Loading...
OPINI
Penulis: Zuhairi Misrawi 19:01 WIB | Rabu, 31 Juli 2013

Islamisme dan Demokrasi di Mesir

SATUHARAPAN.COM - Demokrasi di Mesir ibarat kolam tanpa ikan dan air. Ikan-ikan di kolam tersebut mati, karena tidak ada air yang memungkinkannya hidup dan beranak-pinak”. Itulah perumpamaan yang dipopulerkan Muhammad Husein Haikal perihal rapuhnya wacana dan tatanan demokrasi di negeri Piramid tersebut.

Secara eksplisit, ada partai politik dan pemilu parlemen berlangsung secara reguler, khususnya pada rezim Hosni Mubarak hingga terpilihnya Muhammad Mursi sebagai Presiden Mesir pertama pasca-revolusi. Tetapi, harus diakui semua itu hanya pada tataran elektoral, bukan pada tataran substansial.

Selama kurang lebih 30 tahun tidak ada pergantian kekuasaan dan absennya prinsip-prinsip demokrasi, yang menyebabkan demokrasi elektoral hanya menjadi stampel kekuasaan. Karenanya, Abd al-Fattah Madhi menyebut pemilu hanya sebagai ajang yang sebenarnya tidak mempunyai muatan demokratis dan absennya kaum demokrat (Intikhabat 2005 al-Riasiyyah fi Mishr: Intikhabat bi la Dimuqrathiyyah wa la Dimuqrathiyyin, 2009)

Atas dasar itu, Alfred Stepan (2004) memberikan catatan kritis terhadap demokrasi di Arab secara umum dan Mesir secara khusus sebagai an exceptionalism. Intinya, demokrasi tidak bisa tumbuh subur di dunia Arab, bukan hanya semata-mata karena mereka mengharamkan demokrasi, tetapi yang jauh lebih mengkhawatirkan yaitu praktik pemilu yang tidak jujur dan bersih, serta suksesi kepemimpinan yang tidak berjalan secara demokratis. Di samping itu, Freedom House juga memberikan catatan kritis demokrasi di dunia Arab, karena alam demokrasi telah mengabaikan dua elemen penting dalam demokrasi, yaitu hak-hak politik dan kebebasan sipil.

Kini, Mesir sedang memasuki zaman demokrasi baru. Revolusi yang berlangsung pada tanggal 25 Januari 2011 merupakan puncak kemarahan rakyat Mesir terhadap otoritarianisme, yang berhasil melengserkan rezim Hosni Mubarak. Absennya demokrasi harus dibayar dengan harga yang cukup mahal, yaitu revolusi yang meniscayakan rancang-bangun kembali demokrasi dari titik nol. Bahkan, setelah setahun Muhammad Mursi berkuasa, ia pun harus lengser melalui kudeta militer yang didukung oleh petisi pembangkangan (tamarrud), yang diinisiasi kaum muda revolusioner.

Islamisme dan Demokrasi

Salah satu problem dalam implementasi demokrasi liberal di dunia Islam, khususnya Timur-Tengah dan Afrik Utara, yaitu menguatnya kelompok Islamis. Bahkan, musim semi politik yang berhembus di dunia Arab, bukanlah “musim semi Arab” (Arabs Spring), melainkan “musim semi kaum Islamis” (Islamists Spring).

Di satu sisi, fenomena tersebut menimbulkan sebuah harapan tentang transformasi demokrasi, yang akan melahirkan sebuah perubahan besar tentang pemaknaan dan penghayatan terhadap demokrasi. Tetapi, di sisi lain dikhawatirkan dapat menimbulkan munculnya arus balik tentang lahirnya demokrasi versi kaum Islamis. Yaitu, ketika demokrasi hanya dibajak secara prosedural, tetapi substansinya dikosongkan dari nilai-nilai universal yang inheren di dalam paradigma demokrasi liberal.

Kekhawatiran tersebut beralasan, karena kaum Islamis bukanlah entitas yang baru dalam pengalaman demokrasi di dunia Islam, khususnya di Timur-Tengah dan Afrika Utara. Mereka mempunyai pengalaman dalam berbagai sistem pemerintahan, baik demokrasi, sosialisme, monarki, komunisme dan otoritarianisme. Menurut Carrie Rosefsky Wickham, mereka relatif bisa bertahan dalam situasi apapun, karena mempunyai ideologi dan komunitas yang mapan (Mobilizing Islam: Religion, Activism, and Political Change in Egypt, 2002)

Menurut Jon Armajani, setidaknya ada empat hal yang dijadikan pijakan oleh kalangan Islamis: Pertama, prinsip-prinsip keislaman harus menjadi pedoman dalam kehidupan sehari-hari, baik secara personal maupun kolektif. Kedua, Islam adalah agama yang menekankan pentingnya keyakinan, sedangkan keyakinan agama lain mengandung kesalahan atau keabasahan yang terbatas. Ketiga, hukum-hukum tradisional Islam harus mengatur masalah relasi seksual. Keempat, budaya Barat dan sekular hanya mempromosikan budaya konsumerisme dan hidup bebas yang bertentangan dengan Islam (Modern Islamist Movements: History, Religion, and Politics).

Di Mesir, pasca-tumbangnya rezim Hosni Mubarak, Ikhwanul Muslimin tumbuh sebagai kekuatan yang hendak memberikan warna lain terhadap demokrasi. Ikhwanul Muslimin merumuskan sebuah paradigma baru, yaitu negara modern dengan menjadikan Islam sebagai rujukannya (al-dawlah al-madaniyyah bi al-marja’iyyah al-Islamiyyah).

Jika melihat pandangan tersebut, maka secara implisit dapat dipahami bahwa Ikhwanul Muslimin telah menerima negara modern dengan menjadikan Islam, dan Syariat sebagai sumber utama. Tapi pertanyaannya, bagaimana hal tersebut bisa diwujudkan di tengah polarisasi pandangan keislaman dan realitas sosial-politik yang tidak monolitik. Mesir bukan hanya terdiri dari satu kelompok agama saja, melainkan juga terdapat kelompok dari agama selain Islam, yaitu Koptik, Yahudi, Bahai, Kristen, dan Katolik. Mereduksi sistem pemerintahan yang hanya menganut pada satu sumber agama hakikatnya telah melakukan tindakan diskriminatif. Hal tersebut berpotensi pada hilang hak-hak sipil kalangan non-muslim.

Maka dari itu, Islamisme dan demokrasi merupakan dua entitas yang masih berseberangan. Adanya sikap adaptif terhadap demokrasi sebagaimana ditunjukkan Ikhwanul Muslimin pasca-revolusi dapat dipahami sebagai upaya merespons aspirasi publik yang menghendaki demokratisasi. Tetapi, harus diakui, Ikhwanul Muslimin sebagai kelompok yang mempunyai ide-ide Islamisme masih mempunyai sejumlah keberatan untuk menggunakan istilah demokrasi. Mereka terlibat dalam pemilu sebagai bentuk akseptabilitas terhadap demokrasi elektoral. Tetapi, saat berkaitan dengan demokrasi liberal yang menjamin kesetaraan dalam kewarganegaraan, maka di sinilah letak problematisnya hanya menjadikan Islam sebagai satu-satunya sumber perundang-undangan, meskipun mereka membuka pintu konsultasi (syura).

Tidak bisa dimungkiri, jatuhnya Mursi merupakan konsekuensi dari hal itu. Kaum muda revolusioner memandang bahwa demokrasi yang dikendalikan Ikhwanul Muslimin masih kehilangan landasan fundamennya, karena ambisi sektarian lebih menonjol daripada kepentingan bangsa.

 

Penulis adalah analis pemikiran dan politik Timur-Tengah The Middle East Institute


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home