Loading...
SAINS
Penulis: Kartika Virgianti 21:15 WIB | Selasa, 26 Agustus 2014

Indonesia Tak Mau Ratifikasi FCTC, Muncul RUU Pertembakauan

Para narasumber dalam seminar (dari kiri ke kanan) Wakil Pemimpin Redaksi KBR, Rony Sitanggang, Pakar Hukum Indonesia Lawyers Association on Tobacco Control, Muhammad Joni, dan Irwan Julianto sebagai moderator. (Foto: Kartika Virgianti)

JAKARTA, SATUHARAPAN.COM – Lebih dari 90% negara telah di dunia telah meratifikasi perjanjian internasional Kerangka Kerja Pengendalian Tembakau atau sering disebut Framework Convention on Tobacco Control (FCTC). Ironisnya, Indonesia yang bahkan tidak mau meratifikasi FTCT, justru muncul Rencana Undang-Undang (RUU) tentang Pertembakauan, diduga UU itu diajukan oleh industri rokok untuk menandingi UU No. 36 Kesehatan Tahun 2009.

RUU Pertembakauan muncul ke permukaan tak lama setelah Mahkamah Konstitusi (MK) pada September 2012 lalu memutuskan hasil judicial review MK terhadap Pasal 113 ayat (2) UU No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan yang menyatakan bahwa tembakau sebagai zat adiktif tetap berlaku.

Gagasan tersebut disampaikan dalam acara seminar dan diskusi forum editor “FCTC vs RUU Pertembakauan” di Grand Sahid Jaya Hotel, Sudirman, Jakarta Pusat, Selasa (26/8).

Hampir seluruh negara-negara di dunia telah meratifikasi FCTC sebagai upaya melindungi bangsanya dari dampak buruk konsumsi produk tembakaudan asap rokok. Namun Indonesia adalah satu-satunya negara di Asia Pacific yang menolak FCTC.

Direktur Pengendalian Penyakit Tidak Menular, Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan (Ditjen PP dan PL) Kementerian Kesehatan (Kemenkes) RI, Ekowati Rahajeng mengatakan FCTC dianggap mengurangi pendapatan petani tembakau, atau akan mengurangi pendapatan industri tembakau.

“Sampai pertengahan tahun 2014, dukungan terhadap rencana Indonesia untuk menan FCTC, DPR RI telah mengirimkan surat kepada presiden agar mengurungkan rencana menerima FCTC. Di sisi lain, Ketua DPR RI telah menyampaikan RUU Pertembakauan kepada presiden. Tetapi kami (Kemenkes, Red) telah meminta kepada presiden untuk tidak melanjutkan RUU Pertembakauan,” kata Ekowati saat menjadi keynote speaking dalam seminar tersebut.

Pemerintah pusat sudah mempunyai peraturan yaitu PP No. 109 yang sudah mendapat dukungan dari semua sektor di kementerian. Dan dikatakan Ekowati, bahwa sudah diadakan pertemuan lintas kementerian, advokasi di sektor pemerintahan, dan sosialisasi kepada masyarakat luas.

“Semua kementerian sepakat untuk menolak RUU Pertembakauan, memang yang diberikan otoritas untuk mengkoordinir adalah Kemenkes dengan semua perwakilannya untuk mengirimkan surat kepada presiden agar tidak melanjutkan RUU tersebut,” kata Ekowati.

Sayangnya, Kemenkes enggan memberikan target kepada presiden untuk memutuskan berlanjut atau tidaknya RUU pertembakauan tersebut.

Mantan Ketua Umum Ikatan Dokter Indonesia (IDI), Priyo Sidipratomo dengan tegas menyatakan RUU pertembakauan adalah upaya melindungi industri rokok.

“Larangan bahaya merokok hanya ditulis dengan kata-kata, padahal negara lain sudah menggunakan gambar untuk pelarangan merokok. Secara psikologis, gambar lebih mudah dicerna oleh masyarakat. Ini tidak sesuai dengan PP No. 109 yang merupakan turunan dari UU No.36 tentang Kesehatan,” jelas Priyo.

Sejatinya, pendapatan petani tembakau berkurang hanyalah sebuah dalih. Pada kenyataannya, seperti disampaikan Wakil Pemimpin Redaksi KBR, Rony Sitanggang, bahwa seberapa pun besar keuntungan perusahaan rokok, petani tembakau senantiasa hidup dalam kemiskinan, bahkan hanya bisa makan dua kali sehari.

Hal itu karena panjangnya rantai perdagangan tembakau itu sendiri. Dari petani, tembakau hanya dihargai Rp 6.000 per kilogram oleh tengkulak. Belum lagi panjangnya rantai tengkulak sebelum sampai ke industri rokok.

Editor : Bayu Probo


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home