Loading...
OPINI
Penulis: Rumadi 00:00 WIB | Senin, 29 September 2014

Indonesia Pasar Ideologi

SATUHARAPAN.COM – Di tengah fragmentasi ideologi gerakan Islam di berbagai belahan dunia, ada perntanyaan yang terus menggelayut di benak kita: mengapa Indonesia mudah menjadi pasar ideologi gerakan Islam? Pertanyaan yang selalu muncul dalam berbagai pertemuan ini wajar saja karena Indonesia sekarang ini bukan saja menjadi pasar pasar barang dan jasa yang menggiurkan, tapi juga menjadi pasar ideologi yang menjanjikan. Hampir semua ideologi gerakan Islam dari luar bisa masuk dan tumbuh di Indonesia.

Singkatnya, orang mau “jualan’ ideologi apapun pasti akan laku, punya pengikut. Sayangnya, banyak ideologi keagamaan yang menghalalkan kekerasan juga diterima. Sebagian besar, kalau tidak dikatakan seluruh, ideologi yang menghalalkan kekerasan merupakan gerakan transnasional yang juga diimpor ke Indonesia.

Hal ini menjadi pertanyaan yang menggelisahkan karena selama ini sudah dibangun narasi besar bahwa Islam masuk dan berkembang di Indonesia adalah Islam yang damai, digerakkan para sufi, tak ada darah menetes. Hal ini berbeda dengan sejarah Islam di belahan dunia lain yang melibatkan pedang dan cucuran darah.

Dalam waktu yang lama, narasi ini nyaris tidak mendapat tantangan berarti. Namun, seiring dengan proses demokratisasi yang terjadi di Indonesia, narasi tentang Islam Indonesia adalah Islam damai mendapat tantangan yang luar biasa. Meskipun ideologi Islam damai yang bisa menerima Pancasila masih dominan, tapi kini dihadapkan dengan kekuatan-kekuatan baru yang bukan hanya ingin mengganti ideologi Pancasila, tapi juga menghalalkan kekerasan untuk tujuan tersebut.

Perubahan-perubahan tersebut  bukan semata-mata karena pergumulan internal bangsa Indonesia, tapi dalam banyak hal dipengaruhi perkembangan dalam skala internasional.  Persoalan utamanya senantiasa terkait dengan persoalan politik dan kekuasaan, bukan persoalan agama semata.

Islam Politik sebagai Power Struggle

Sudah sejak lama Islam tidak bisa dilepaskan dari persoalan politik dan kekuasaan. Karena itu, Islam politik sebenarnya merupakan gejala politik-keagamaan yang tak bisa dipisahkan dari konteks power struggle, yaitu upaya untuk memperebutkan kekuasaan. Di dalam proses power struggle terjadi perkawinan yang sempurna antara politik dan agama. Hasrat politik yang berupaya menempatkan Islam dalam lingkar kekuasaan negara, sebagai sistem yang mengatur semua aspek kehidupan, termasuk norma hukum, sosial-budaya, sistem ekonomi, dan tata hubungan internasional, mendapatkan legitimasinya dalam bahasa agama.

Pasca runtuhnya Turki Usmani pada 1924, tonggak perkembangan Islam politik sendiri berlangsung menyusul kekalahan dunia Arab dari Israel pada Perang 1967. Kekalahan ini menyadarkan banyak Muslim akan kerapuhan rezim-rezim yang berkuasa di negara-negara mereka. Janji-janji pembangunan yang didengungkan ternyata berbuah konflik, kekacauan, pengangguran, korupsi, kolusi, dan nepotisme. Sejak saat itu muncul keyakinan kuat bahwa Islam adalah solusi dari semua kekacauan itu. Slogan “Islam is the solution” mulai bergema kuat di berbagai belahan dunia Islam. Dari perspektif ini, Islam politik muncul sebagai kritik atas kegagalan rezim-rezim tersebut untuk memenuhi janji-janji dan harapan yang pernah mereka lambungkan.

Seluruh gerakan keagamaan, termasuk gerakan Islamic State of Iraq and Syiria (ISIS) yang belakangan menghebohkan dunia dan mulai punya banyak pengikut di Indonesia, tidak lepas dari  suasana politik seperti itu. Jika kekecewaan-kekecewaan tersebut tidak mendapatkan penyelesaian yang tuntas dan adil, situasi ketidakpastian dan kekerasan akan terus berlangsung.

Islam politik sebagai power struggle ini bisa sukses dalam melakukan aksi-aksi kolektifnya, dalam teori gerakan sosial, bila ditopang tiga konsep kunci: 1) struktur politik yang memberi kesempatan (political opportunity structure) kunculnya gerakan tersebut; 2) struktur mobilisasi (mobilizing structures); dan 3) pembingkaian aksi (framing).

Konsep struktur kesempatan politik menjelaskan, munculnya gerakan sosial seringkali dipicu oleh perubahan-perubahan signifikan yang terjadi dalam struktur politik dalam sebuah wilayah. Karena itu, meredupnya gerakan itu juga biasanya berhubungan dengan pergeseran-pergeseran yang terjadi di dalamnya. Dengan kata lain, struktur kesempatan politik berdampak mempercepat terjadinya ataupun mengakhiri aksi kolektif.

Namun, struktur kesempatan politik saja tidak cukup mendorong terjadinya aksi kolektif. Ia harus ditopang oleh struktur mobilisasi yang biasanya berakar dalam jaringan-jaringan sosial yang sudah terbangun sebelumnya. Melalui jaringan itu massa dan simpatisan direkrut dan dimobilisasi. Keberadaan jaringan rekruitmen menjadi penentu dalam proses pelibatan individu.

Mobilisasi tersebut tidak berlangsung dalam ruang hampa. Dalam proses memobilisasi massa, aktor-aktor gerakan tersebut biasanya membingkai aksi-aksi yang mereka rencanakan dengan slogan-slogan dan bahasa yang mudah dipahami dan menggerakkan sentimen mereka. Gerakan keagamaan radikal tentu saja akan melakukan framing dengan bahasa-bahasa agama yang menjanjikan surga dan kebahagiaan.

Di sinilah arti penting framing sebagai seni mengkomunikasikan pesan untuk menggerakkan audien dan memompa dukungan serta partisipasi. Ideologi, sebagai sistem kepercayaan, ide, nilai, dan makna, akan bekerja dengan efektif jika ditopang oleh framing yang meyakinkan.

Bagaimana Indonesia?

Kerangka analisis tersebut mengindikasikan, Indonesia tampaknya memenuhi prasyarat tersebut. Tumbuh dan berkembangnya ideologi radikal di Indonesia karena struktur kesempatan politik Indonesia memberi ruang, terutama setelah ruang demokrasi dibuka sedemikian lebar.

Dalam kaitan ini ada beberapa hal yang bisa dijelaskan. Pertama, meskipun tidak pernah menjadi arus utama, namun gerakan keagamaan yang menghalalkan kekerasan sudah sejak lama tumbuh di Indonesia. Ideologi ini biasanya dirawat dengan pertemuan-pertemuan kecil (halaqah) sambil menunggu momentum politik yang memungkinkan mereka maju dan bergerak. 

Kedua, sejarah Indonesia bukan hanya sejarah damai, tapi juga ada episode perang dan kekerasan. Demikian juga dengan sejarah Islam di Jazirah Arab, tidak hanya sejarah penyebaran agama, tapi juga sejarah perang dan kekerasan. Karena itu, menghilangkan unsur yang disebut terakhir dari agama nyaris tidak mungkin. Episode perang dan kekerasan inilah yang sering digunakan sebagai legitimasi bahwa apa yang mereka lakukan bukanlah tindakan yang ahistoris dan illegal dari sisi agama.

Ketiga, Indonesia kini menjadi bangsa yang sangat terbuka dengan ideologi luar, nyaris tanpa filter. Namun, ideologi dari luar tersebut tidak bisa tumbuh jika tidak ada komunitas yang menjadi tempat bersemayam ideologi tersebut. Sayangnya, di Indonesia banyak kelompok keagamaan yang dengan sukarela menjadi tempat bersemayamnya ideologi radikal yang merusak bangsa.

Keempat, masyarakat Indonesia pada dasarnya memang toleran, moderat, dan anti kekerasan. Namun, masyarakat kita banyak yang tidak kritis dan mudah terbuai dengan framing yang dilakukan kelompok-kelompok radikal. Akibatnya, masyarakat kita tidak punya daya tahan yang kuat dari pengaruh ideologi radikal.

Berangkat dari persoalan di atas, maka upaya untuk menghentikan agar Indonesia tidak menjadi pasar ideologi radikal. Jika tidak dilakukan dengan serius, bukan tidak mungkin arus utama masyarakat Indonesia yang toleran dan moderat akan diganti oleh wajah keberagamaan yang sebaliknya. Kita beruntung punya organisasi keagamaan seperti NU dan Muhammadiyah yang sudah membuktikan perannya sebagai penjaga moderatisme Islam Indonesia. Karena itu, NU dan Muhammadiyah --bersama dengan elemen bangsa yang lain—menjadi ujung tombak untuk menangkal virus radikalisme.

Kasus ISIS bisa menjadi pelajaran penting. Seluruh elemen bangsa bergerak bersama untuk menangkal. Hal ini menunjukkan bahwa bangsa ini memang tidak suka dengan ideologi kekerasan, termasuk yang dibungkus dengan jubah agama.  

 

Penulis adalah Dosen FSH UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Peneliti Senior the WAHID Institute 


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home