Loading...
HAM
Penulis: Prasasta Widiadi 10:42 WIB | Kamis, 23 Februari 2017

Indonesia Tidak Konsisten Menggunakan Perspektif HAM

Dari kiri ke kanan : peneliti dari Amnesty International, Papang Hidayat, Direktur Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), Supriyadi W. Eddyono, dan ahli kriminologi Universitas Indonesia (UI), Eva Ahjani Zulfa dalam diskusi Seri Demokrasi : Miskonsepsi dan Misinterpretasi Makar, di Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta, hari Rabu (22/2). (Foto: Prasasta Widiadï)

JAKARTA, SATUHARAPAN.COM – Peneliti Amnesty International Papang Hidayat mengatakan, pemerintah Indonesia tidak konsisten dalam menggunakan perspektif  Hak Asasi Manusia (HAM).

"Ini bermasalah. Indonesia selalu menampilkan sebagai negara demokrasi yang menghargai HAM tapi rekomendasi dari badan-badan HAM resmi yang Indonesia ikuti itu engak pernah diimplementasikan," kata Papang dalam diskusi Seri Demokrasi : Miskonsepsi dan Misinterpretasi Makar, di Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta, hari Rabu (22/2).

Papang menjelaskan sikap tidak konsisten tersebut ditunjukan dengan kurang menghargai badan HAM Internasional. “Padahal dimana-mana kita mengatakan negara kita adalah negara demokrasi yang mengedepankan HAM,” kata dia.  

Papang menjelaskan salah satu langkah paling mudah, menurut dia, dalam menegakkan Hak Asasi Manusia yakni saat ini sudah saatnya pemerintah melakukan revisi pasal makar dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP).

Dia menilai ketentuan makar tidak sesuai dengan ketentuan HAM internasional karena berpotensi untuk mengkriminalisasi kebebasan berekspresi.

Papang menuturkan, Dewan HAM PBB telah menyampaikan pasal makar bermasalah saat berkunjung ke Indonesia atas undangan pemerintah pada tahun 1999. Hal itu juga disampaikan dalam laporan Universal Periodic Review (UPR) Hak Asasi Manusia (HAM) yang terbit setiap tahun.  

Papang mengkhawatirkan terjadi tren penggunaan pasal makar. Dia mengingat salah satu penggunaan pasal tersebut adalah saat sejumlah aktivis di Ambon, Maluku melakukan tarian cakalele yang dianggap pemerintahan Mantan Presiden, Susilo Bambang Yudhoyono sebagai tindakan makar.

“Sebuah ekspresi hanya bisa dibatasi, jika mengandung unsur kebencian atas nama bangsa, agama, ras atau etnis yang merupakan bagian dari hasutan yang mendorong orang atau publik melakukan kekerasan,” kata dia.

 

Editor : Eben E. Siadari


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home