian ekonomi, belum terwujud selama dua tahun pemerintahan Presiden Joko Widodo. Ini terlihat dari tiga sektor yaitu pangan, energi dan produk konsumsi atau manufaktur.

"Beras tahun lalu kita masih impor senilai 351 juta dolar AS, sedangkan pada bulan Januari hingga bulan Juli tahun 2016 Indonesia sudah impor sejumlah 477 dolar AS. Bisa diprediksi nilai impor beras Indonesia akan terus meningkat sampai akhir tahun," kata peneliti Indef Ahmad Heri Firdaus dalam sebuah diskusi di Jakarta, pada hari Kamis (20/10).

Berdasarkan data Indeks Ketahanan Pangan Global pada tahun 2016, Indonesia menduduki peringkat 71 dari 113 negara yang disurvei, sementara Malaysia peringkat 35, Thailand peringkat 51, dan Vietnam peringkat 57.

Dalam sektor energi, Badan Pusat Statistik mencatat volume impor migas terus meningkat 0,67 persen dari 36.394 ton pada bulan Januari hingga bulan September pada tahun 2015 menjadi 36.639 ton pada periode yang sama tahun 2016.

Impor migas didominasi hasil minyak sebesar 18.008 ton atau 15,81 persen dari total impor Indonesia pada tahun 2016.

"Neraca energi kita sangat miris karena sebagai negara penghasil energi seperti batu bara dan gas alam, Indonesia justru mengimpor energi olahan seperti LNG. Sebanyak 70-80 persen gas alam mentah diekspor ke luar negeri dan untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri kita harus impor LNG," kata Heri.

Selain ketergantungan terhadap impor pangan dan energi, pasar Indonesia semakin diserbu oleh produk industri negara lain. 

Temuan ini ditunjukkan dengan melonjaknya impor barang konsumsi yang meningkat 12,08 persen sepanjang Januari-September 2016, sementara impor bahan baku dan barang modal menurun masing-masing 9,8 persen dan 12,6 persen.

"Penurunan impor bahan baku dan barang modal harus dicermati, ini artinya ada dugaan bahwa industri manufaktur Tanah Air mengalami kontraksi atau perlambatan. Hal ini dikonfirmasi dengan ekspor hasil industri yang turun 9,41 persen," kata dia.

Indef juga menyoroti lemahnya strategi atau kebijakan pengamanan pasar domestik yang tercermin dari kuantitas hambatan non-tarif (NTM). 

Jika dibandingkan dengan Amerika Serikat atau China yang masing-masing memiliki 4.780 dan 2.194 jenis NTM, Indonesia jauh lebih sedikit dengan hanya 272 jenis NTM sehingga aliran impor barang konsumsi cenderung deras dan daya saing industri domestik menjadi lemah.

"Kita harus mengamankan pasar domestik untuk membela produsen dalam negeri yang jumlahnya sangat banyak. Jangan sampai pengusaha manufaktur beralih jadi pedagang atau importir," tutur Heri. (Ant)

Editor : Diah Anggraeni Retnaningrum


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home