Loading...
ANALISIS
Penulis: Stanley R. Rambitan 07:50 WIB | Minggu, 10 Mei 2015

Islam dan Sinisme Barat

FBI, Senin (4/5) sedang memeriksa mobil yang digunakan pelaku penyerangan Pameran Kartun Nabi Muhammad di Garland, Texas, Amerika Serikat sehari sebelumnya. (Foto: usnews.com)

SATUHARAPAN.COM – Minggu (3/5) berlangsung lomba dan pameran karikatur Nabi Muhammad SAW di Garland ISD Curtis Culwell Dallas, Texas, Amerika Serikat. Peristiwa seperti ini kerap ditanggapi secara keras oleh kalangan umat Islam karena disebut menyinggung dan menghina Islam. Benar bahwa acara tersebut disertai usaha pengeboman oleh dua orang yang kemudian ditembak mati pihak keamanan.  

“Kegemaran” membuat  tulisan dan karikatur yang menyinggung atau menghina Islam sudah dimulai dan  menghebohkan sejak novel Salman Rushdie  Satanic Verses  terbit tahun 1988. Kemudian koran Jerman Der Spiegel, 1999, memuat gambar atau karikatur Nabi Muhammad bersama Yesus dan Kong Hu Cu. Setelah itu diikuti oleh pemuatan karikatur Nabi Muhammad pada majalah Denmark  Jyllands-Posten tahun 2006 dan Charlie Hebdo tahun 2014. Penerbitan tulisan dan karikatur tersebut memunculkan reaksi keras umat Islam dengan menunjukkan kemarahan yang dilakukan dengan demonstrasi-protes bahkan tindakan kekerasan dan pembunuhan.  

Pertanyaan di sini: apakah masyarakat dan pemerintah di Barat—negara-negara Eropa dan Amerika—tidak belajar dari berbagai peristiwa reaksi kemarahan dan protes umat Islam bahkan ancaman teroris yang bahkan pada peristiwa majalah Jyllands-Posten dan Charlie Hebdo telah mengakibatkan banyak nyawa melayang? Mengapa pihak “Barat” seolah-olah tidak pernah sadar bahwa menyinggung apalagi menghina (tokoh) agama lain tidak dapat dibenarkan secara etis oleh pihak mana pun dan dengan alasan apa pun? Tidakkah disadari bahwa perbuatan itu berisiko reaksi masif dan tindakan kekerasan atau teroris dari kelompok radikal?    

Sinisme Barat terhadap Islam

Tulisan dan karikatur sindiran dan hinaan terhadap Islam dianggap wajar oleh banyak kalangan di Barat. Bagi mereka, itu bagian dari karya seni dan kebebasan berekspresi. Namun sikap mereka tidak jarang diskriminatif dan tidak adil. Jika terhadap Islam dianggap wajar tetapi jika sinisisme ditujukan kepada umat dan agama Yahudi, sikap masyarakat menjadi kritis dan menolak dengan menuduhnya diskriminasi rasial dan anti-semitisme. Tampaknya, menyindir apalagi menghina Yudaisme atau Israel adalah tabu bagi masyarakat Barat. Namun demikian, berbeda dari masyarakat, para pemimpin gereja Protestan dan Katolik mengkritik tindakan yang melecehkan terutama tokoh agama,  seperti Nabi Muhammad dan Yesus.

Tulisan dan karikatur bernada sinis masyarakat Barat yang merendahkan Islam berakar pada pandangan umum terhadap budaya dan adat istiadat  Arab dan Timur Tengah, khususnya ajaran agama Islam yang dianggap aneh, tidak masuk akal dan tidak sesuai dengan budaya modern. Sebenarnya, apa saja yang dianggap aneh dan tidak rasional dikritik, termasuk ajaran dan tokoh agama seperti Yesus dan Paus. Jadi kritik dan sinisisme Barat tidak hanya terhadap Islam. Hanya memang terhadap Islam-lah kemudian menjadi heboh karena reaksi keras dan bahkan dengan kekerasan oleh sebagian kalangan umat Islam.

Sinisisme terhadap Islam atau terhadap budaya/peradaban yang dianggap rendah dan terbelakang, tampak merupakan karakter umum dalam masyarakat Barat. Perasaan diri lebih tinggi dan maju atau superior dari bangsa dan budaya lain masih menggejala. Ini tampak dalam pergaulan hidup masyarakat, dalam percakapan  sehari-hari, pada komentar-komentar dan pernyataan serius. Namun tidak jarang, pandangan yang merendahkan agama, budaya dan bangsa lain disebabkan oleh ignorance atau ketidaktahuan. Misalnya ada generalisasi terhadap Islam sebagai agama atau peradaban terbelakang karena mendukung kekerasan, poligami, dan perampasan hak-hak asasi perempuan. Generalisasi juga diberlakukan terhadap bangsa-bangsa yang disebut dari “dunia ketiga” dan developing countries atau sedang membangun yang dianggap belum maju. Dengan dasar ini, diskriminasi pun berlaku. (Penulis mengamati dan mengalami hal ini dalam pergaulan hidup selama delapan tahun tinggal di Eropa—Inggris dan Belanda).

Benturan Agama dan Rasionalisme

Sinisme masyarakat Barat terhadap Islam, serupa dengan ungkapan sinis masyarakat Indonesia terhadap berbagai persoalan yang terjadi, seperti kekerasan karena agama, korupsi, banjir dan macet. Sinisme terhadap hal-hal yang dianggap tidak pantas terjadi di dalam masyarakat secara umum adalah produk dari rasionalisme-humanis atau kemampuan kritis-logis masyarakat. Sinisme rasional atau rasionalisme sinis ini terungkap dalam bentuk percakapan, komentar, pernyataan, dan candaan. Dalam bentuk tulisan dan karikatur dapat ditemukan setiap hari misalnya pada halaman Opini dan kolom pojok harian Kompas. Namun, Kompas tidak pernah memuat karikatur dan candaan yang menyindir atau menghina agama.

Dalam banyak kasus, sinisisme, tuduhan pelecehan dan kritik rasionalisme terhadap agama sering menimbulkan benturan keras. Di dunia Islam, misalnya terjadi pada Salman Rushdie yang di-fatwa mati oleh pemimpin spiritual Iran, Ayatollah Khomeini. Di Eropa, terjadi pada majalah Jyllands-Posten dan Charlie Hebdo. Di Indonesia terjadi pada kelompok Jaringan Islam Liberal atau JIL di mana ketuanya Ulil Abshar Abdalla lalu berkonflik dengan MUI dan di-fatwa mati oleh Forum Umat Islam pertengahan 1990-an. Dan Oktober 1990, ketika tabloid Monitor dengan Arswendo Atmowiloto sebagai pemimpin redaksi dan penanggung jawab, memuat hasil survei tentang tokoh paling dikagumi pembaca. Nabi Muhammad SAW menempati urutan ke-11, tepat di bawah Arswendo yang berurutan 10. Beberapa kelompok umat Islam menyebutnya penghinaan terhadap Nabi Muhammad dan Islam. Akibatnya, kantor tabloid dirusak, tabloid Monitor ditutup dan Arswendo dipenjara.

Kasus-kasus di atas memperlihatkan bahwa rasionalisme dan radikalisme sama-sama memerlukan hikmat di dalam perjumpaannya. Rasionalisme Barat jika dibiarkan bebas berekspresi, khususnya terhadap Islam akan terus menimbulkan reaksi keras. Kelompok radikal Islam, jika terus menanggapi sinisme dan pelecehan rasionalisme dengan kekerasan, akan terus menjadi bulan-bulanan rasionalisme masa kini. Oleh karena itu, hendaknya rasionalisme itu bijaksana dengan berusaha mengungkapkan kritik-kritiknya tanpa berakibat ketersinggungan dan kemarahan pihak lain. Kelompok radikal perlu berupaya meredam kemarahannya dengan akal sehat sehingga reaksinya tidak dengan kekerasan tetapi  dialog  dan mencari penyelesaian yang damai.

Stanley R. Rambitan, Teolog-Dosen Pascasarjana UKI


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home