Loading...
SAINS
Penulis: Kartika Virgianti 20:55 WIB | Rabu, 27 Agustus 2014

Indonesia Tujuan Pasar Industri Rokok Negara di Dunia

Gambar kemasan rokok di Singapura. (Foto: dok. WHO)

JAKARTA, SATUHARAPAN.COM –  National Professional for Tobacco Free Initiative World Health Organization (WHO), Dina Kania mengatakan mengendalikan tembakau perlu diatur secara internasional, mengingat globalisasi telah memfasilitasi penyebaran tembakau, melalui liberalisasi perdagangan tembakau lintas negara, mobilitas sosial, pemasaran global dan investasi asing, sampai perdagangan ilegal.

“Perusahaan rokok menggencarkan strategi marketing yang lintas batas negara, bukan hanya di negara asal mereka. Pengendalian tembakau tidak cukup diatur secara domestik, peraturan domestik tidak dapat menjangkau lintas batas,” ungkap Dina dalam acara seminar dan diskusi forum editor FCTC vs RUU Pertembakauan di Grand Sahid Jaya Hotel, Sudirman, Jakarta Pusat, Selasa (26/8).

Oleh sebab itu perlunya perjanjian internasional Kerangka Kerja Pengendalian Tembakau atau sering disebut Framework Convention on Tobacco Control (FCTC) diratifikasi Indonesia. Pasal-pasal dari FCTC khusus mengatur pengendalian tembakau.

Saat ini, berdasarkan data WHO yang disampaikan Dina, sudah ada 178 negara di dunia (sekitar 88% negara dunia) menjadi pihak FCTC. Negara pihak berarti negera yang telah menandatangani FCTC kemudian meratifikasi (mengadopsi instrumen hukum internasional menjadi hukum nasional yang mengikat secara hukum).

WHO FCTC telah menetapkan pengendalian tembakau sebagai prioritas dalam kesehatan masyarakat. FCTC adalah produk dari komitmen global untuk mengatasi secara bersama-sama penyebaran tembakau.

“Yang diperlukan untuk meratifikasi FCTC hanya kehendak politik (political will). Kita lihat China termasuk produsen daun tembakau tertinggi di dunia, kita juga tahu tentunya ada pergolakan politik di negara mereka, tetapi pada akhirnya keberpihakan kepada kesehatan masyarakat itulah yang menang,” jelas Dina.

Kemudian dia menguraikan, delapan negara yang belum menandatangani FCTC berturut-turut adalah Andorra, Eritrea, Indonesia, Liechtenstein, Malawi, Monaco, Somalia, Zimbabwe.

Indonesia saat ini mengalami double burden, yaitu menerima produk tembakau dari dalam negeri dan juga dari luar. Indonesia adalah salah satu dari 10 negara dengan produksi rokok tertinggi di dunia, dan negara ke-3 konsumsi rokok tertinggi di dunia.

Kita tahu perusahaan terbesar di Indonesia, PT Philip Morris International (PMI) Sampoerna, yang notebene dulunya milik HM Sampoerna sekarang sudah dibeli oleh asing. Perusahaan rokok itu di Amerika Serikat diusir, tetapi di Indonesia justru dapat surga.

“Sebenarnya kalau presiden SBY saat ini bisa meratifikasi FCTC, kenapa harus menunggu pemerintah mendatang. Saya beri contoh di Thailand, pada tahun 1999 prevalensi merokok di kalangan laki-laki 59%, tahun 2011 prevalensinya 40%, jadi memang butuh bertahun-tahun untuk menurunkan jumlah prevalensi perokok. Kalau ada kemauan, Indonesia bisa memulainya dari sekarang,” jelas Dina.  

Sayangnya, WHO yang upayanya menghambat laju pertumbuhan perokok melalui FCTC, mandatnya hanya bekerja dengan pemerintah, dan sama sekali tidak berinteraksi dengan produsen rokok.

“Yang kami lakukan hanyalah memberikan technical support kepada Kemenkes,” kata dia.

Mungkin masih ada beberapa orang di pemerintah yang mengaggap FCTC adalah ancaman bagi petani tembakau. Perlu diketahui, jika Indonesia menjadi anggota FCTC, kita memiliki hak untuk berpartisipasi dalam konferensi para pihak.

Tetapi ketika Indonesia tidak menjadi anggota, kita kehilangan kesempatan untuk duduk, berunding bersama negara-negara di dunia untuk menyampaikan kepentingan Indonesia. Selama ini dalam konferensi-konferensi terkait tobacco control, Indonesia hanya sebagai observer, tidak punya suara, tidak bisa memperjuangkan kepentingan Indonesia, dan menjadi terkucilkan dari pembuatan kebijakan dalam skala internasional.

Editor : Bayu Probo


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home