Loading...
ANALISIS
Penulis: Denni H.R. Pinontoan 00:00 WIB | Senin, 15 Agustus 2016

Jaringan Antar Iman dan Transformasi Sosial

Kelompok-kelompok antar-iman terus bertumbuh di berbagai daerah. Mereka mengupayakan dialog dan merawat kebhinnekaan, sembari mendorong agama-agama untuk berperan aktif melawan ketidakadilan.

SATUHARAPAN.COM - Pada tanggal 3-5 Agustus 2016 sekitar 100 orang, mereka adalah aktivis, akademisi, guru agama dan agamawan berkumpul di Hotel Grand Wisata, Makassar. Mereka datang untuk berdiskusi dan saling tukar pengalaman dalam konferensi jaringan antar iman Indonesia regio Sulawesi. Konferensi yang difasilitasi oleh Dian/Interfidei Yogyakarta bekerjasama dengan Lapar, Forlog, Jalin Harmoni Sulsel dan Oase Intim ini bertemakan , “Agama-agama dan Kebudayaan di Sulawesi dalam Tantangan Relasi Kuasa Politik-Modal-Agama”.

Ini kali pertama jaringan antar iman se-Sulawesi bertemu dalam skala yang lebih luas. Para peserta datang dari 6 provinsi di pulau Sulawesi. Peserta konferensi ini berasal dari beragam lembaga dan komunitas yang selama ini  telah memasukan agenda-agenda dialog dan perdamaian dalam kerja-kerja kemanusiaan mereka.

Hal yang menonjol dari sekian isu yang dibahas  adalah ancaman politisasi, birokratisasi serta komodifikasi dalam berbagai dimensi kehidupan di masyarakat sebagai wujud relasi kuasa antara politik, modal, agama dan budaya. Pengalaman kerusuhan Poso menjadi perhatian khusus ketika membahas masalah relasi antar kelompok berbeda agama dalam pertarungan kepentingan modal dan politik(nasional maupun lokal). Tapi, narasi dari Poso ini juga memberi inspirasi tentang optimisme membangun masyarakat damai yang berangkat dari kesadaran, inovasi dan kreativitas masyarakat seperti yang ditunjukkan oleh Institut Mosintuwu yang berhasil dengan Sekolah Perempuannya.

Isu-isu turunan dari relasi kuasa tersebut adalah radikalisasi-fundamentalisme kelompok-kelompok agama, pertarungan perebutkan sumber daya alam, komersialisasi pendidikan, pemuda dan kriminalitas serta kekerasan berbasis gender dan orientasi seksual. Persoalan-persoalan ini merata se-Sulawesi.

 

Membaca Indonesia dari Sulawesi

Orang-orang yang hidup di pulau Sulawesi terdiri dari beragam agama dan budaya. Pulau yang oleh orang-orang Portugis ini namakan Celebes kaya dengan sumber daya alam, baik di daratan maupun di laut. Ratusan perusahaan nasional maupun multinasional sedang mengeruk kekayaan alam di pulau ini.

Hasil konferensi ini antara lain terbentuknya sebuah wadah jaringan antar iman se-Sulawesi yang diberi nama “Jaringan Antar Iman Sulawesi Damai” (JAISD). Wadah ini dikoordinir seorang koordinator dengan enam moderator di masing-masing provinsi. Disepakati pula empat tim kerja dari 4 lembaga yang semuanya berkedudukan di Makassar, yaitu: LAPAR Sulsel, OASE Intim, Forlog dan JALIN Harmoni Sulsel. Keempat tim kerja ini berfungsi sebagai pusat informasi dan komunikasi jaringan (Sulawesi dan Nasional).

Mengapa perlu ada sebuah wadah koordinasi sementara sebelumnya sudah ada Jaringan Antar Iman Indonesia (JAII) yang pembentukannya diprakarsai oleh Dian/Interfidei dengan mitrannya yang tersebar di seluruh Indonesia? Tim yang mengolah dan merumuskan hasil-hasil konferensi dalam kegiatan perencanaan strategi yang dilaksanakan usai konferensi berpendapat bahwa Sulawesi harus dipahami dari perspektif Sulawesi pula.

Tim perumus tersebut kemudian bersepakat, bahwa visi JAISD adalah, “Sulawesi sebagai Rumah Bersama yang Berkeadaban”. Nilai-nilai yang mendasari kerja jaringan digali dari kearifan-kearifan budaya masyarakat Sulawesi yang ketika ditafsir dan direkonstruksi memperlihatkan spiritualitas keberasamaan dan harmoni kehidupan.

Semua itu adalah bagian dari upaya membaca Indonesia dari perspektif Sulawesi. Sebab, Sulawesi bukan hanya menunjuk pada kawasan secara geografis di antara pulau-pulau yang berjejer dari Sabang sampai Merauke dalam konteks ke-Indonesia-an, melainkan terutama sebagai sebuah konteks kebudayaan. Masyarakat Sulawesi memiliki narasi khas dan ia adalah juga ruang hidup di mana masyarakatnya berhadapan dengan persoalan relasi politis-ekonomis dengan pusat kekuasaan.

Membaca Indonesia dari perspektif Sulawesi pertama-tama tentu dimulai dengan membaca narasi Sulawesi oleh orang-orang Sulawesi sendiri yang berangkat dari berbagai teks yang ketika dijalin membentuk suatu konteks bersama. Konteks inilah yang ketika diidentifikasi, dipetakan, dianalisa dan direkonstruksi akhirnya menampilkan wajah Sulawesi yang khas dan berbeda dengan daerah-daerah lain di Indonesia.

Membaca narasi sebuah konteks penting dalam upaya-upaya merawat keragaman. Perbedaan antara kelompok tidak hanya tentang gejala-gejala atau simbol-simbol yang ditampilkan tetapi mengenai juga pengalaman sejarah, pergulatan, harapan dan aspirasi mayarakatnya. Persoalan yang sering tidak disadari banyak orang dalam memahami keragaman antar kelompok besar masyarakat dalam konteks ke-Indonesia-an adalah sudut pandang yang terpusat dan monolitik.

Cara pandang ini harus diselesaikan terlebih dahulu sebelum memasuki ruang kerja-kerja berjejaring, terutama yang memfokuskan perhatian pada keragaman, konflik dan dialog. Sulawesi memang majemuk pula. Tapi, dalam sebuah tafsir budaya yang serius kita dapat menemukan adanya bahasa dan narasi kebudayaan bersama. Perspektif inilah yang membuat jaringan dialog antar iman dalam sebuah konteks kebudayaan penting dalam merespon berbagai persoalan di dalam masyarakat.

 

Jaringan Dialog dan Transformasi

Semakin banyak orang yang peduli pada keragaman dalam kesetaraan dan perdamaian sadar bahwa, dialog antar umat beragama atau antar iman tidak sekadar basa-basi dan formalitas berelasi.

Kualitas sebuah dialog antara yang berbeda bukan lagi hanya keterbukaan dalam mempercakapkan aspek-aspek doktrinal meskipun itu selalu dianggap penting dan tidak bisa dipisahkan dalam keseluruhan proses. Umat beragama yang berbeda-beda itu kini dipanggil untuk bersama-sama dalam upaya-upaya melakukan perubahan dalam masyarakatnya. Eksploitasi sumber daya alam yang mengancam ekologi serta kesenjangan ekonomi, kekerasan, ketidakadilan politik dan ekonomi serta pelanggaran hak asasi manusia harus direspon secara bersama-sama oleh agama-agama.

Jaringan antar iman yang terdiri dari individu maupun maupun komunitas yang secara khusus bergiat atau menjadikan dialog sebagai kesadaran dalam kerja-kerja kemanusiaan perlu terus menerus mengembangkan perhatiannya pada persoalan-persoalan yang mendehumanisasi dan merusak alam. Jaringan antara iman mendorong pemerintah untuk berpihak pada rakyat dan sekaligus mendorong pula pemimpin-pemimpin  agamanya agar memberi perhatian terhadap perjuangan keadilan dan perdamaian.

Dari kedalaman agama-agama kita menemukan nilai dan spiritualitas yang menghidupkan. Sebagai wujud dari refleksi kesucian dan kebenaran Ilahi, agama-agama adalah jalan bagi manusia untuk menemukan kesejatian dirinya. Makanya, agama-agama tidak boleh lari dari tanggungjawabnya menjaga kehidupan bersama  agar tidak dirusak oleh kuasa-kuasa yang eksploitatif dan destruktif. Hanya dengan begitu, agama-agama akan bermanfaat bagi kehidupan.

 

Penulis adalah pegiat Jaringan Antar Iman Sulawesi Damai (JAISD)

Editor : Trisno S Sutanto


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home