Loading...
INSPIRASI
Penulis: Lidia Lebang 08:08 WIB | Selasa, 10 Januari 2017

JFK dan Ahok

Penyelesaian isu-isu riil dalam masyarakat tidak mengenal batas-batas agama.
John F. Kennedy (foto: istimewa)

SATUHARAPAN.COM – Pemilihan presiden Amerika Serikat (AS) 1960 menjadi salah satu pemilihan yang tersimpan dengan baik dalam ingatan publik. Bukan karena tahunnya, tetapi karena salah satu kandidatnya. Kandidat Partai Demokrat saat itu, John F. Kennedy (JFK), digandrungi warga Amerika karena muda, tampan, dan seorang pahlawan perang. JFK selamat, bahkan ikut menyelamatkan krunya ketika kapal yang dinakhodainya, PT Boat 109, dibelah dua oleh kapal perusak Jepang.

JFK lahir dari keluarga imigran Irlandia. Sebagaimana kebanyakan keluarga Irlandia yang menyeberangi lautan Atlantik menuju Amerika, ia dan keluarganya adalah penganut Katolik.  Adik bungsunya, Edward Kennedy, menerima komuni pertamanya langsung dari Paus.

Hingga 1960 belum pernah ada seorang Katolik terpilih menjadi presiden Amerika Serikat. Seorang Katolik dianggap ”tidak cukup Amerika” dan akan mudah dikendalikan Paus dari Vatikan. Isu inilah yang kemudian digunakan lawan-lawan politiknya untuk menjegalnya dalam masa-masa kampanye. Pertanyaan-pertanyaan sehubungan dengan keberadaannya sebagai Katolik diajukan kepadanya secara langsung di ruang-ruang publik.

Pada September 1960, kelompok Protestan mengundangnya untuk menyampaikan pandangannya di depan publik. Dalam pidatonya, JFK, dikutip dari John F. Kennedy Presidential Library and Museum, menyatakan:

Pertama, ada isu-isu yang jauh lebih mendesak dan mesti mendapat perhatian rakyat Amerika ketimbang isu agama. Menurut JFK, minimnya ketersediaan sekolah, orang-orang tua yang tidak dapat membayar biaya kesehatan, kelaparan, perang dan keterlambatan mengobservasi luar angkasa adalah isu-isu real yang tidak mengenal batas-batas agama.

Kedua, JFK menganggap isu agama sengaja diangkat untuk menjegal dirinya. Oleh karena itu, ia perlu menekankan bahwa bukan soal agama apa yang ia percayai, tetapi Amerika seperti apa yang ia percayai, yakni Amerika yang dengan mutlak (absolute) memisahkan agama dan negara. Dan karena itu, tidak ada seorang pemimpin agama yang dapat memengaruhi presiden atau menentukan siapa yang hendak dipilih umatnya.

Ketiga, JFK yakin bahwa suatu hari intoleransi agama akan berakhir. Apakah benar sudah berakhir? Hanya rakyat AS yang tahu.

Hari-hari ini, isu yang sama menimpa Ahok dalam konteks yang berbeda. Peta politik dan dukungan kuat masyarakat sepertinya memberi ruang pada Ahok untuk duduk kembali di kursi Gubernur DKI dan tidak menutup kemungkinan untuk menduduki jabatan-jabatan penting lainnya di masa mendatang. Namun, identitasnya sebagai double minority, dijadikan isu untuk menjegalnya menuju pos-pos tersebut. Poin kedua jawaban JFK di hadapan masyarakat AS pada 1960 mengenai pemisahan mutlak agama dan negara tentu tidak dapat diajukan oleh Ahok—atau siapa pun yang sedang berjuang memperoleh amanah rakyat—dalam konteks Indonesia. Negara ini jelas tidak memisahkan negara dan agama secara tegas sebagaimana diatur dalam UUD 1945 pasal 29 ayat 1.

Tetapi, poin pertama jawaban JFK—realitas kurangnya kualitas pendidikan, layanan kesehatan, kelaparan, keterlambatan penelitian di dunia sains—cukup relevan untuk diajukan, tak hanya untuk Jakarta, melainkan juga Indonesia. Dan seperti kata JFK, 56 tahun lalu, penyelesaian isu-isu di atas tidak mengenal batas-batas agama. Mungkinkah suatu hari intoleransi agama di negeri ini berakhir?

 

Email: inspirasi@satuharapan.com

Editor : Yoel M Indrasmoro


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home