Loading...
HAM
Penulis: Francisca Christy Rosana 07:12 WIB | Kamis, 22 Januari 2015

Jaringan Islam Liberal: Charlie Hebdo Tidak Anti-Islam

Mingguan Charlie Hebdo edisi terbaru yang memuat kartun Nabi. (Foto: Dok.satuharapan.com/AP)

JAKARTA, SATUHARAPAN.COM – Perdebatan perihal tragedi penembakan majalah satir Prancis Charlie Hebdo masih terus bergulir hingga pekan kedua pasca-dibunuhnya para satiris tersebut. Tragedi itu seolah-olah telah merenggangkan hubungan umat beragama di dunia. Bahkan, beberapa pihak menganggap majalah mingguan yang terbit setiap hari Rabu tersebut anti-Islam. 

Andar Nubowo, Direktur Eksekutif IndoStrategi Research and Consulting dalam sebuah diskusi bersama Jaringan Islam Indonesia (JIL) Rabu (21/1) malam di Teater Utan Kayu mengatakan Charlie Hebdo bukanlah majalah anti-Islam.

Menurutnya, majalah satir itu bahkan juga mengkritik tokoh agama, pemerintah, dan tokoh-tokoh lain seperti Paus Fransiskus namun tidak menimbulkan reaksi publik yang cukup ramai.

Sayangnya, kelompok radikal yang marah karena menganggap perlakuan Charlie Hebdo mengganggu konsep sakralitas nabi tergesa-gesa untuk ‘mengeksekusi’ para penyatir.

“Ada kepuasan batiniah setelah membunuh,” Andar menjelaskan.

Islamophobia

Pasca-tragedi kemanusiaan itu, Andar mengemukakan Islamophobia di Prancis meningkat.

“Begitu Charlie Hebdo meledak, hujatan terhadap Muslim meningkat. Ini mengenaskan semua kelompok Islam telah menjadi korban dari Kuoachi bersaudara,” ujarnya.

Menurut Andar yang pernah tinggal di Prancis selama enam tahun, persoalan Islam di negara tersebut memang selalu diperdebatkan dengan isu beragam.

Pertimbangkan Referensi

Pangeran Siahaan, penulis dan satiris Indonesia pada kesempatan itu mengatakan majalah Charlie Hebdo seharusnya mempertimbangkan nurani dan menggali banyak referensi.

Charlie Hebdo pun sebenarnya tidak melanggar peraturan negara dengan mengangkat kartun nabi. Namun untuk menciptakan komedi satir yang bersinggungan dengan agama, satiris seharusnya mencari referensi terlebih dahulu,” ujar Pangeran.

Ini harus dilakukan karena komedi sifatnya tidak universal.

“Ada yang itu menganggap lucu, ada yang menganggap itu sangat sensitif,” ujarnya.

“Karena satir dan komedi, seberapa jeniusnya orang menciptakannya, kalau yang mendengar dan melihat tidak mengerti, itu akan menjadi hal yang tidak lagi ditertawakan, tapi malah dipertentangkan,” kata Pangeran Siahaan.

Sementara itu yang menjadi batas satiris untuk berkarya adalah nurani dan akal. Para satiris harus tahu apa yang mereka ingin angkat dan tidak.

Satiris dan komedian ibaratnya adalah orang yang asyik menari-nari di atas es, namun kadang-kadang mereka menginjak lapisan es yang tipis dan jatuh ke lubang, kedinginan, kemudian mati. Begitu pula dengan satiris Charlie Hebdo, menurut Pangeran. Mereka seakan-akan asyik menari-nari dengan produk satir, namun di satu sisi mereka jatuh ke lubang yang seharusnya dapat dihindari.

“Semuanya tidak bisa dilihat dari satu sisi. Semua harus dikembalikan pada referensi,” kata Pangeran.

Kekerasan Tak Dibenarkan

Dari pandangan lain, seorang peserta diskusi bernama Mark yang berkewarganegaraan Denmark mengungkapkan kekerasan apa pun bentuknya adalah sebuah kesalahan.

“Dari semua agama, kekerasan itu salah. Kita harus tegas untuk membela kemanusiaan,” ujarnya.

Dari tragedi itu, menurut Mark yang terpenting adalah perubahan sosial untuk menciptakan suasana hidup berdampingan yang damai.

Dan dia menilai, pembelaan agama melalui tindak kekerasan harus dikaji.

“Ada ideologi Islam yang salah di situ, ada yang harus diselidiki. Kita harus melihat secara psikologi politik di situ bagaimana orang menjadi menggunakan kekerasan. Orang yang memakai kekerasan adalah orang yang lemah. Kalau ada kekerasan agama, berarti agama itu lemah. Kita perlu kita teliti dan kita selesaikan agama itu kelemahannya di mana,” Mark menjelaskan.

“Berbuat kekerasan itu salah, tapi saya juga tidak mendukung satiris yang seperti itu. Kelemahan masyarakat Prancis adalah seperti apa yang kita lihat sekarang, kelemahan mengikuti kelemahan,” ujar Mark. 

Editor : Yan Chrisna Dwi Atmaja


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home