Loading...
EDITORIAL
Penulis: Redaksi Editorial 16:39 WIB | Selasa, 25 Oktober 2016

Jangan Ada Impunitas dalam Pembunuhan Munir

Munir Said Thalib (1965 - 2004), pegiat HAM yang meninggal karena dibunuh dengan racun arsenik. (Foto: Ist)

SATUHARAPAN.COM –Tidak jelasnya di mana dokumen hasil penyelidikan tim pencari fakta (TPF) pembunuhan pegiat hak asasi manusia, Munuir Said Thalib, menjadi pukulan yang memalukan untuk ketiga kalinya bagi bangsa Indonesia.

Hal yang pertama adalah kenyataan adanya seorang pegiat hak asasi manusia yang meninggal karena dibunuh. Ini berarti harus dimaknai sebagai kegagalan dalam mewujudkan amanat alinea keempat Pembukaan UUD 1945, yang berbunyi: ‘’Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu Pemerintah Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia...’’

Kematian pegiat HAM, di mana pun di dunia ini merupakan pukulan yang memalukan bagi bangsa dan negara, karena gagal melindungi warga negara. Namun yang terutama adalah menandai adanya kekuatan anti HAM yang bercokol di negara itu.

Siapa Otak Pembunuhan Munir?

Pukulan kedua yang sangat memalukan, adalah indikasi pembunuhan Munir ini melibatkan orang dalam sebuah lembaga negara. Yang sudah divonis oleh pengadilan adalah Pollycarpus Budihari Priyanto, seorang pilot dfari perusahaan penerbangan negara. Dia dihukum 14 tahun penjara, namun telah bebas setelah 8 tahun di penjara.

Namun siapa otak pembunuhan itu belum jelas. Sementara untuk tersangka lain, Muchdi Prawiro Pranjono, yang ketika Munir dibunuh menjabat sebagai Deputi V (bidang Penggalangan) Badan Intelijen Negara (BIN), kasusnya di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, diputus bebas murni.

Namun demikian, kasus ini meninggalkan banyak pertanyaan sekaligus dugaan yang mengarah pada keterlibatan orang-orang di lembaga negara. Munir dibunuh ketika dalam perjalanan dengan pesawat udara ke Belanda. Dia dibunuh dengan racun arsenik pada minumannya. Ketika itu Munir hendak melanjutkan studi di negeri itu.

Kasus Munir menjadi pukulan keras ketiga bagi bangsa ini, karena terjadi di tengah-tengah masalah-masalah pelanggaran HAM yang tidak pernah tuntas diselesaikan. Indonesia berada dalam sorotan negatif, dan kemudian diperbertat karena pegiat dari KontraS (Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan) ini dibunuh.

Jika benar ada masalah politik di belakangnya, seperti yang dikatakan Presiden (2004-2014), Susilo Bambang Yudhoyono, ini justru memberikan petunjuk ada masalah serius. Meskipun belum jelas kepentingan politik apa yang dimaksud.

Di Mana Keadilan?

Keputusan pengadilan yang sejuah ini memposisikan Pollycarpus sebagai pelaku tunggal pembunuhan ini tampaknya juga tidak meyakinkan bagi publik bahwa hukum dan keadilan telah ditegakkan dalam kasus ini. Ada banyak pertanyaan yang masih menggantung terkait motivasi di elite negara ini yang meneror penegakan HAM.

Dan kali ini, kita dipermalukan lagi dengan hilangnya dokumen hasil penyelidikan TPF kasus pembunuhan Munir. Setelah proses pengadilan hanya menjangkau satu orang yang terlibat (Pollycarpus), kali ini dokumen penyidikan tidak jelas di mana rimbanya.

Soesilo Bambang Yudhoyono yang menerima dokumen itu tidak menindaklanjutinya selama dua perode kepresidenannya. Dokumen itu, bahkan terkesan hanya masuk laci, dan sekarang entah di mana. Penjelasan yang dilakukan pada hari Selasa (25/10) tidak secara konkret mengarah pada makin jelasnya di mana dokumen itu bisa ditemukan.

Munir (39 tahun) adalah pria kelahiran Malang, Jawa Timur, 8 Desember 1965. Dia dibunuh pada 7 September 2004. Itu berarti bahwa sudah 12 tahun kasusnya belum juga tuntas; ada orang-orang yang terlibat pembunuhan yang masih bebas berkeliaran di negeri ini.

Hitang atau Tidak Tahu?

Atas kondisi ini istri almarhum, Suciwati dan KontraS memberi ultimatum kepada Pemerintah untuk segera mengumumkan hasil penyelidikan TPF pembunuhan Munir. Mererka menyatakan dokumen itu, yang diserahkan pada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada 24 Juni 2005, sebagai diokumen publik.

Jangankan publik bisa melihat dokumen itu, bahkan sekarang tak jelas di mana. Pemerintah terlihat kebingungan ketika Suciwati dan KontraS menyampaikan ultimatum itu pada hari Rabu (19/10) pekan lalu. Baru sadar ada dokumen itu, dan sekarang tidak tahu di mana menemukannya.

Ini kenyataan yang pahit bagi penegakkan HAM di Indonesia, bahkan merupakan situasi ini mengarah pada bentuk impunitas bagi pelaku pelanggaran HAM. Ketidak-pedulian ini yang menyebabkan predator pegiat HAM itu masih bisa leluasa berkeliaran di negeri ini.

Pemerintah Joko Widodo harus serius menangani masalah ini, karena konsekuensinya terlalu besar. menguusut kasus ini bukan hanya keadilan bagi Munir. Kematian Munir adalah teror bagi pegiat HAM di Indonesia. Sementara itu, Indonesia masih harus menanggung beban sejarah masa lalu yang penuh pelanggaran HAM.

Editor : Sabar Subekti


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home