Loading...
EDITORIAL
Penulis: Redaksi Editorial 17:04 WIB | Senin, 21 September 2015

Jangan Tidak Peduli Perdamaian

Sekjen PBB, Ban Ki-moon membunyikan lonceng perdamaian di Markan Besar PBB di New York. Apakan detamngannyamampu mengemakan perdamaian ke seluruh dunia? (Foto: file un.org)

SATUHARAPAN.COM – Hari ini, Rabu (21/9) ditandai sebagai hari Perdamian Internasional oleh Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB). Ditetapkan pada tahun 1981 oleh Majelis Umum PBB dalam resolusi nomor 36/67, dan telah dibicarakan dalam berbagai sidang dalam kurun lebih dari satu dekade.

Ini berarti bahwa pernyataan tentang komitmen untuk perdamaian di dunia ini merupakan sikap dari 193 negara anggota PBB, lembaga dunia terkait dan negara atau badan peninjau.

Sekretaris Jenderal PBB, Ban Ki-moon, menyerukan agar di seluruh dunia dilakukan  gencatan senjata setidaknya dalam 24 jam dan menghentikan permusuhan. Tema yang diangkat adalah "Kemitraan untuk Perdamaian - Martabat untuk Semua (Partnerships for Peace – Dignity for All).

Lonceng perdamaian di Markas Besar PBB berdentang. Namun apakah suara senapan, dan bom yang sekarang (setidaknya) terus meletup di Afrika Tengah, Barat dan Utara, di Timur Tengah, di Ukraina, akan bungkam, setidaknya sehari? Dan membiarkan suara bell dari New York berdentang lebih nyaring.

Apakah kebencian sektarian karena perbedaan agama dan keyakinan, karena perbedaan warna kulit dan etnis, karena perbedaan pandangan politik dan kepentingan ekonomi akan padam? Dan seperti tema tahun ini, kita berharap, kemudian akan tumbuh kemitraan yang memupuk martabat manusia untuk semua.

Yang Mudah dan Sulit

Perdamian yang begitu sering disuarakan memang hal yang sangat rentan, bahkan bisa pecah berantakan hanya oleh pernyataan pendek ke publik yang menyebabkan pelatuk senapan ditarik.

Dari pengamatan atas berbagai konflik berkekerasan di berbagai belahan bumi, meletakkan senjata ternyata jauh jauh lebih sulit untuk diusahakan daripada mengangkat senjata dan melepaskan peluru. Demikian juga penghancuran ternyata jauh lebih mudah daripada memulihkan.

Pelatuk begitu mudah ditarik di Damaskus, Suriah, ketika demonstrasi massa digelar pada Maret 2011. Namun untuk membungkam semua senjata di negara itu, seperti jalan panjang yang belum terlihat ujungnya.

Tragedi ini berkepanjangan hingga mendorong arus pengungsi melanda banyak negara tetangga. Mereka yang menghindari kematian dari perang, bahkan harus menghadapi bahaya kematian lain ketika mengharapkan mencapai negara damai penerima suaka. Akibat lebih jauh bahkan terasa hingga ke negara-negara Eropa.

Belum lagi tak perpikirkan dan tak terbayangkan bagaimana kehidupan manusia, lembaga sosial dan pemerintah di Suriah dan Irak bagian utara bisa dipulihkan untuk kehidupan yang ‘’aman’’,  setelah perang selama bertahun-tahun ini, yang entah kapan akan berhenti.

Bagi bangsa Indonesia, pengalam seperti itu juga hal yang nyata dalam pengalaman. Konflik di Maluku, Maluku Utara, di Sampit, Kalimantan, dan di wilayah lain yang dipicu oleh hal-hal yang lebih personal tetapi berkembang menjadi konflik sosial berkekerasan. Muncul dengan gam,pang, namun pemulihannya belum selesai hingga sekarang, setelah belasan tahun berlalu.

Semua itu menandai bahwa konflik begitu mudah dipicu, seperti api yang mudah disulut, tetapi tidak mudah untuk dipadamkan. Bahkan memulihkan kondisi akibat konflik berkekerasan sebenarnya sebuah kemustahilan. Tidak aka da ayang sama lagi setelah konflik dengan kekerasan.

Namun demikian, dalam kehidupan soal, politik, dan kenegaraan, masih banyak yang bermain-main dengan konflik dan kekerasan. Dengan naif, memandang seolah-olah konflik adalah permainan dan strategi menejemen.

Semua dan Tanpa Henti

Hari Perdamaian Internasional, memang bukan untuk sehari tanpa letusan senapan; sehari tanpa kebencian dan permusuhan. Namun sebagai peringatan utuk upaya tanpa henti membangun budaya tanpa kekerasan dan mencegah konflik melalui budaya damai dan dialog.

Bahasa publik yang penuh kekerasan yang marak dalam kehidupan masyarakat harus ditekan. Budaya dominasi untuk memenuhi ambisi dan kepentingan sendiri harus digantikan dengan budaya kerja sama.

Perdamaian harus dimaknai sebagai upaya tanpa henti untuk terus menghormati martabat setiap manusia. Tidak ada diskriminasi atas dasar dan alasan keyakinan dan agama yang dianut, atas dasar etnis dan warna kulit. Orang tidak boleh tidak mendapatkan keadilan karena pandangan politik dan golongannya.

Membangun perdamaian adalah membangun seluruh aspek kehidupan manusia, dan dimulai dengan yang paling hakiki, hak-hak dasar kehidupan. Dan ini upaya yang terus-menerus dan hanya makin mungkin terwujud dengan keterlibatan semua.

Oleh karena itu, untuk emmbangun p[erdamaian, yang paling mendasar dibutuhkan adalah tidak ada yang sama sekali tidak peduli dengan perdamaianitu, sekalipun itu terlihat utopis.


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home