Loading...
BUDAYA
Penulis: Moh. Jauhar al-Hakimi 00:27 WIB | Minggu, 11 November 2018

Jogja Design Week 2018 “Fusion Identity”

Jogja Design Week 2018 “Fusion Identity”
Desain karya Tri Noviyanto P Utomo di senthong Rumah Budaya Kotagede dalam Jogja Design Week 2018. (Foto-foto: Moh. Jauhar al-Hakimi)
Jogja Design Week 2018 “Fusion Identity”
Keramik karya Kika Sudibyo sebagai elemen desain pada gadri Rumah Budaya Kotagede.
Jogja Design Week 2018 “Fusion Identity”
Desain embracing lamp karya Veni Lidiawati pada taman depan gandhok tengen Rumah Budaya Kotagede.
Jogja Design Week 2018 “Fusion Identity”
Desain karya Daru Kurniawan pada ruang utama (dalem) Rumah Budaya Kotagede.

YOGYAKARTA, SATUHARAPAN.COM – Sepuluh desainer interior profesional selama selama 26 Oktober hingga 7 November 2018 mempresentasikan karya desainnya di tiga titik di Kotagede, Yogyakarta dalam Jogja Design Week (JDW) 2018. Acara yang baru pertama kali dihelat mengusung tema “Fusion Identity”.

“Kita kirim foto pada teman-teman desainer beberapa spots di Kotagede dan mereka merespon dengan kebebasan memilih titik sesuai tawaran desainnya. Setelah melihat langsung, mereka membuat workshop melibatkan sebagian besar mahasiswa (desain) yang menjadi asisten desainer selama mengerjakan desain di JDW 2018,” jelas salah satu penggagas JDW Satya Bramantya kepada satuharapan.com saat pembukaan Jumat (26/10) malam di Rumah Budaya Kotagede.

Lebih lanjut Bram menjelaskan bahwa pada perhelatan pertama kali JDW digelar di seputaran Kotagede untuk mengeksplor berbagai karya arsitektur rumah tua yang banyak terdapat di Kotagede dalam konteks masa lalu, masa kini, dan masa datang. Salah satunya adalah Rumah Kalang milik BH Noerijah yang telah dilakukan restorasi setelah dibeli oleh Pemda DI Yogyakarta dan ditetapkan sebagai Rumah Budaya Kotagede. Sementara dua spots lainnya berada di Gang Soka Kotagede memanfaatkan sebuah galeri-butik Base artisan dan rumah warga biasa.

Di Rumah Budaya Kotagede, enam desainer memilih ruang-ruang berbeda dengan konsep desain merespon suasana ruangan yang ada. Daru Kurniawan memberikan tawaran pada ruang utama (dalem) Rumah Kalang memanfaatkan tempat tidur dan ruang santai yang menyatu dalam sebuah ruangan beserta kamar mandi dalam. Penempatan properti meja-kursi di depan tempat tidur yang didisplay menyebar sesuai fungsinya menjadikan kamar utama Rumah Kalang menjadi ruang yang dinamis tanpa kehilangan keintimannya.

Di bagian gandhok tengen, desainer asal Yogyakarta yang menetap dan berkarya di Bali Veny Lidyawati mempresentasikan karya desain dengan menggali motif batik Kawung dan Beras Wutah sebagai elemen desain interiornya, serta menawarkan eksplorasi motif batik pada properti bantal untuk meja-kursi bersama Santai furniture serta embracing lamp pada sebuah taman terbuka di depan gandhok.

Desainer Tri Novianto P Utomo memberikan solusi pada senthong tengah dengan eksperimen embracing lamp serta properti kursi santai dengan pendekatan olah teknologi memadupadankan unsur tradisi-modern. Lagi-lagi tawaran Tri menjadikan senthong dan ruangan terbuka yang dimanfaatkan sebagai gudang bawah tanah menjadi lebih hidup manakala karya Tri menyambung dengan karya desain Baroto Budi Prakoso memanfaatkan teras belakang hingga taman terbuka sementara di seberang senthong seniman keramik Kika Sudibyo mencoba menawarkan desain keramiknya dalam penataan yang dengan mudah pengunjung yang lewat akan tahu bahwa ruangan tersebut adalah sebuah dapur (gadri).

Di Gang Soka Kotagede, empat desainer memanfaatkan dua tempat yang berdekatan. Abbie Abdillah dan Erick Dangin memanfaatkan ruang pajang produk Base Artisan (BA) dengan konsep modern memanfaatkan material alam yang ada dengan memperhatikan kapasitas dan karakter ruang pamer sebagai produsen tas kulit. Dengan bahan dari alam yang kerap dianggap kuno, kedua desainer menawarkan kebaruan karya desain. Erick Dangin menawarkan desain dengan properti kursi yang di-finishing dengan kulit kayu serta besek bambu sebagai wall desain sebagai sebuah kesatuan desain yang futuris namun sederhana. Abbie Abdillah mengubah karakter rotan yang kerap diidentikkan dengan hasil furnitur kuno dan klasik menjadi properti desain modern dengan memainkan bentuk furnitur dalam balutan rotan serta pewarnaan cerah-menyala yang eye catching menggantikan warna asli rotan.

Pada sebuah rumah penduduk setempat di seberang BA, Satya Bramanta dan Tosan Tri Putra menawarkan hal yang berbeda dari delapan desainer sebelumnya. Tosan Tri Putra yang juga dosen desain interior sebuah perguruan tinggi di Yogyakarta merespon sebuah ruangan di tengah aktivitas pemilik rumahnya. Sebagai kesatuan desain sebuah rumah yang masih berpenghuni, desain Tosan terasa kuat dan menyatu tanpa berusaha mengintervensi keberadaan dan aktivitas pemilik rumah. Secara keseluruhan desain Tosan terkesan tidak mengganggu atau menghilangkan fungsi dan desain ruang sebelahnya yang saat JDW 2018 berlangsung digunakan sebagai ruang keluarga oleh pemiliknya. Desain Tosan menjadi lebih hidup dan alami manakala ruangan yang didesain dengan meja-kursi sofa dari kayu model kanjengan dipadukan dengan penerangan lampu gantung berbahan bambu dan sebuah karya instalasi yang menghiasi dinding pada saat bersamaan terdengar suara televisi yang menyiarkan sebuah sinetron yang sedang ditonton pemilik rumah dan menjadi aktivitas menghabiskan malam dengan hiburan yang murah.

Di seberang rumah, pada sebuah halaman dengan beberapa bangunan yang runtuh-rusak Satya Bramantya mengeksplorasi bambu sebagai elemen utama desainnya. Potensi bambu yang melimpah di Indonesia menjadi eksplorasi Bram dalam setiap properti desain dikombinasikan dengan material lainnya dalam bentuk portable gazebo dengan kerangka, alas, serta embracing lamp berbahan bambu. Dengan mempresentasikan karya desainnya di luar ruangan (outdoor), kekuatan desain Bram terletak pada pemilihan elemen utama pembentuk desain.

Di Indonesia dikenal sekitar 159 jenis bambu dimana 88 jenis merupakan jenis endemik. Dengan pertumbuhan yang cepat serta kekuatan yang bisa disetarakan dengan kayu, di masa lalu bambu adalah bahan utama dalam pembuatan rumah dan bangunan di berbagai wilayah di Indonesia yang murah, mudah didapatkan, kuat, ringan, dan artistik. Tanaman serta bangunan berbahan bambu bahkan menjadi salah satu bagian dari mitigasi bencana di masa lalu. Masyarakat sekitar kaki Gunung Merapi di masa lalu mengunakan bambu sebagai salah satu penanda awal meletusnya Gunung Merapi. Dan dalam beberapa kali bencana meletusnya Merapi dan gempa Jogja tahun 2006, bambu menjadi salah satu material utama yang digunakan untuk mendirikan ruang lindung darurat bagi pengungsi.

Selain sepuluh karya desain ada hal menarik dalam perhelatan JDW 2018 yang melibatkan asisten desainer dalam menciptakan sebuah karya desain. Setiap desainer didampingi oleh 4-6 asisten desainer yang terlibat dalam diskusi intensif dalam proses karya.

“Sebagian besar mahasiswa saya. Konsep desain dari saya, eksekusi proses karya mereka yang melakukan. Ini sekaligus menjadi pembelajaran bagi mereka. Setiap tahapan eksekusi melalui diskusi melibatkan asisten desainer,” jelas Tosan Tri Putra kepada satuharapan.com tentang karya desainnya.

Caption karya menjadi penting ketika nama seluruh asisten desainer dicantumkan saat presentasi karya. Ini menjadi salah satu titik awal digelarnya JDW 2018 yang berangkat dari keprihatinan tidak munculnya nama-nama desainer Indonesia, khususnya Yogyakarta meskipun kiprah mereka cukup diakui dunia.

“Desainer (interior-eksterior) Yogyakarta banyak diakui dalam dunia desain internasional. Karya mereka banyak diapresiasi, di-review, dan mewarnai desain dunia. Ironisnya (nama-nama) mereka justru tidak pernah muncul ke permukaan. Mereka selalu berada di bawah bayang-bayang nama besar industri desain interior Indonesia dan dunia. Dalam dunia bisnis-industri profesional hal demikian kerap terjadi. Namun sebagai sebuah karya seni, karya desain (interior-eksterior) sesungguhnya adalah karya cipta-intelektual yang melekat pada diri seniman bersangkutan. Pencantuman nama desainer pada karya menjadi penting. Tidak hanya perusahaan/industrinya saja (yang dimunculkan).” jelas Bram saat ditemui satuharapan.com pada penutupan JDW 2018, Rabu (7/11) malam.

Meski bernaung dalam sebuah perusahaan desain seturut dengan hak dan kewajiban yang melekat, karya desain (interior-eksterior) tetaplah milik desainer. Sebagai sebuah proses yang melibatkan pihak-pihak yang membantu dalam mewujudkan karya melalui diskusi berbagai arah, pencantuman nama pihak-pihak terlibat dalam sebuah karya seni desain menjadi jalan tengah yang bermartabat yang merupakan bagian dari perjalanan proses kreatif yang dijalaninya sekaligus sebagai bagian dari harga diri yang layak diterimanya.

 


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home