Loading...
RELIGI
Penulis: Bayu Probo 13:30 WIB | Jumat, 14 November 2014

Joas: Lupakan Saja Teologi Servant Leadership!

Pdt Joas Adiprasetya, Ketua STT Jakarta periode 2011-2015. (Foto: Bayu Probo)

GUNUNGSITOLI, SATUHARAPAN.COM – Pdt Joas Adiprasetya, Ketua Sekolah Tinggi Teologia Jakarta, berbicara keras tentang kepemimpinan gereja. Ia menilai teologi servant leadership—bahwa pemimpin adalah pelayan bagi yang dipimpinnya, tidak sesuai dengan cita-cita Yesus. Teologi itu malah menyuburkan kepemimpinan yang bersifat hierarkis, kata dia, Kamis (13/11).

Kasak-kusuk tentang siapa yang memimpin Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI) sudah terdengar sejak pertama Sidang Raya XVI dibuka. Nama-nama John Ruhulesin (Gereja Protestan Maluku), Albertus Patty (Gereja Kristen Indonesia), Richard Daulay (Gereja Methodist Indonesia), dan Henriette Lebang (Gereja Kristen Toraja) disebut-sebut bersaing meraih menjadi Ketua Umum PGI.

Ada juga nama Gomar Gultom (Huria Kristen Batak Protestan), Lisye Sumampow (Gereja Masehi Injili di Minahasa), dan Nus M. Liur (Gereja Kristen Oikoumene) yang kabarnya mencalonkan diri menjadi Sekretaris Umum. Leaflet-leaflet dibagi di antara peserta di tengah perjalanan ke pembukaan SR, di sela-sela makan siang. Belum lagi “tim sukses” yang menganjurkan para peserta untuk memilih kandidat tertentu.

Selain itu, tiba-tiba di sela-sela acara yang berlangsung rencananya berakhir Minggu nanti, ada pertemuan-pertemuan alumni sekolah teologi. STT Jakarta dan Sekolah Alkitab Asia Tenggara misalnya.

Joas Adiprasetya yang  memimpin diskusi Arö Gosali—diskusi kelompok—bertema kepemimpinan di Sidang Raya XVI PGI menyarankan bahwa kepemimpinan gereja adalah kepemimpinan di antara sahabat yang bersifat horizontal. Bukan kepemimpinan hamba-tuan atau tuan-hamba yang bersifat vertikal. Berikut wawancara satuharapan.com dengan ayah dua putra ini.

satuharapan.com: Bagaimana dengan kepemimpinan gereja di Indonesia saat ini?

Joas Adiprasetya: PGI ini adalah miniatur gereja-gereja di Indonesia. Jadi, apa yang terjadi di gereja terefleksi di PGI. Dan, ada persoalan yang cukup mendasar yaitu struktur kepemimpinan yang secara kultural tidak egaliter.  Kultur tersebut adalah klerikarki, patriarki, gerontarki, dan hierarkis. Kultur ini sangat mengakar sehingga yang terjadi di gereja masing-masing terjadi pengerucutan yang terefleksi di PGI.

Yang pertama adalah “klerikarki” (clericarchy) atau pemerintahan oleh klerus. Pejabat gerejawi dipandang sebagai yang berwenang menentukan nasib dan masa depan (serta masa kini) gereja. Yang kedua adalah “gerontarki” (gerontarchy), yaitu pemerintahan oleh orang tua. Anak-anak muda dianggap sekadar sebagai pemimpin masa depan dan bukan pemimpin masa kini. Yang ketiga adalah “patriarki” (patriarchy) atau pemerintahan oleh bapa atau laki-laki. Perempuan dianggap tidak layak untuk menjadi pemimpin. Ketiganya adalah manifestasi konkret dari “hierarki” (hierarchy) yang menganggap bahwa Dia Yang Kudus (hieros) menubuh di dalam klerus, orang dewasa, dan laki-laki. Dalam hierarki tiga-wajah ini, struktur yang dibangun berwatak vertikal, atas dan bawah.

satuharapan.com: Padahal di PGI kepemimpinan bersifat kolegial?

Joas Adiprasetya: Saya melihat ada usaha positif PGI ke arah itu. Bahwa kepemimpinan PGI ditata supaya tidak bersifat hierarkis. Tetapi, persoalannya adalah kultur. Saya memuji usaha PGI untuk membuat kepemimpinan PGI bersifat egaliter. Namun, ada hal fundamental yang menjadi masalah. Yaitu, masyarakat masih meninggikan jabatan pendeta, jabatan ketua sinode dan sebagainya. Ini kultur yang sangat tidak kristiani.

Sayangnya, teologi justru menjustifikasi kultur itu. Misalnya sebuah teologi yang pada dasarnya baik yaitu teologi servant leadership. Tapi dengan kultur yang hierarchical justru memperkuat hierarki itu.

satuharapan.com: Mengapa?

Joas Adiprasetya: Retorika pelayanan  hamba itu menjadi topeng untuk praktik yang pada dasarnya anti servanthood. Misalnya, di ruangan Sidang Raya ini. Para pemimpin pelayan mendapat kursi yang berbeda dengan peserta biasa. Lalu ada ruang makan yang VIP. Dan, itu justru untuk yang mengaku diri pelayan. Kultur hierarkis ini melawan kultur yang Kristus bangun.

Jadi, saya mengusulkan perombakan kultur. Saya mengusulkan agar kita melupakan atau menghilangkan servant leadership. Sebab, servant leadership adalah usaha Yesus untuk melawan kekuasaan. Tapi, itu sifatnya ad hoc. Servant leadership bukan mimpi Yesus. Mimpi Yesus adalah persahabatan. Kepemimpinan sahabat, kepemimpinan yang dilakukan sahabat kepada sahabatnya. Jadi egaliter, makan bersama, dan pertemuan di meja bundar.

Jadi, entah hierarki atau pun servant leadership model ini sama-sama vertikal. Yang satu pemimpin di atas, yang lain pemimpin di bawah. Bersifat hamba-tuan atau tuan-hamba. Saat kepemimpinan model servant leadership dibuat permanen, maka terjadi simbiosis dan makin parah lagi. Retorikanya servanthood, praktiknya anti-servanthood.

satuharapan.com: Bagaimana mendorong supaya terbentuk kepemimpinan egaliter?

Joas Adiprasetya: Harus kembali lokal. Saya percaya perubahan kultur itu adalah perubahan di tingkat lokal. Tidak mungkin perubahan dari atas—top down—karena jika demikian perubahan itu mengikuti apa yang dia lawan. Saya percaya kearifan lokal menyimpan banyak sekali kultur-kultur egaliter. Gereja-gereja setempat dapat menyerap kultur lokal untuk kepemimpinan yang egaliter.

Namun, ada masalah selektivisme kultural. Bagaimana kultur itu diambil sesuai dengan apa yang dimaui pemimpin. Jadi, ketika pemimpin menjustifikasi kepemimpinan piramida aspek kultural yang diambil ya yang mendukungnya. Untuk itu perlu niat baik dari gereja lokal untuk memilih kultur yang menjunjung egaliterianisme.

satuharapan.com: Ini kan tidak bisa terwujud dalam jangka pendek?

Joas Adiprasetya: Tentu saja tidak.

satuharapan.Com: Jadi dalam pemilihan MPH PGI ini tidak bisa diharapkan?

Joas Adiprasetya: Itu sebabnya saya tidak terlalu peduli dengan pemilihan ketua PGI. Yang penting adalah siapa pun ketua PGI yang terpilih, dia harus memungkinkan percakapan-percakapan lokal terjadi. Jadi, tugas PGI harus dikembalikan pada persekutuan. Bukan sebagai pusat gereja—dalam praktiknya memang menjadi semacam pusat. Ini teologi oikoumene yang buruk. Padahal dalam teori sebenarnya sudah oke saja. Sekali lagi ini  bukan tentang teori dan konsep, tetapi tentang kultur dan mental.

Kita ambil contoh, World Council of Church (WCC). Mereka basis teologinya kuat sekali. Beberapa tahun terakhir mereka beralih ke model teologi trinitarian. Trinitas sebagai dasarnya. Konsekuensinya kepemimpinan yang egaliter. Kalau di Indonesia, ekklesiologi yang trinitarian kurang berkembang. Maka, menjadi sangat hierarkis.


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home