Loading...
OPINI
Penulis: Gracia Asriningsih 00:00 WIB | Kamis, 10 Juli 2014

Jalan di Atas Kuburan Massal

SATUHARAPAN.COM - Apakah tanah bisa menunjukkan kesuraman jika kengerian dikubur di dalamnya ?

Ketika satu per satu kuburan massal di dunia telah dibuka, seperti korban NAZI selama perang dunia kedua di Treblinka Polandia, korban perang saudara di Bosnia 1992,  korban pemerintahan Stalin di bekas Uni Sovyet 1937-1938 dll., kuburan massal korban Orde Baru pasca peristiwa 1965 tidak pernah dibicarakan, apalagi sungguh-sungguh digali untuk menemukan kebenarannya (kecuali satu kuburan massal di Wonosobo). Tidak akan ada ahli forensik arkeologis yang bekerja, karena bahkan tempatnya pun tabu untuk ditandai. Lokasi-lokasi yang sengaja berserak akan sangat menyulitkan keluarga korban yang mempunyai sedikit keberanian untuk mencari. Jikalau ditemukan, tanah tersebut juga sudah beralih fungsi, beberapa tempat di Bali bahkan diduga sengaja dibangun hotel  di atas kuburan, untuk menghilangkan jejak dan sejarah. Sehingga tak akan ada lagi tanda, nama, apa lagi wajah yang muncul di sana.

Pagi di bulan April lalu, pantai Masceti menjelang Nyepi mulai riuh dengan mereka yang akan melakukan upacara di Pura pinggir pantai. Tiga ratus meter dari sana, di pinggir persawahan, berumput jarang dengan bekas-bekas roda truck, saya berdiri di atas area kuburan massal. Tak jauh dari tempat itu kuli bangunan sedang bekerja membangun jalan yang akan tepat melewati area ini  menuju hotel yang terlihat sungup. Meskipun menghadap pantai dan laut membiru, hotel ini telah empat tahun terbengkalai. Konon tamu-tamu tak ingin beristirahat disini karena suara tangis di malam hari mengganggu mereka. Hanya mereka yang pernah mendengarkan kesaksian yang tahu bahwa ada kuburan massal disana  empat lubang, masing-masing dengan empat puluh lima jenazah di dalamnya. Usaha untuk menggalinya tak pernah berhasil,  karena ditentang oleh pemerintah setempat dengan alasan akan menimbulkan gangguan keamanan.

Ngaben atau pemberian bekal kepada leluhur di Bali memang  dapat dilakukan tanpa melibatkan jenazah mereka yang pergi, sehingga keluarga yang mengetahui anggotanya terkubur di sini akhirnya memilih untuk diam-diam  mengambil sejumput saja tanah untuk diupacarakan.  Seperti banyak kisah pembantaian lainnya, mereka yang merupakan anggota Partai Komunis Indonesia, organisasi sayap, simpatisan atau sekadar mereka yang menerima bantuan beras tanpa tahu apa-apa, pada malam hari dibawa paksa dari desa yang jauh, dieksekusi di pinggir lubang, dan tanpa mengetahui masih bernafas atau tidak, dikuburkan di dalamnya. Begitu  kesaksian Pak Rentang, seorang pengusaha bangunan, yang semasa remajanya aktif membantu para petani tentang reformasi agraria dengan teater tradisional, yang karena kecerdasan dan keberaniannya selamat dari pembantaian.

Diperkirakan, 80,000 warga sipil atau 5 persen dari populasi  Bali saat itu dibunuh setelah peristiwa 1965. Laporan komnas HAM 2012  telah menyimpulkan bahwa pembantaian yang terjadi tahun 1965-66 merupakan kejahatan terhadap kemanusiaan atau perbuatan (pembunuhan, pembasmian, perbudakan, pemindahan paksa, pemenjaraan,  penyiksaan dan pemerkosaan) secara meluas dan sistematis terhadap populasi warga siipil, sesuai UU nomer 26/2000 tentang pengadilan HAM juncto pasal 7 Statuta Roma.  

Di Bali, antara bulan oktober 1965 sampai Maret 1966, anggota dan simpatisan partai komunis Indonesia ditangkap oleh tentara atau paramiliter lokal. Kesempatan ini bahkan digunakan oleh orang-orang yang ingin melakukan balas dendam, entah kepada lawan politiknya di tingkat lokal, atau kepada keluarga sendiri karena  urusan warisan atau kepada pesaing dalam urusan cinta, katakan saja mereka anggota PKI, dan mereka akan dihilangkan.

Pembasmian juga dilakukan kepada kaum intelektual Bali, yang menjadikan Bali menjadi apolitis dan hanya dijejali pembangunan wisata hingga saat ini. Keluarga dan tetangga saling membunuh, memungkinkan peristiwa sebesar ini tak pernah terungkap karena meski komando dilakukan secara vertikal, pelaku lapangan adalah orang yang dikenal.

 Dari satu desa ke desa lainnya, pembunuhan dan pembakaran rumah terjadi, ada yang dibawa dengan truk dan dikumpulkan di Denpasar ada pula yang dibunuh dengan tembakan atau tebasan kelewang di tempat atau dibawa ke kuburan massal entah dimana. Kuburan-kuburan tersebut sebenarnya diketahui oleh warga setempat, dan dengan sadar mereka tidak menggunakan tanah tersebut. Mereka tidak mengusiknya namun juga tidak mengungkapnya.

Kuburan massal mungkin sampai kini masih hilang, namun sebuah taman menjelma menjadi ruang yang berbeda di Denpasar. Anak-anak generasi ketiga dari korban 65 menamai taman mereka Taman 65, sebuah halaman sederhana dengan dinding bertuliskan forgiven but not forgotten. Di taman itu, mereka menggali sedikit demi sedikit tentang apa yang terjadi dengan kakek-nenek mereka. Mereka mengadakan acara hanya musik, nonton film atau kumpul-kumpul bahkan minum arak Bali bersama untuk membicarakan tragedi 1965. Mereka ingin kawan sebayanya yang tak punya kakek atau nenek lagi bertanya tentang apa yang terjadi.

Dari sapa ke sapa yang lain, beberapa anak muda mulai bertanya dalam keluarganya. Ada yang tak percaya bahwa kakeknya yang penuh kasih sayang ternyata seorang algojo, ada yang memainkan lagu-lagu dari penjara masa 65, ada ibu yang menulis untuk pertama kalinya, dari aktivis sampai anak pantai berdiskusi di sore hari. Rekonsiliasi-rekonsiliasi kecil pun terjadi  diantara mereka.

Made Candra menyanyikan kembali lagu ‘the prison song’ yang diciptakan di penjara oleh seorang tahanan 65 yang tidak pernah bertemu anak yang dikandung istrinya, saat dia ditangkap dan akhirnya dibunuh. Lagu yang ditulis di dinding penjara itu diingat oleh kawan seperjuangan yang kemudian selamat.  Singkat cerita, klip lagu ini diunggah di youtube, dan dari kabar kawan ke kawan lainnya, anak itu akhirnya mendengarkan lagu yang dikarang ayah untuknya untuk pertama kalinya, setelah 49 tahun menunggu untuk sampai kepadanya.

Saling berbagi dan berproses melakukan diagnosa kekerasan negara dari dalam keluarga akhirnya melahirkan buku ‘Melawan Lupa, Narasi-narasi Komunitas Taman 65 Bali’ sebagai sebuah penjaga ingatan. Lalu Superman is Dead, sebuah grup musik rock dari Bali yang populer saat ini, mempersembahkan  lagunya Sunset di Tanah Anarki  untuk melawan lupa bersama taman 65.

Generasi muda yang memilih berani dan  menjadi penjaga ingatan ini sebenarnya telah secara simbolis melakukan penggalian setangkup demi tangkup dari sebuah peristiwa kekerasan yang dikuburkan  secara massal. Mereka telah melampau generasi kedua yang terbelenggu dalam trauma sebagai anak PKI dan memilih diam. Dari kisah-kisah keluarga yang sangat pribadi, sejarah lisan yang dimulai dengan bisikan, dikisahkan dengan air mata dan terkadang tatapan kosong mulai dituliskan. Mereka memberikan wajah dan nama pada peristiwa 65, sehingga ia tidak sekedar menjadi peristiwa sejarah dan statistik yang bisa dimanipulasi.

Penggalian kuburan massal itu telah dimulai dan mereka membuktikan bahwa proses cuci otak selama hampir lima puluh tahun pada akhirnya tetap tidak dapat membendung kebenaran. Namun waktu terus berputar dan seiring usia, para saksi korban berpulang satu persatu, membuat kesunyian tentang 65, mungkin akan berlangsung selamanya.

Apa lagi yang kita tunggu?

 

Penulis adalah penyair, kini bekerja sebagai tenaga penerjemah lepas.


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home