Loading...
SAINS
Penulis: Dewasasri M Wardani 15:57 WIB | Kamis, 20 September 2018

Investigasi Greenpeace Perusahaan Dunia masih Terkait Perusakan Hutan di Indonesia

Ilustrasi. Para peneliti Greenpeace menyelidiki 25 produsen minyak sawit yang paling terkenal di Asia Tenggara. dan telah menghancurkan lebih dari 130.000 hektar hutan hujan sejak 2015, 40 persen deforestasi berada di Papua Indonesia, sebagai salah satu wilayah yang paling banyak memiliki keanekaragaman hayati di dunia. (Foto: greenpeace.org)

JAKARTA, SATUHARAPAN.COM –  Penyelidikan terbaru Greenpeace International mengungkapkan, sejumlah perusahaan pemasok minyak sawit telah menghancurkan area hutan, hampir dua kali ukuran Singapura dalam waktu kurang dari tiga tahun. Pasokan sawit mereka masih digunakan untuk merek-merek terbesar dunia seperti Unilever, Nestle, Colgate-Palmolive, dan Mondelez.

Greenpeace International menilai, praktek deforestasi yang dilakukan oleh 25 produsen minyak sawit utama dan menemukan bahwa,  25 grup industri kelapa sawit tersebut telah menggunduli lebih dari 130.000 hektar hutan sejak akhir 2015,  40 persen deforestasi (51.600 hektar) berada di Papua Indonesia,  sebagai salah satu wilayah yang paling banyak memiliki keanekaragaman hayati di dunia, dan belum tersentuh oleh industri minyak sawit hingga baru-baru ini

12 merek yang memperoleh pasokan dari setidaknya 20 grup minyak sawit antara lain: Colgate-Palmolive, General Mills, Hershey, Kellogg’s, Kraft Heinz, L'Oreal, Mars, Mondelez, Nestle, PepsiCo, Reckitt Benckiser, dan Unilever. Wilmar, pedagang minyak sawit terbesar dunia, membeli dari 18 pemasok diantara 25 grup minyak sawit tersebut.

Investigasi ini menunjukkan, kegagalan total Wilmar International yang merupakan pedagang minyak sawit terbesar di dunia, untuk memutuskan hubungan dengan perusakan hutan.

Pada 2013, Greenpeace International mengungkapkan, bahwa Wilmar dan pemasoknya bertanggung jawab atas deforestasi, penebangan ilegal, kebakaran di lahan gambut, dan pembukaan habitat harimau secara ekstensif.

Belakangan, pada tahun yang sama, Wilmar mengumumkan kebijakan NDPE atau kebijakan 'tanpa deforestasi, tanpa pembukaan gambut, tanpa eksploitasi'.

Namun, analisis Greenpeace menemukan, bahwa Wilmar masih mendapatkan minyak sawit dari kelompok-kelompok perusahaan yang menghancurkan hutan, dan melakukan penyerobotan lahan dari komunitas lokal.

“Minyak sawit dapat diproduksi tanpa merusak hutan. Tetapi investigasi kami menunjukkan bahwa perdagangan minyak sawit Wilmar, masih terkontaminasi sepenuhnya dengan perusakan hutan. Merek-merek rumah tangga seperti Unilever, Nestle, Colgate-Palmolive, dan Mondelez berjanji kepada pelanggan, bahwa mereka hanya menggunakan minyak sawit bersih, tetapi mereka tidak menepati janji itu. Merek-merek global tersebut  harus memperbaiki masalah ini, sekali untuk selamanya, dengan memangkas pasokan Wilmar hingga mereka dapat membuktikan bahwa minyak sawitnya bersih, ”kata Kiki Taufik, Kepala Kampanye Hutan Global Greenpeace Indonesia, dalam rilisnya pada Rabu (19/9) yang dilansir situs greenpeace.org.

Selain deforestasi, 25 kasus dalam laporan ini juga mencakup bukti eksploitasi dan konflik sosial, deforestasi ilegal, pembangunan tanpa izin, dan pengembangan perkebunan di daerah-daerah yang dikategorikan untuk perlindungan, serta  kebakaran hutan terkait dengan pembukaan lahan. Ini juga merupakan penilaian paling komprehensif dari deforestasi di Papua, Indonesia.

“Papua adalah salah satu wilayah yang paling banyak memiliki keanekaragaman hayati di bumi, dengan hutannya yang sangat alami, karena terhindar dari kehancuran seperti yang terjadi di wilayah lain di Indonesia. Tapi, saat ini industri kelapa sawit bergerak masuk dan menggunduli hutan Papua, dengan kecepatan yang mengkhawatirkan. Jika kita tidak menghentikan mereka, maka hutan Papua yang indah akan dihancurkan untuk kelapa sawit seperti di Sumatera dan Kalimantan,” kata Kiki.

Dampak kelapa sawit terhadap lingkungan, manusia dan iklim  Setengah dari populasi orangutan Kalimantan telah musnah hanya dalam waktu 16 tahun,  dengan perusakan habitat oleh industri kelapa sawit sebagai pendorong utama. Lebih dari tiga perempat luas Taman Nasional Tesso Nilo, rumah bagi harimau, orang utan, dan gajah, telah diubah menjadi perkebunan kelapa sawit ilegal. Dalam skala global, 193 spesies yang Kritis, Terancam, dan Rentan juga terancam oleh produksi minyak sawit.

Sektor perkebunan, kelapa sawit dan bubur kertas adalah,  penggerak penggundulan hutan terbesar di Indonesia. Sekitar 24 juta hektar hutan dihancurkan di Indonesia antara 1990 dan 2015, menurut angka resmi yang dikeluarkan oleh pemerintah Indonesia .

Deforestasi dan perusakan lahan gambut adalah, sumber utama emisi gas rumah kaca, yang berkontribusi terhadap perubahan iklim. Hal ini telah mendorong Indonesia ke tingkat teratas penghasil emisi global, bersama Amerika Serikat dan Republik Rakyat Tiongkok.

Pembangunan perkebunan adalah akar penyebab kebakaran hutan dan lahan gambut di Indonesia. Pada Juli 2015, api dahsyat menyebar di Sumatera, Kalimantan, dan Papua. Kebakaran ini menghasilkan kabut asap yang menerpa jutaan orang di seluruh Asia Tenggara. Para peneliti di Universitas Harvard dan Columbia memperkirakan bahwa asap dari kebakaran tahun 2015 mungkin telah menyebabkan 100.000 kematian prematur.  Bank Dunia menghitung biaya bencana sebesar US$16 miliar (Rp237 triliun).

Wilmar International dan perusahaan minyak sawit lainnya, dituduh mengeksploitasi pekerja, anak-anak, dan komunitas lokal.

 


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home