Loading...
DUNIA
Penulis: Bayu Probo 17:57 WIB | Jumat, 15 Agustus 2014

Jessica Cox Pilot Pertama Tanpa Lengan

Jessica Cox, pilot berlisensi pertama tanpa lengan. (Foto: Facebook Jessica Cox)

SATUHARAPAN.COM – Jessica Cox menjadi teladan bagi kita untuk pantang menyerah. Walau dilahirkan cacat, ia tercatat di Guinness Book of Record sebagai orang pertama punya lisensi pilot tanpa lengan. Cox juga punya dua ban hitam Taekwondo.

Perempuan ini dilahirkan pada 2 Februari 1983 tanpa lengan karena kelainan saat ia di kandungan ibunya atau disebut kelainan bawaan. Kelainan bawaan, atau penyakit bawaan, adalah kondisi yang ada saat lahir dan sering sebelum kelahiran, atau yang berkembang selama bulan pertama kehidupan (penyakit neonatal), terlepas dari sebab-akibat. Penyakit ini, yang ditandai dengan kelainan struktural yang disebut “anomali kongenital” dan melibatkan kecacatan atau kerusakan pada janin yang sedang berkembang.

Saat Jessica lahir, dokter yang menolong persalinan mengingatkan kedua orangtuanya bahwa ia tak akan menjalani hidup layaknya orang normal.

Punya Alasan untuk Menyerah

Jessica Cox memiliki hak untuk marah. Alam bisa dikatakan menipunya. Teman-teman masa kecil mengejeknya. Masyarakat menjauhinya. Jika ia lahir di negara dunia ke-3, kemungkinan ia bakal dikutuk atau dibuang sebagai sampah. Dia punya hak untuk mengatakan, “Persetan dunia, kamu berutang padaku!”

Tapi ia tidak mau terus menerus menjadi korban dan berkubang mengasihani diri. Ia menerima, memeluk, mengatasi, dan menguasai kondisinya. Akibat tak memiliki lengan, Jessica berusaha mengembangkan kemampuan jari-jari kakinya seperti layaknya jari tangan. Jemari kakinya itu bisa melakukan semua hal yang dilakukan tangan, seperti untuk berdandan, bermain piano, mengemudikan mobil, hingga mengirim SMS.

Jadi, “cacat” menjadi kata yang kurang tepat bagi dia, karena sarjana psikologi dari Universitas Arizona ini punya kemampuan melampaui kebanyakan orang. Dengan menemukan potensi tampaknya tak terbatas sendiri. Dan, dia sekarang menjangkau orang lain seperti dia, untuk mengajarkan bahwa cacat hanya kulit luarnya saja; kemampuan sejati terletak dalam. Dengan demikian, ia telah menantang dunia yang apatis. Bahkan  ia telah membantu memperkenalkan RUU untuk PBB yang berjudul, “Konvensi Hak Penyandang Disabilitas.”

Saat diwawancarai di kediamannya di Arizona, AS, Jessica mengakui keterbatasan fisik yang dimilikinya memang membuat kehidupan tak selalu berjalan mudah baginya.

“Saat tumbuh besar, saya merasa seperti tinggal di alam lain. Sebab, semua yang bagi orang lain adalah hal alami, bagi saya menjadi hal yang sangat sulit untuk dipelajari,” ia mengenang.

“Namun, sejak saya menerima keunikan tubuh saya, maka saya menyadari hidup saya bukanlah hidup yang biasa, tetapi hidup yang luar biasa,” ujar Jessica yang baru saja menikahi seorang pelatih karate itu.

“Untuk waktu yang sangat lama, ibu menyalahkan diri sendiri atas kondisi fisik saya. Dia berpikir telah melakukan hal yang salah saat mengandung,” kata Jessica.

“Kakak saya Jason, lahir sempurna. Kondisi saya sangat langka, menurut dokter hanya terjadi pada satu dari satu juta bayi,” tambah dia.

Kondisi itu, lanjut Jessica, yang membuat kedua orangtuanya, Inez dan Bill, sangat terpukul.

“Bagaimana saya akan makan? Bagaimana saya bermain dengan anak-anak lain? Atau bagaimana saya bisa menikah? Itu adalah semua pertanyaan orangtua saya,” ujarnya.

Namun, ternyata pertumbuhan Jessica ternyata justru jauh lebih cepat ketimbang bayi normal. Pada usia lima bulan dia sudah duduk dan “merayap” menggunakan pantatnya. Dalam usia 18 bulan dia bahkan sudah bisa berdiri dan berjalan tanpa bantuan.

Kepercayaan dirinya meningkat saat di usia empat tahun, guru menarinya menyuruhnya untuk berada di baris terdepan saat tampil dalam resital pertamanya.

“Saat itu, saya tak ingin ditertawakan. Namun, guru saya mengatakan 'Jessica tak ada barisan belakang (di panggung), kamu harus berada di depan bersama teman lainnya'. Pelajaran itu membekas di hati saya hingga sekarang,” lanjut dia.

Menembus Batas

Hidupnya kemudian menjadi makin mudah untuk Jessica. Dia terus menggunakan kedua kakinya untuk berbagai kegiatan, seperti menggosok gigi, makan, menyisir rambut, dan menulis.

Awalnya, orangtua Jessica memutuskan putri mereka mengenakan lengan palsu saat dia berusia empat tahun. Namun, “Memakai lengan palsu malah membuat saya jadi bahan ejekan. Beberapa anak memanggil saya Kapten Hook. Selain itu, tangan palsu itu sangat berat,” kata perempuan keturunan Filipina ini.

Meski dengan lengan palsu ia lebih mudah membuka pintu, membawa tas, dan pekerjaan lainnya, tetapi setibanya di rumah, Jessica selalu melepas kedua lengan palsunya itu dan lebih memilih menggunakan kakinya.

“Saya hidup dengan normal, saya hanya harus melatih kaki dan jari-jari kaki saya untuk menggantikan fungsi tangan,” lanjut Jessica yang akhirnya memutuskan untuk tidak pernah menggunakan tangan palsu lagi.

Ternyata, tanpa lengan palsu Jessica malah makin tak terbendung. Dalam usia 14 tahun dia sudah meraih sabuk hitam karate, usia 15 dia berkompetisi renang, dan pada usia 26 tahun Jessica mulai belajar berselancar.

Pada 2005, Jessica mulai belajar menjadi pilot. Dia kini memiliki lisensi menerbangkan pesawat ringan untuk ketinggian hingga 3.050 meter.

“Terbang adalah salah satu kegiatan yang membuat saya merasa benar-benar bebas dan bangga terhadap diri saya sendiri. Saya membuktikan semua bisa terwujud jika kita yakin terhadap diri sendiri,” kata Jessica.

Selain menjadi pilot, Cox adalah seorang seniman bela diri, penyelam, surfer, berkuda, pesenam dan penari tap. Pada 2013 ia diakui sebagai salah satu "10 Pilot Terbaik" dari majalah Plane and Pilot.

Mencari Suami

Punya banyak kegiatan dan prestasi, bukan berarti ia mudah mendapatkan pasangan. Namun, semua berubah pada Mei 2010, saat dia berkenalan dengan Patrick, salah seorang pelatih Taekwondo di sekolahnya.

“Sejak awal, Patrick tidak melihat saya sebagai gadis aneh yang melakukan segalanya menggunakan kaki, atau mengasihani saya sebagai gadis yang tak memiliki lengan. Dia melihat saya sebagai Jessica. Itulah yang membuat saya mencintai dia,” ia mengingat.

Akhirnya Jessica dan Patrick menikah pada 12 Mei 2012. “Saya tahu saya berbeda dengan perempuan lain. Namun itu tak membuat saya merasa tidak cantik,” katanya.

“Dari beberapa pria yang pernah berkencan dengan saya, semua melihat saya dari luar saja. Namun, Patrick berbeda. Dia melihat saya tetap cantik meski tak memiliki lengan,” tambah dia.

Kini, cita-cita Jessica adalah memiliki anak bersama Patrick suaminya. Jessica membuktikan keterbatasan tidak bisa menghalangi kebahagiaan dan kesuksesan seseorang.

“Semua bisa dilakukan asalkan kita percaya pada diri kita sendiri,” itulah petuah yang selalu dipegang teguh Jessica Cox. (wikipedia.org/rightfooted.com/telegraph.co.uk)

Artikel tentang kiprah disabilitas dapat Anda baca di:

Sabar Gorky, Penyandang Tunadaksa Sukses Mendaki Monas
Pelatih Bulu Tangkis Penyandang Difabel Target Juara
Bagi-bagi Tangan dan Kaki Palsu Pada Hari Disabilitas Internasional
Sidang WCC: Seruan Keadilan bagi Penyandang Disabilitas, Masyarakat Adat, dan Perempuan


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home