Loading...
INDONESIA
Penulis: Febriana Dyah Hardiyanti 12:39 WIB | Rabu, 24 Agustus 2016

Jadi Momok, IHCS Desak Pemerintah Segera Revisi UU ITE

Aksi yang meminta pemerintah mencabut UU ITE. (Foto: antikorupsi.org)

JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Indonesian Human Rights Committee for Social Justice (IHCS) menilai "Pasal Karet" yang ada dalam UU ITE, yakni Pasal 27 Ayat 3, telah menjadi momok yang mengerikan bagi kehidupan berdemokrasi dan kebebasan berekspresi di negeri ini.

IHCS mendesak penyelenggara negara untuk segera merevisi dan atau membatalkan pemberlakuan Pasal 27 Ayat 3 UU ITE, karena telah dijadikan sebagai alat untuk membungkam suara-suara kritis masyarakat yang resah dan gelisah atas kondisi kehidupan sosial politik di sekitarnya.

“Inilah era baru penegakan hukum sipil yang justru lebih berbobot daya rusaknya bagi tegasnya demokratisasi pasca dihapuskannya pasal hatzai artikelen di dalam KUHP oleh Mahmakah Konstitusi (MK),” kata Ketua Eksekutif IHCS, Ridwan Darmawan.

Menurut IHCS, Pasal 27 Ayat 3 UU ITE ini juga lebih luas cakupan atau pengaturan mengenai pencemaran nama baik atau penghinaannya dibandingkan dengan KUHP yang secara jelas bahwa perbuatan penghinaan oleh seseorang harus ditujukan langsung kepada seseorang dan merupakan delik aduan. Sementara perumusan UU ITE hanya menyatakan bahwa orang yang melakukan penghinaan atau pencemaran nama baik melalui media elektronik dapat dipidana.

“Sejauh penelitian dan penelusuran saya, Menkominfo Rudiantara dalam sebuah diskusi di Jakarta waktu itu sudah melansir hingga saat itu sudah ada 74 orang yang jadi korban UU ITE, bahkan hingga saat ini menurut berbagai sumber yang dapat dipertanggungjawabkan, sudah ada 186 orang yang jadi korban UU ITE Pasal 27 Ayat 3,” katanya.

Ridwan mengungkapkan, salah satu bukti sahih dan terbaru adalah upaya pembungkaman sikap kritis aktivis lingkungan yang juga adalah Dewan Nasional Walhi dan Koordinator Gerakan For Bali, I Wayan Suardana, yang sedang gigih memperjuangkan penolakan terhadap rencana reklamasi berkedok revitalisasi Teluk Benoa di Bali,  tapi justru dilaporkan oleh ormas Pospera, yang salah satu pemimpinnya disinyalir adalah Direktur di PT TWBI (investor reklamasi anak perusahaan Artha Graha) dan Ketua Dewan Pembinanya Anggota DPR RI, Adian Napitupulu.

“Sungguh satu pertalian antara modal dan kekuasaan telah menjadikan Pasal 27 Ayat 3 sebagai alat mengkriminalisasi aktivis,” ujar Ridwan. (PR)

Editor : Eben E. Siadari


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home