Loading...
SAINS
Penulis: Ignatius Dwiana 14:53 WIB | Minggu, 14 April 2019

Industri Garam vs Mangrove di Malaka

Plang milik PT IDK di lokasi tambak garam (Foto: jpicofmindonesia.com )

MALAKA, SATUHARAPAN.COM -  Tarik menarik terjadi antara industri garam dan keberadaan mangrove di Malaka, Nusa Tenggara Timur (NTT). Pasalnya, keberadaan hutan mangrove dinilai dirusak dengan hadirnya korporasi yang bergerak di bidang industri garam.

Tim advokasi lingkungan yang terdiri atas Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) NTT dan Justice, Peace, and Integration of Creation - Ordo Fratrum Minorum (JPIC OFM) Indonesia melaporkan perusakan mangrove yang dilakukan PT Inti Daya Kencana (PT IDK) ke kantor Polda NTT pada 27 Maret 2019.

Kerusakan terjadi di Desa Weoe dan Desa Weseben Kecamatan Wewiku seluas lebih kurang 200 ha, Desa Motaain Kecamatan Malaka Barat seluas 10 ha, dan Desa Rebasa Wemian Kecamatan Malaka Barat seluas 32 hektar.

Pengaduan itu turut didampingi IRGSC (Institute Resource of Governance and Social Change) dan JRUK (Jaringan Relawan untuk Kemanusiaan) Kupang. Tuduhannya melanggar UU No 27/2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil, UU No 41/1999 tentang Kehutanan dan UU No 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.

Direktur JPIC OFM Indonesia, Pater Alsis Goa OFM menegaskan bahwa setiap proses pembangunan yang dilakukan hendaknya berorientasi pada kesejahteraan masyarakat dan tidak mengabaikan kondisi ekologis, budaya dan sosial masyarakat, serta aturan perundang-undangan.

Tetapi hal ini diabaikan PT IDK. Tanpa mengantongi amdal (Analisis Mengenai Dampak Lingkungan) telah melaksanakan aktivitas industri garam berupa penebangan dan pembabatan hutan mangrove.

Manfaat Positif Mangrove

Mangrove dinilai banyak bermanfaat. Karena itu ketika terjadi penebangan dan pembabatan hutan mangrove maka menuai protes dari para pelajar, mahasiswa, dan intelektual, seperti terjadi di Yogyakarta.

“Mangrove merupakan berkah baik bagi orang Malaka maupun Nusa Tenggara Timur. Tidak pantas berkah ini kita hancurkan hanya untuk kepentingan sesat sesaat,” kata Koordinator Umum Aksi Solidaritas Masyarakat NTT untuk Malaka, Jack Fahik, di Joglo Aquinas Yogyakarta Kamis (28/3), dalam siaran pers PMKRI Yogyakarta dan jpicofmindonesia.com.

Mangrove bagi orang Malaka adalah tumbuhan yang mampu memperluas daratan dan memberikan manfaat yang besar bagi masyarakat. Orang Malaka mengistilahkannya “rai tara kelen no kamelin” yang berarti “tanah yang tersangkut pada sesuatu.“

Kebaikan lain dari mangrove yakni menyerap karbon dioksida, menahan angin deras dari laut, dan menahan pukulan ombak yang keras. Mangrove juga obat. Daunnya adalah obat yang mujarab untuk menyembuhkan luka gigitan naibei atau buaya dan juga untuk menyembuhkan patah tulang.

Sementara pembangunan investasi garam di Malaka dinilai Jack Fahik merusak alam sehingga akan memperburuk situasi masyarakat itu sendiri. Dia juga mempertanyakan kecenderungan pembangunan yang hanya berpihak pada kepentingan korporasi.

Akademisi Niko Loin menandaskan sebuah pembangunan juga harus mempertimbangkan Natural Capital Stock (NCP). “NCP adalah modal alam. Yakni berupa cadangan sumber daya alam itu sendiri. Misalnya cadangan ikan, kepiting, dan udang yang tersisa sebelum dan sesudah pembabatan mangrove. Demikian juga pemandangan. Gap antara yang diambil dan cadangan alam tidak terlalu diperhitungkan dalam sebuah pembangunan. Padahal pembangunan yang ideal harus mempertimbangkan NCP tersebut.”

Ketua Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia (PMKRI) Santo Thomas Aquinas Cabang Yogyakarta Astra Tandang juga mengajak semua organisasi mahasiswa untuk membangun kolektivitas gerakan dalam menentang perusakan lingkungan.

Tanggapan Gubernur

Terkait polemik di Malaka itu, Gubernur NTT Viktor Laiskodat di bulan April ini sudah menyampaikan permintaan maaf. Terutama kepada warga Malaka. Khususnya warga terdampak. Karena laporan yang diterimanya disebutkan persoalan teknis di lapangan dan persoalan sosial terutama pembebasan lahan telah selesai diproses.

“Saya salah dan minta maaf, saya kira persoalan sosial di lapangan telah selesai. Ternyata tidak, setelah saya mendapatkan data dari Walhi.”

Permintaan maaf Gubernur NTT ini pun diapresiasi Walhi NTT dan JPIC OFM Indonesia. Sebagai salah satu bentuk pengakuan bahwa pemerintahan ini masih banyak kelemahan yang perlu dibenahi.

Gubernur juga menyatakan setiap investasi yang merugikan masyarakat tidak layak untuk dikembangkan di NTT. Masyarakat perlu diberdayakan dalam setiap investasi jenis apapun. 

 

 

Editor : Sotyati


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home